AI Dan Persoalan-Persoalan Jurnalisme Yang Belum Tuntas

Resonansi

January 4, 2025

Jon Afrizal

Off the record, satu dari hak nara sumber. (credits: Shuttherstock)

AKHIR-akhir ini, semua orang disibukan dengan Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan, yang sebenarnya, dibuat oleh manusia yang cenderung cerdas.

Ibarat sebuah ketergantungan, banyak tugas otak manusia yang kemudian diberikan kepada AI. Mulai dari mengerjakan tugas sekolah, hingga temen curhat.

Iklim ekonomi jurnalisme Indonesia saat ini, katanya, sedang surut. Sepanjang 2023 dan 2024, menurut catatan Dewan Pers, tak kurang dari 1.200 karyawan perusahaan pers, termasuk jurnalis, harus menjalani PHK.

Media massa tidak lagi menjadi sumber utama masyarakat dalam mencari berita. Kue iklan nasional perusahaan pers pun sekitar 75 persen diambil alih oleh platform digital global dan media sosial.

Pada sisi lain, kemunculan AI adalah jawaban bagi kapital media, sekaligus juga boomerang bagi para pekerja media.

Rilis Dewan Pers tertanggal 31 Dsember 2024 menyebutkan, bahwa kecerdasan buatan adalah tantangan besar di masa depan. Sementara media di Indonesia masih disibukkan oleh disrupsi mengenai teknologi hari ini, tapi dipaksa menghadapi disrupsi AI.

“Bagi pers, AI adalah disrupsi ketiga, setelah teknologi digital, media sosial, dan, lalu kecerdasan buatan.” Demikian dikatakan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.

Sehingga, perlu dibuatkan pedoman pemanfaatan AI di ruang redaksi (newsroom) agar dapat digunakan oleh pers Indonesia.

Untuk itu, dianggap penting untuk menyemai bibit jurnalis professional.

Jurnalis dan peralatan kerja. (credits: Pexels)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam briefing paper “AI dan Organisasi Berita Di Indonesia” menyebutkan munculnya AI dalam jurnalisme telah membawa perubahan paradigma, khususnya dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Peran AI dalam mengotomatiskan tugas-tugas rutin, seperti; pengumpulan data dan penyortiran informasi dalam jumlah besar bersifat transformatif.

Dengan mengambil alih tugas-tugas yang memakan waktu ini, AI memungkinkan jurnalis untuk mencurahkan lebih banyak waktu dan energi pada aspek-aspek bernuansa penceritaan.

Tetapi, algoritma AI, sering kali diselimuti ketidakjelasan. Sehingga dapat secara tidak sengaja melanggengkan bias yang ada dalam data.

Akibatnya, akan menimbulkan pertanyaan tentang ketidakberpihakan dan akuntabilitas jurnalisme yang digerakkan oleh AI.

Selain itu, masalah kredibilitas karya juga menjadi sesuatu yang menonjol. Sebab pembaca sering kali mengkonsumsi konten yang dihasilkan AI tanpa sadar, yang akhirnya memicu perdebatan tentang kepercayaan dan keaslian dalam jurnalisme.

Ketergantungan yang berlebihan pada AI untuk kurasi dan pembuatan berita dapat menyebabkan pembentukan ruang gema. Algoritma AI, yang dirancang untuk melibatkan pengguna, seringkali menyajikan konten yang selaras dengan keyakinan dan preferensi mereka.

Ini berpotensi membatasi paparan terhadap berbagai perspektif dan sudut pandang lain.

Ketergantungan yang berlebihan seperti ini, dapat menghambat perkembangan masyarakat yang terinformasi dengan baik. Karena membatasi aliran berbagai opini dan analisis.

AI hanyalah sekelumit kecil persoalan di dunia jurnalisme Indonesia. Sama seperti internet, AI adalah: maya.

Maka persoalan real time yang selalu dihadapi para jurnalis dan media, sepertinya masih banyak.

Masih menurut catatan Dewan Pers, selama 2024, Dewan Pers menerima 678 kasus pengaduan pemberitaan. Dari jumlah itu, yang terselesaikan sebanyak 631 kasus (93,07 persen) dan dalam proses 47 kasus (6,93 persen).

Survei atas Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2024 untuk kesembilan kalinya, hasilnya IKP nasional berada pada angka 69,36 (cukup bebas). Angka ini menurun dibanding 2023 yang berada di posisi 71,57.

Dua hal yang menonjol dan menjadi penyebab menurunnya angka IKP itu adalah masih adanya kekerasan terhadap wartawan maupun ketergantungan media terhadap pemerintah daerah. Sejurus dengan catatan kekerasan oleh AJI sepanjang tahun 2024 terdapat 69 kasus.

Dewan Pers mengajak 11 konstituen untuk menolak draf Rancangan UU Penyiaran. Draf tersebut minimal mengandung dua hal yang tidak sesuai dengan kemerdekaan pers dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.  

Pertama, adanya larangan penyiaran berita investigatif. Ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers yang menyatakan tidak ada pembredelan dan larangan penyiaran terhadap media massa.

Kedua, rencana memberi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan juga bertolak belakang dengan UU Pers. Dalam UU Pers, kewenangan menyelesaikan sengketa pers (pemberitaan) hanya ada pada Dewan Pers.

Dan, diantara trend keriuhan yang diciptakan para penganut digitalisasi AI dan content creatorist, maka; perspepsi terhadap muasal berita, cara pandang terhadap kabar berita, kebenaran, hak asasi manusia, penolakan terhadap ujaran kebencian, penegasan terhadap hak-hak minoritas, hak narasumber, embargo, off the record, hak kekayaan intelektual, hak pembaca, informasi yang layak, nilai berita, check fakta, cara penyajian yang berimbang, dan rasa dan perasaan, hanya dimiliki oleh mereka yang mengasahnya bertahun-tahun.

Mereka yang meniatkan diri untuk menyajikan kabar yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, dan memberikan solusi ke arah depan kepada publik. Karena, inti dari berita adalah manusia.

Itulah: jurnalisme.*

avatar

Redaksi