HGU Selilit Pinggang

Hak Asasi Manusia

May 3, 2024

Farokh Idris/Kumpe Ulu, Muarojambi

Suasana di Desa Sumber Jaya. (photo credits : Farokh Idris/amira.co.id)

APO la gawe kito selamo ko. (: Entah apa yang telah kita kerjaan selama ini).

Demikian Datuk Rasidi, tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi mengatakan kepada para pembicara dari dinas dan instansi Kabupaten Muaro Jambi, pada pertemuan di Desa Sumber Jaya, Selasa (30/4).

Bagi penutur bahasa Jambi, pertanyaan dan juga pernyataan Datuk Rasidi itu adalah bermakna negatif. Yakni terkesan meragukan, tidak percaya, kecewa dan sejenisnya.

Pernyataan itu, ia ajukan ketika berbicara tentang penyelesaian konflik lahan di Desa Sumber Jaya. Sebab, konflik itu telah terjadi sejak tahun 1998, dimana kala itu kawasan desa mereka masih menjadi wilayah Kabupaten Batanghari.

Kini, setelah dimekarkan dan berganti nama menjadi Kabupaten Muarojambi, dan berganti-ganti bupati, konflik tetap belum juga selesai.

Datuk Rasidi, adalah saksi sejarah. Ketika perusahaan PT Tusau Putera membabat hutan mereka yang berisi meranti, mersawa, bulian dan jelutung, yang kerap dinyatakan sebagai kayu ekspor kwalitas 1.

Lalu, pada tahun 1998 itu, penduduk bergabung dan melakukan protes, dan membakar camp perusahaan logging itu.

Tetapi, sama seperti pernyataan Alpian, warga desa itu, kehidupan mereka seperti dikepung Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan-perusahaan. Mereka tidak dapat mengakses ladang mereka lagi, karena berada di dalam areal HGU. Bahkan, makam nenek puyang mereka pun berada di dalam areal HGU.

“Entah bagaimana cara penetapan HGU, karena kami pun tidak pernah diajak berunding,” katanya.

HGU perusahaan, bagi mereka, seperti ikat pinggang yang melilit di tubuh mereka. Hanya sebagai pemanis pandangan, tapi tidak membuat perut menjadi kenyang.

Sebab, apa yang dinyatakan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR) tidak pernah mereka rasakan. Hanya konflik, berkepanjangan.

Para pejabat daerah yang hadir pada pertemuan, yang entah telah berapa kali diadakan itu, berasal dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), sekretariat daerah, ATR/BPN, Dinas Perkebunan dan kepolisian.

Meskipun telah diadakan pertemuan berkali-kali, tapi tidak pernah mencapai titik temu. Sebab, sejauh ini, hak-hak masyarakat untuk mengakses tanah, tidak pernah terpenuhi.

Kriminal, adalah, istilah yang kerap mereka sandang, jika berurusan dengan hak atas tanah. Bahkan, Bahusni, ketua Serikat Tani Kumpe (STK) kini harus mendekam di penjara, karena mempertahankan hak atas tanah.

Pertemuan itu sendiri, dilakukan di Madrasah Diniyah Nuruttholibin. Anak-anak madrasah terpaksa libur belajar, hari ini.

Meskipun, bangunan madrasah adalah bantuan pemerintah, namun operasional dari madrasah adalah swadaya masyarakat.

Anggota serikat sengaja menyisihkan penghasilan mereka untuk operasional madrasah. Mulai dari menggaji kepala sekolah dan guru, hingga penyediaan alat tullis.

Dengan konflik tenurial yang berlarut-larut, dengan dasar “sesuai dokumen yang sah”, maka banyak pula tanah masyarakat, tempat rumah mereka hadir sejak lama, yang tidak memiliki dokumen otentik.

Sehingga, warga sering berseloroh, “Semua sudah berubah jadi kebun sawit Kapan be jalan di depan rumah kito berubah jadi kebun sawit jugo.” (: Semua sudah berubah menjadi kebun sawit. Jangan-jangan suatu saat, jalan di depan rumah kita mungkin akan berubah bentuk menjadi kebun sawit juga).

Seloroh, yang menyatakan kekecewaan, dan ketidakpercayaan.*

avatar

Redaksi