Gen Z Nepal; Dari “Discord” Memilih Sushila Karki
Daulat
September 16, 2025
Jon Afrizal

Kerusuhan pekan lalu di Nepal. (credits: SIPA)
SETELAH aksi demonstrasi dan kerusuhan pada pekan lalu, Nepal berangsur tenang. Militer Nepal telah mengambil alih jalan-jalan di ibukota Kathmandu, dengan tujuan untuk mengakhiri aksi protes selama dua hari terhadap korupsi, pada pekan lalu.
Tingginya tingkat pengangguran pemuda berusia 15 hingga 24 tahun di Nepal, adalah sebesar 20,8 persen pada tahun 2024. Sehingga, mengutip World Bank, kondisi ini telah memaksa banyak orang muda pindah ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.
Lebih dari sepertiga atau sebesar 33,1 persen dari PDB Nepal berasal dari pengiriman uang pribadi dari luar negeri, dengan jumlah yang terus meningkat selama tiga dekade terakhir.
Atas kondisi perekomian yang sulit ini, maka, gaya pamer ala Nepo Kids di media sosial, tentu saja dapat membangkitkan kemarahan kolektif.
Presiden Nepal Ramchandra Paudel telah mendesak para demonstran untuk “bekerjasama untuk menciptakan resolusi damai” dan meminta para pemrotes pemuda untuk “datang untuk berbicara.”
Generasi Z Nepal, bagaimanapun, telah membuat sebuah ruang diskusi terbuka yang demokratis, sesuai jamannya. Platform media sosial Discord, yang bertujuan untuk percakapan, telah mereka ubah menjadi menjadi tempat untuk berbicara secara serius: tentang masa depan Nepal.
Dimana, setiap orang, sesuai dengan makna demokrasi, memiliki suara, dan berhak untuk bersuara dan didengar.
Dari diskusi di Discord, ajakan kerjasama Ramchandra Paudel telah mengerucut kepada satu nama: Sushila Karki, sebagai sosok yang mereka percaya untuk membawa Nepal ke arah sistem yang lebih baik.
Sushila Karki, mantan hakim agung berusia 73 tahun, ditugaskan sebagai Perdana Menteri (PM) sementara Nepal, Jumat (12/9), untuk memulihkan ketertiban dan menangani tuntutan para pemrotes. Di masa transisi, untuk masa depan Nepal yang bebas korupsi menjelang pemilihan umum enam bulan ke depan.
Shusila Karki ditunjuk setelah kesepakatan dicapai antara para pemimpin protes dengan pihak pemerintah.
Pun, Ramchandra Poudel, atas rekomendasi Sushila Karki, telah membubarkan parlemen pada hari yang sama. Selain juga, sebagai desakan dan tuntutan demonstran.
Meskipun, dalam sebuah pernyataan, mengutip BBC, delapan partai politik di Nepal, termasuk Kongres Nepal, CPN-UML dan Maois Centre, menyatakan bahwa Presiden Ram Chandra Poudel telah bertindak inkonstitusional.
Masih terbuka perdebatan soal itu semua. Terkait langkah-langkah yang diambil oleh PM Sementara ini.
Justru, Shusila Karki bukanlah seorang dengan latar belakang politisi. Sehingga, dalam situasi yang “tidak percaya” dengan kondisi politik, sosok ini tampil ke depan, memimpin Nepal.
Dan, harus juga dilihat, bahwa, Nepal yang penuh dengan gejolak politik, adalah negara yang berbatasan langsung dengan India dan China. Kedua negara yang memiliki “bayangan” di negara Nepal.

Sushila Karki. (credits: Facebook)
Mungkin saja, banyak orang berpendapat bahwa Sushila Karki memiliki “hubungan” tersendiri dengan India.
Sushila Karki, mengutip NDTV, adalah hakim agung wanita pertama Nepal. Ia menjabat hakim agung sejak Juli 2016 hingga Juni 2017.
Ia dikenal dengan kebijakan nol toleransi terhadap korupsi. Reputasinya sebagai ahli hukum yang jujur, pun telah mendorongnya menjadi sorotan politik pada saat Nepal dikejutkan oleh protes massa terhadap korupsi dan kerusuhan. Sebagian besar pengunjuk rasa mendesak pengangkatannya sebagai perdana menteri sementara.
Shusila Karki menyelesaikan gelar Bachelor of Arts di Mahendra Morang Campus pada tahun 1972, diikuti dengan gelar master dalam ilmu politik di Banaras Hindu University (BHU) di India pada tahun 1975. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1978, ia memperoleh gelar Bachelor of Laws dari Universitas Tribhuvan di Kathmandu.
