Demonstrasi Agustus; Demokrasi Sedang Sakit Keras
Daulat
August 23, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Demonstran menyegel pintu gedung DPRD Provinsi Jambi, Kamis (22/08). (credits: AJI Jambi)
RABU (21/08), timeline media sosial dipenuhi dengan pengumuman “Siaran Darurat (Bukan Simulasi)”. Video berlatar warna biru (blue), sebagai lambang kesedihan. Dengan durasi 0.50 detik, dan lambang negara: Garuda.
Situasi tidak sedang baik-baik saja. Terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 70/PUU-XXII/2024 dan nomor 60/PUU-XXII/2024 dikesampingkan oleh DPR dan pemerintah.
Aroma politik sangat menyengat, seiring bau tanah yang naik ke udara, tersiram air hujan hasil rekayasa cuaca pada Musim Karhutla ini.
Sekitar pukul 8 malam hari, seruan untuk aksi datang dari pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
AJI terlibat aktif dalam proses Reformasi ’98. Jurnalis pada satu sisi, dan aktifis di sisi lainnya.
Pembredelan yang mengkebiri hak sipil di masa Orde Baru, adalah sejarah yang tidak lepas dari AJI.
Semakin malam, media sosial semakin menjadi-jadi dengan “Siaran Darurat”
Lewat tengah malam, dan hari telah menjadi Kamis (22/08).
Seruan aksi datang dari Walhi Jambi. Mendadak, dan serentak.
Pagi, pukul 10.00 WIB. Tepat di perempatan Jalan Sri Sudewi – Ahmad Yani – RE Martadinata. Aksi pun dimulai, di Simpang BI.
Elemen masyarakat sipil yang hadir adalah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, WALHI Jambi, Perkumpulan Hijau, Beranda Perempuan, Mapala Gitasada, Gitabuana Club, Kelompok Pecinta Kelestarian Alam (KPKA) Rimba Negeri dan Rambu House.
Sebuah telegram bagi DPR dan pemerintah. Bahwa pembangkangan terhadap kedua putusan (MK) tidak akan ditoleransi.
Politik; pilkada, dan degradasi demokrasi.
“Tindakan DPR dan Pemerintah yang dengan sengaja mengesampingkan keputusan MK adalah ancaman langsung terhadap demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia,” kata Suwandi, Ketua AJI Jambi.
Keputusan MK, katanya, harus menjadi panglima dalam setiap kebijakan negara, mengikat dan final, dan bukan sekadar wacana yang dapat diabaikan oleh elit politik yang haus kuasa.
Namun, dalam pelaksanaannya, justru sebaliknya. DPR, dengan dorongan kuat dari Pemerintah, memilih untuk membangkang, memuluskan revisi UU Pilkada yang jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK.
Demokrasi Dikompresi. Karena sedang demam, dan sakit keras.
“Ini bukan hanya sekadar ketidakpatuhan hukum. Namun juga sebagai bentuk penghinaan terhadap demokrasi yang kita perjuangkan selama ini,” kata Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.
Mendekati tengah hari, long march menuju gedung DPRD Provinsi Jambi. Gedung Rakyat, tempat persoalan-persoalan terkait rakyat, diselesaikan. Begitu teorinya.
Faktanya, tidak ada satu dewan rakyat pun di sana. Dan, sepertinya, banyak alasan dapat dikemukakan untuk menolak para demonstran.
Suwandi, Ketua AJI Jambi berorasi di Simpang BI, Kamis (22/08). (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Mulai dari rapat, kunjungan kerja hingga studi banding.
Langit di atas mulai menghitam. Rekayasa cuaca akan menggelontorkan air hujan.
Para demonstran masih terus bertahan. Sementara, mahasiswa Universitas Batanghari, tertahan di halaman kampus mereka, di Jalan Basuki Rahmat.
Setelah Magrib, lagi, gedung DPRD Provinsi Jambi disegel. Penyegelan ini, telah terjadi berkali-kali.
Sebagai tanda tidak percaya terhadap “kinerja” uang pajak yang dikutip dari rakyat. Begitulah.
Hingga berita ini di-published demonstran masih bertahan di gedung DPRD Provinsi Jambi yang disegel.
Beberapa orang bicara soal romantisme Reformasi ‘98. Beberapa yang lain sibuk mengingat Penolakan Omnibus Law 2020.
Dan entah apa yang terjadi hari ini dan esok hari. Sebab perseteruan yang tidak resmi selalu memenuhi timeline media sosial.
Butuh obat mujarab dan ces pleng untuk menyembuhkan demokrasi yang sakit keras.*