Cabuliwallah (2)

Lifestyle

May 18, 2025

Rabindranath Tagore

Ilustrasi seorang gadis kecil. (credits: pexels)

SETAHUN sekali di pertengahan Januari, Rahmun si Cabuliwallah, memiliki kebiasaan kembali ke negaranya, dan ketika waktunya mendekati ia akan sangat sibuk, pergi dari rumah ke rumah untuk menagih hutangnya. Namun, tahun ini, ia selalu bisa menemukan waktu untuk datang dan melihat Mini. Akan tampak bagi orang luar bahwa ada konspirasi di antara keduanya, karena ketika dia tidak bisa datang di pagi hari, dia akan muncul di malam hari.

Bahkan bagiku kadang-kadang sedikit mengejutkan, di sudut ruangan gelap, tiba-tiba muncul dengan mengejutkan: pria tinggi, berpakaian longgar dan banyak kantong ini; tetapi ketika Mini akan berlari sambil tersenyum, dengan “O Cabuliwallah! Cabuliwallah!” dan kedua teman itu, yang sangat jauh dalam usianya, akan mereda menjadi tawa dan lelucon mereka, aku merasa yakin.

Suatu pagi, beberapa hari sebelum Cabuliwallah memutuskan untuk pergi, aku sedang mengoreksi lembaran-lembaran buku di ruang kerjaku. Cuaca dingin. Melalui jendela, sinar matahari menyentuh kakiku, dan dengan sedikit kehangatan menyambut.

Saat itu hampir jam delapan, dan para pejalan kaki pagi kembali ke rumah dengan kepala tertutup. Tiba-tiba aku mendengar keributan di jalan, dan, melihat keluar, melihat Rahmun dibawa pergi terikat di antara dua polisi, dan di belakang mereka kerumunan anak laki-laki yang penasaran.

Ada noda darah di pakaian Cabuliwallah, dan seorang polisi membawa pisau. Bergegas keluar, aku menghentikan mereka, dan menanyakan apa artinya semua itu.

Orang yang berkumpul yang ku tanyai, dan aku menyimpulkan bahwa seorang tetangga telah berhutang satu helai selendang Rampuri kepada penjaja Cabuliwallah itu, tetapi tetangga itu menyangkal telah berhutang, dan bahwa dalam pertengkaran itu Rahmun telah memukulnya.

Sekarang, dengan suasana yang pans, tetangga itu mulai memanggil musuhnya, Cabuliwallah yang kini ditangkap, dengan segala macam nama, ketika tiba-tiba di beranda rumahku muncul Mini kecilku, dengan seruannya yang biasa: “O Cabuliwallah! Cabuliwallah!” Wajah Rahmun berbinar saat ia menoleh ke arah Mini.

Ia tidak memiliki tas di bawah lengannya hari ini, jadi dia tidak bisa membahas gajah itu dengannya. Oleh karena itu, ia segera melanjutkan ke pertanyaan berikutnya: “Apakah kamu akan pergi ke rumah ayah mertuanya?” Rahmun tertawa dan berkata: “Ke mana aku pergi, anak kecil!” Kemudian, melihat jawaban itu tidak menghibur anak itu, dia mengangkat tangannya yang terbelenggu. “Ah!” katanya, “Aku akan memukuli ayah mertua tua itu, tetapi tanganku terikat!”

Atas tuduhan penyerangan pembunuhan, maka Rahmun dijatuhi hukuman penjara beberapa tahun.

Waktu berlalu dan ia tidak diingat. Pekerjaan biasa di tempat biasa adalah milik kami, dan pemikiran tentang pendaki gunung yang dulunya bebas menghabiskan tahun-tahunnya di penjara jarang atau tidak pernah terlintas di benak kami. Bahkan Mini-ku dengan ringan, bahwa aku malu untuk mengatakannya, ia melupakan teman lamanya.

Teman-teman baru telah memenuhi hidupnya. Seiring bertambahnya usia, ia menghabiskan lebih banyak waktunya dengan gadis-gadis sebaya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan bersama mereka, sehingga, Mini tidak datang lagi, seperti yang biasa ia lakukan, ke kamar ayahnya. Aku hampir tidak pernah berbicara dengannya.

Bertahun-tahun telah berlalu. Saat itu musim gugur sekali lagi dan kami telah membuat pengaturan untuk pernikahan Mini kami. Itu akan berlangsung selama Liburan Puja. Dengan Durga kembali ke Kailas, cahaya rumah kami juga akan berangkat ke rumah suaminya, dan meninggalkan rumah ayahnya dalam bayang-bayang.

Satu sudut Kota Kalkuta, India. (credits: pexels)

Pagi hari cerah. Setelah hujan, ada rasa sejuk di udara, dan sinar matahari tampak seperti emas murni. Begitu terangnya, sehingga mereka memberikan pancaran yang indah bahkan ke dinding bata kotor di lorong-lorong yang kami lewati di Kalkuta. Sejak fajar hari itu, pipa pernikahan telah berbunyi, dan pada setiap denyut detak jantungku. Ratapan lagu, Bhairavi, tampaknya mengintensifkan rasa sakitku pada perpisahan yang semakin dekat. Mini-ku akan menikah malam itu.

Sejak pagi hari, kebisingan dan hiruk pikuk telah menyelimuti rumah. Di halaman kanopi harus digantung di tiang bambunya; lampu gantung dengan suara dentingnya harus digantung di setiap ruangan dan beranda. Tidak ada akhir dari terburu-buru dan kegembiraan.

Aku sedang duduk di ruang kerjaku, sembari melihat-lihat nota pengeluaran, ketika seseorang masuk, memberi hormat dengan sangat hormat, dan berdiri di hadapanku.

