Karhutla Lagi, Lagi Lagi Karhutla

Lingkungan & Krisis Iklim

July 6, 2023

Zulfa Amira Zaed/Kota Jambi

Red sky phenomenon akibat kabut asap pada musim karhutla tahun 2019 di Provinsi Jambi. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

KENDATI pemerintah telah melakukan modifikasi cuaca per bulan Juni 2023, tetapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terjadi di Provinsi Jambi. Sebab, bulan Juni adalah awal musim kemarau pada tahun ini.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Jambi menyebutkan terdapat 177 hotspot (titik panas) di wilayah Provinsi Jambi di sepanjang bulan Juni 2023 ini. Padahal, pada bulan Mei hanya 88 hotspot saja.

Titik panas terbanyak yang dipantau satelit-satelit Terra-Aqua dan Suomi NPP berada di Kabupaten Tanjungjabung Barat, yakni 74 titik. Sementara di Kabupaten Sarolangun dan Merangin masing-masing 29 dan 22 titik.

Sedangkan Kabupaten Batanghari dan Bungo masing-masing sebanyak 13 titik, dan Kabupaten Tebo 14 titik. Sementara Kabupaten Tanjungjabung Timur sebanyak enam titik, Muarojambi sebanyak lima titik, dan Kerinci satu titik.

“Hanya Kota Jambi dan Sungaipenuh yang tidak memiliki titik panas,” kata prakirawan cuaca BMKG Jambi, Jamal, baru-baru ini.

Seiring dengan peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, BMKG memprediksi hotspot akan terus bermunculan.

“Peningkatan jumlah titik panas mulai terjadi sejak April lalu, yakni 99 titik,” katanya melanjutkan.

Bahkan, terhitung sejak enam bulan terakhir, BMKG mencatat telah muncul sebanyak 490 titik panas di Provinsi Jambi. Beberapa diantaranya adalah titik api.

“Hindarilah membuka lahan dengan cara membakar. Karena dapat menyebabkan terjadinya kabut asap,” katanya.

Karhutla adalah persoalan klasik di Provinsi Jambi. Saking klasiknya, karhutla yang mulai terjadi sejak tahun 1990 ini, terus terjadi hampir setiap tahun, dan masih jadi pembahasan pada hari ini.

Meskipun, sebenarnya, untuk mengatasi persoalan ini, Provinsi Jambi telah memiliki peraturan daerah (Perda) nomor 2, tahun 2016 tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta Perda nomor 1 tahun 2020 tentang tata kelola lahan gambut.

Bahkan, Kepala BNPB Doni Monardo dikutip dari bnpb.go.id mengatakan penyebab karhutla adalah 99 persen ulah manusia. Dan, sebanyak 80 persen lahan yang terbakar pada tahun 2019 telah berubah menjadi kebun.

Data BNPB menyebutkan seluas 328.724 hektare lahan terbakar di Provinsi Jambi pada tahun 2019.

Sementara KLHK melalui ppid.menlhk.go.id menyebutkan luas indikatif lahan yang terbakar di Indonesia pada tahun 2019 adalah seluas 857.756 hektare. Sebanyak 227.304 hektare berada di lahan gambut seluas 227.304 hektare, dan 630.451 hektare berada di lahan tanah mineral.

Sementara pada tahun 2015, karhutla yang terjadi di Indonesia seluas 2.611.411 hektare.

Pada tahun 2019, Fery Irawan dari Perkumpulan Hijau mengatakan sebagian besar areal karhutla di Provinsi Jambi tahun 2019 merupakan areal bekas kebakaran di tahun 2015. Sebagian besar adalah areal konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perusahaan perkebunan sawit.

Sementara pada tahun yang sama, yakni 2019, Rudi Syaf dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengatakan bahwa kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku karhutla telah menyebabkan karhutla terjadi berulang kali. Perusahaan-perusahaan pemilik HTI dan perkebunan sawit, misalnya, jarang diperiksa terkait pengembangan luas areal konsesi mereka hingga ke areal hutan dan lahan gambut.

Untuk menyegarkan ingatan, pada tahun 2019, indeks udara di Jambi menurut AQI US- KLHK, pernah mencapai angka 559, dengan arti berbahaya bagi kesehatan manusia.

Kini, di tahun 2023, apakah kondisi yang sama yang akan kita dapatkan? *

avatar

Redaksi