Kenduri AJI Jambi; Upaya Menahan Laju Perubahan Iklim
Inovasi
November 23, 2024
Muhammad AL FIkri, Abi Hurairah/Kota Jambi
Pemotongan tumpeng dalam rangkaian “Malom Kenduri” AJI Jambi. (credits: AJI Jambi)
ANGKA 13, bagi beberapa budaya acapkali dikaitkan dengan ketidakmujuran. Tapi, bagi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, angka ini justru adalah keberuntungan.
Beruntung, karena di hari jadi yang ke-13 ini, AJI Jambi melaksanakan event bertajuk “Malom Kenduri”, pada tanggal 21 November, di Taman Budaya Jambi (TBJ).
Kata “malom” merujuk pada kasanah bahasa Suku Anak Dalam (SAD), yang artinya sama dengan “malam” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata “kenduri”, lebih dekat dengan kata “slametan”.
Dengan mempadukan dua kata yang berbeda kasanah budaya, dalam hal ini, AJI Jambi ingin memperlihat dan menghargai keberagaman yang ada. Keberagaman dapat berjalan bersama-sama dalam universalitas.
Dan, ini adalah puncak acara dari rangkaian hari jadi AJI Jambi, yang ditutup dengan pemberian award (penghargaan) terhadap individu yang telah berjuang dan eksis dalam profesinya.
Pada siang hari, diadakan dua kali nonton bareng (nobar) film dokumenter. Film pertama berjudul People Led Development.
Film yang berisi gabungan hasil dari pendampingan yang dilakukan oleh beberapa non government organization (NGO) ini, bercerita tentang bagaimana Suku Anak Dalam (SAD) hingga petani yang bertahan di tengah krisis iklim saat ini. Di dalam film dokumenter ini, tergambar bagaimana petani pangan, kopi, kayu manis, dan komoditi lainnya dalam mempertahankan pertanian.
Baya Zulhakim (Direktur Setara Jambi) pada sesi nobar dan diskusi film People Led Development. (credits: AJI Jambi)
Para narasumber dalam diskusi nobar ini, adalah; Baya Zulhakim (Direktur Setara Jambi), Utari Octika Rani (Direktur CAPPA Keadilan Ekologi), dan Eko Mulia Utomo (Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi.
Sedangkan film kedua, Big Bad Biomassa, adalah hasil penelusuran mendalam tentang praktik-praktik kotor di balik kedok transisi energi oleh Forest Watch Indonesia (FWI).
Film ini bercerita tentang ilusi hijau biomassa dan mempertanyakan ulang apakah transisi energi ini benar-benar hijau. Dalam sesi diskusi film ini juga mengarahkan pada persoalan krisis iklim.
Para narasumber dan pemantik diskusi film itu, adalah; Anggi Putra Prayoga (Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI), Dwi Nanto (Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi), dan S Pandu Hartadinata (Kabid Energi Dinas ESDM Provinsi Jambi.
Dalam film dan diskusi ini terungkap bahwa terdapat satu perusahaan hutan tanaman energi (HTE) yang mengeksploitasi hutan dan meninggalkan dampak buruk untuk lingkungan di Merangin Jambi.
Pada malamnya, Umi Syamsiatun (Direktur Alam Hijau) memberikan monolog tentang keadilan iklim, dan bagaimana isu-isu perubahan iklim telah menjangkau hingga ke pedesaan, tapi, masyarakatnya tidak dipedulikan oleh kucuran Dana Iklim.
Ketua AJI Jambi, Suwandi mengatakan, keadilan iklim berfokus pada kesetaraan dalam distribusi dampak dan beban perubahan iklim, serta akses terhadap sumber daya dan teknologi untuk mengatasi masalah ini.
“Artificial Intelligence (AI) memiliki potensi untuk membantu komunitas yang paling terdampak oleh perubahan iklim,” katanya, Kamis (21/11).
Anggi Putra Prayoga (Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI) pada sesi nobar Big Bad Biomassa. (credits: AJI Jambi)
Tetapi, kata Wendy, panggilan akrabnya, seringkali teknologi ini hanya lebih mudah diakses oleh negara-negara maju dan perusahaan besar saja.