Sebagai seorang mahasiswa di BHU di Varanasi, ia bertemu Durga Prasad Subedi, yang kemudian menjadi suaminya. Subedi adalah pemimpin pemuda Kongres Nepal dan memainkan peran sentral dalam episode dramatis: pembajakan penerbangan Nepal Airlines tujuan domestik pada 10 Juni 1973.
Pesawat yang membawa sekitar NPR 4 juta atau setara dengan USD 400.000 milik bank negara Nepal, terpaksa mendarat di Forbesganj di distrik Purnea Bihar. Aktris film Hindi, Mala Sinha juga ada di dalam pesawat yang dibajak itu.
Para pembajak, mengutip The New York Times, memperlihatkan senjata api dan menuntut pengalihan penerbangan ke India. Tidak ada penumpang yang terluka, dan setelah tiga kotak uang tunai diturunkan, pesawat diizinkan untuk melanjutkan perjalanannya.
Uang itu diserahkan kepada Girija Prasad Koirala, yang sedang menunggu di India. Uang itu dilaporkan digunakan untuk membeli senjata untuk perjuangan bersenjata Kongres Nepal melawan monarki.
Subedi dan yang lainnya yang terlibat dalam pembajakan itu ditangkap oleh pihak berwenang India. Mereka telah menjalani satu tahun persidangan, dan divonis hukuman dua tahun penjara, sebelum akhirnya kembali ke Nepal menjelang referendum 1980.
Pada tahun 2009, Shusila Karki ditunjuk sebagai hakim sementara di Mahkamah Agung (MA) Nepal. Setahun kemudian, ia menjadi hakim tetap MA Nepal. Selanjutnya, pada Juli 2016, ia ditetapkan sebagai hakim agung.
Dalam sikap dan kebijakan nol toleransi terhadap korupsi, Sushila Karki pernah dituduh bersikap bias dalam putusan yang mendiskualifikasi kepala pengawas anti-korupsi. Pada April 2017, anggota parlemen dari Kongres Nepal dan CPN (Pusat Maois) mengajukan mosi pemakzulan terhadapnya. Mosi itu menyebabkan penangguhan langsung terhadap jabatannya.
Namun, protes publik meletus dalam membela independensi peradilan, dan MA Nepal ikut ambil langkah untuk menghentikan proses lanjutan. Mosi pemakzulan ditarik dalam beberapa minggu, dan Shusila Karki kembali ke jabatannya sebelum pensiun sebulan kemudian pada Juni 2017.
Selama masa sebagai hakim agung, ia memimpin beberapa kasus penting, termasuk hukuman kasus korupsi terhadap Menteri Informasi dan Komunikasi, Jaya Prakash Prasad Gupta.
Dalam beberapa bulan terakhir, mengutip Al Jazeera, gerakan pro-monarki Nepal juga kembali bangkit. Seperti dengan cara menyambut mantan raja Nepal, Gyanendra Shah yang berusia 77 tahun, di jalan-jalan Kathmandu pada bulan Maret 2025.
Namun, banyak pihak menyangsikan, bahwa tidak banyak lagi penduduk Nepal yang mendukung monarki lama.
Saat ini, lebih dari 3.200 pemuda Nepal tengah terlibat diskusi di platform media sosial Discord. Tentang, bagaimana Gen Z secara resmi mengambil bagian dalam pembicaraan dan masalah apa yang akan dibahas, untuk sistem yang lebih baik di Nepal.
Beberapa tuntutan, yakni; termasuk pembubaran parlemen, pemilihan baru dalam waktu enam bulan atau, paling lama setahun, dan mekanisme pemilihan PM secara langsung.
Juga termasuk; batas masa jabatan untuk perdana menteri, dan pengurangan masa jabatan untuk parlemen dari lima tahun menjadi empat.
Hingga hari ini, tidak ada batas masa jabatan untuk perdana Menteri. Namun, tidak ada PM yang dapat menyelesaikan masa jabatan lima tahun. Terutama setelah Nepal mengadopsi konstitusi pasca-monarki pada tahun 2008.
Seperti sistem parlementer lainnya, pemilih Nepal memilih anggota legislatif mereka, dan partai politik yang berkuasalah yang memilih PM.
Dan, anak-anak dari legislatif inilah yang disebut Nepo Kids. Mereka yang memamerkan hidup mewah di media sosial, yang akhirnya menyulut aksi demonstrasi dan kerusuhan di Nepal pekan lalu.*

