Pos Jaga Di Lahan Warga Tak Jadi Dibangun
Lingkungan & Krisis Iklim
April 21, 2024
Farokh Idris/Kumpe Ulu, Muarojambi
Warga Desa Sumber Jaya yang melakukan aksi demonstrasi pada sidang Bahusni, Ketua STK, beberapa waktu lalu. (credits : KPA wilayah Jambi)
TANGGAL 17 April setiap tahunnya, diperingati sebagai Hari Perjuangan Tani Internasional. Sebagai upaya untuk mengenang perjuangan para petani di seluruh dunia dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Tanggal ini ditetapkan pada tahun 1996 oleh La Via Campesina, sebuah gerakan petani internasional, untuk memperingati tragedi pembunuhan terhadap 19 petani tak bertanah pada saat mereka menuntut hak atas tanah, di Eldorado dos Carajas, Brasil.
La Via Campesina menyatakan bahwa peristiwa tragis ini menjadi simbol perjuangan para petani di seluruh dunia yang acap kali menghadapi penindasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sehingga Hari Perjuangan Tani Internasional menjadi wadah bagi para petani untuk bersatu dan menyuarakan tuntutan mereka. Serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang peran penting petani untuk ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Bertepatan dengan Hari Perjuangan Tani Internasional, Rabu, 17 April 2024, warga Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi, yang telah lebih dari 20 tahun memperjuangkan hak atas sumber agraria, yakni tanah masyarakat, kembali didatangi pihak keamanan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) wilayah Jambi, menyatakan bahwa pihak keamanan mendatangi lahan masyarakat Desa Sumber Jaya yang sedang berkonflik dengan PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) sekitar pukul 12.00 WIB. Tujuannya adalah untuk memberitahu warga bahwa PT FPlL akan membangun pos jaga di sana.
Meskipun, tidak ada urgensi bagi perusahaan untuk membangun pos jaga. Terlebih di lokasi lahan milik masyarakat.
“Kedatangan aparat keamanan tanpa maksud dan tujuan yang jelas dan tidak menunjukkan surat tugas merupakan bentuk intimidasi terhadap rakyat,” kata Muhammad Yasir dari KPA wilayah Jambi.
Setelah melalui perundingan, sekitar pukul 17.00 WIB, aparat pun keluar dari tanah warga. Pos jaga pun tidak jadi dibangun.
Konflik Agraria antara masyarakat Desa Sumber Jaya yang tergabung di dalam Serikat Tani Kumpe (STK) dengan perusahaan yang sekarang bernama PT PFIL, telah terjadi sejak tahun 1998 silam.
Tanah adat yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian dan tempat masyarakat mencari penghidupan seperti berburu, mencari ikan serta memafaatkan hasil hutan, oleh perusahaan disulap menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara yang tak elok.
Sebab, tidak diketahui secara jelas, dengan atau melalui siapa, perusahaan membeli lahan di desa itu. Dan, warga pun tidak pernah diajak berunding duduk bersama terkait persoalan ini.
“Hingga saat ini, PT FPIL tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah Desa Sumber Jaya,” katanya.
Secara aturan, menurutnya, hal itu telah melanggar Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian (UUPA). Yang mana setiap perusahaan perkebunan wajib memiliki Sertifikat HGU sebagai bukti legalitas bagi perusahaan untuk menguasai tanah.*