AI atau Kecerdasan Buatan saat ini, adalah hasil ilmu pengetahuan yang sedang populer untuk dibicarakan. Banyak pihak telah menggunakannya, seperti Geographic Information System (GIS) yang digunakan untuk pemetaan wilayah, misalnya. Serta Chat GPT yang kerap digunakan untuk menulis.
Tetapi, sejauh mana penggunaan AI dapat berdampak untuk menahan lajunya perubahan iklim, tentu harus diuji.
Dan, sejauh mana, penggunaan AI dapat memenuhi unsur-unsur etika berpikir manusia.
Jika, dapat dikatakan bahwa penggunaan AI adalah meng-cloning ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain via teknologi, dan menggunakannya untuk diri sendiri. Serta, terlebih parah, jika diklaim adalah sebuah karya perseorangan.
Kenduri AJI Kota Jambi dihadiri oleh para kerabat AJI Jambi, baik itu perseorangan maupun organisasi. Serta dihadiri juga oleh pengurus AJI Indonesia.
Umi Syamsiatun (Direktur Alam Hijau) memberikan monolog tentang keadilan iklim. (credits: AJI Jambi)
Pada malam puncak, diberikan AJI Jambi Award kepada empat kategori. Yakni kategori perempuan, lingkungan, indigenous people, dan lifetime achievement journalist.
Adapun para penerima award, adalah usulan dari publik, yang diterima oleh panitia melalui saluran google document.
Penetapan ini dipilih melalui sebuah forum penjurian, dengan diskusi yang sangat ketat dan dengan banyak pertimbangan. Ketiga juri adalah Rudi Syaf (Warsi Jambi), Ramon EPU (pengurus bidang organisasi AJI Indonesia), dan Zulfa Amira Zaed (pengurus bidang gender AJI Jambi).
Berdasarkan rapat para juri, dipilihlah tiga penerima kategori, yang berasal dari tingkat tapak atau akar rumput. Sedangkan untuk kategori lifetime achievement journalist, selain keputusan juri, juga ditambah dengan keputusan para pengusus AJI Kota Jambi.
Kategori lingkungan adalah Antoni dari Dusun Sungai Telang, Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo. Ia bersama kelompoknya, telah menghalau para pelaku illegal mining (penambangan emas tanpa izin) di desanya.
Sedangkan kategori perempuan adalah Yuliana. Ia adalah perempuan SAD pertama dari Desa Pelepat Kabupaten Bungo, yang berhasil duduk di bangku universitas dan meraih gelar sarjana.
Sementara kategori indigenous people adalah Yunani. Ia adalah perempuan tangguh dari masyarakat Batin Sembilan. Ia berani untuk menghadapi tantangan nyawa, untuk mengusir para pebalok dan perambah dari wilayah mereka yang masuk ke dalam areal restorasi Hutan Harapan.
Jon Afrizal, penerima AJI Jambi Award kategori lifetime achievement journalist. (credits: AJI Jambi)
Untuk AJI Jambi Award kategori lifetime achievement journalist, diberikan kepada Jon Afrizal. Ia adalah peraih Sopa Award 2020 untuk kategori public service, sebuah award bagi para jurnalis se-Asia Pasific, atas karya #namabaikkampus (campus reputation) di The Jakarta Post. Untuk karya ini juga, ia mendapatkan Tasrif Award 2020 dari AJI Indonesia.
Ia telah menerbitkan sebanyak sembilan buku. Buku-buku ini terkait dengan menulis dan jurnalisme, lingkungan, budaya dan sejarah.
AJI Jambi Award ini, direncanakan akan diberikan pada setiap hari jadi berangka ganjil saja. Ini bertujuan untuk tetap menjaga nafas “independen” bagi setiap pemberian dan penerimanya.
Selain itu, juga diberikan apresiasi kepada Syaiful Bukhori. Ia adalah ketua AJI Jambi pertama, setelah keanggotaan AJI Jambi dideklarasikan pada tahun 2011.
Cikal bakal AJI Jambi adalah pada tahun 2010. Kala itu, masih berbentuk AJI persiapan, yang berangggotakan tujuh orang. Satu anggotanya, diantaranya, adalah Jon Afrizal.
Adapun hiburan serius pada kenduri malam ini, adalah penampilan Ismet Raja Tengah Malam. Ia dikenal dengan lagu-lagu bergenre folk. Satu lagu, diantaranya, berjudul Pojok Sudut Kota.*