Dia adalah Rahmun, si Cabuliwallah teman Mini semasa kecil.

Awalnya aku tidak mengenalinya. Ia tidak menyandang tas, atau rambut panjang, atau sesuatu yang sama, seperti dulu. Tapi ia tersenyum, dan dengan senyumnya yang khas itu, aku mengenalnya lagi.

“Kapan kau datang, Rahmun?” Aku bertanya padanya.

“Tadi malam,” katanya, “aku telah bebas dari penjara.”

Kata-kata itu menyentuh telingaku. Aku belum pernah berbicara sebelumnya dengan seseorang yang telah melukai rekannya, dan hati-ku seperti mengkerdil dalam dirinya sendiri, ketika aku menyadari hal ini; karena aku merasa bahwa hari itu akan menjadi pertanda yang lebih baik jika ia tidak muncul.

“Ada upacara yang sedang berlangsung,” kataku, “dan aku sibuk. Bisakah kau datang di lain hari?”

Segera ia berbalik untuk pergi; tetapi ketika ia sampai di pintu, ia ragu-ragu, dan berkata: “Bolehkah aku untuk melihat si kecil, Tuan, sejenak?”

Itu adalah keyakinannya bahwa Mini adalah pribadi yang masih sama. Ia membayangkan Mini berlari ke arahnya seperti biasanya, dan memanggil “O Cabuliwallah! Cabuliwallah!”

Ia juga membayangkan bahwa mereka akan tertawa dan berbicara bersama, seperti dulu. Bahkan, untuk mengenang hari-hari sebelumnya ia telah membawa, dengan hati-hati dibungkus dengan kertas, beberapa almond dan kismis dan anggur, yang diperoleh entah bagaimana dari seorang rekannya; karena uangnya sendiri sanagt sedikit.

Aku berkata lagi: “Ada upacara di rumah, dan engkau tidak akan dapat melihat siapa pun hari ini.”

Wajah pria itu tertunduk, jatuh. Ia menatapku sejenak, dengan sedih, lalu berkata “Selamat pagi,” dan keluar.

Aku merasa sedikit menyesal, dan akan memanggilnya Kembali. Tetapi aku mendapati bahwa ia kembali atas kemauannya sendiri.

Rahmun mendekatiku sambil mengulurkan persembahannya dengan kata-kata: “Aku membawa beberapa barang ini, Tuan, untuk si kecil. Maukah engkau memberikan ini kepadanya?”

Lalu, aku mengambilnya dan akan membayarnya, tetapi Rahmun meraih tangan saya dan berkata: “Anda sangat baik, Tuan! Simpan aku dalam ingatanmu. Jangan tawarkan aku uang!—Anda memiliki seorang gadis kecil: aku juga memiliki seorang gadis seperti dia di rumahku. Aku memikirkannya, dan membawa buah-buahan untuk anakmu—bukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diriku sendiri.”

Sambil mengatakan hal ini, ia memasukkan tangannya ke dalam jubah besar longgarnya, dan mengeluarkan selembar kertas kecil dan kotor. Dengan sangat hati-hati ia membuka ini, dan menghaluskannya dengan kedua tangan di atas mejaku. Kertas itu memperlihatkan kesan sesuatu seperti tangan yang kecil. Bukan foto. Bukan gambar.

Kesan tangan yang diolesi tinta diletakkan rata di atas kertas. Sentuhan putri kecilnya sendiri ini selalu ada di hatinya, karena ia datang tahun demi tahun ke Kalkuta untuk menjual barang-barangnya di jalanan.

Air mataku mengalir basah di pipi. Aku lupa bahwa ia adalah penjual buah Cabuliwallah yang malang, sementara aku, aku. Tapi tidak, apa yang lebih dari itu semua? Ia juga seorang ayah.

Kesan tangan Parbati kecilnya di rumah pegunungannya yang jauh mengingatkanku pada Mini kecilku sendiri.

Aku segera memanggil Mini yang berada di dalam rumah. Banyak kesulitan yang ia hadapi untuk menuju ke tempatku, dari dalam rumah. Tetapi aku tidak mau mendengarkan.

Dengan berpakaian sutra merah pada hari pernikahannya, dengan pasta di dahinya, dan dengan perhiasan seperti layaknya pengantin, Mini datang, dan berdiri dengan malu-malu di hadapanku.

Cabuliwallah tampak sedikit bingung melihat penampakan itu. Ia tidak bisa menghidupkan kembali persahabatan lama mereka. Akhirnya dia tersenyum dan berkata: “Anak kecil, apakah kamu akan pergi ke rumah ayah mertuamu?”

Tapi Mini sekarang mengerti arti kata “ayah mertua”, dan ia tidak bisa menjawabnya seperti dulu. Ia memerah mendengar pertanyaan itu, dan berdiri di hadapannya dengan wajah seperti layaknya pengantin wanita yang menunduk.

Aku teringat hari ketika Cabuliwallah dan Mini-ku pertama kali bertemu, dan aku merasa sedih. Ketika Mini kembali pergi ke dalam, Rahmun menghela nafas dalam-dalam, dan duduk di lantai.

Sepertinya, ia sedang membayangkan, bahwa putrinya juga pasti telah tumbuh dalam waktu yang lama, dan bahwa ia harus berteman dengannya lagi. Tentu saja ia tidak akan menemukannya seperti dulu, sebagaimana ia mengenalnya. Dan selain itu, apa yang mungkin tidak terjadi padanya dalam delapan tahun ini? Delapan tahun di penjara.

Terompet tanda dimulainya upadara pernikahan telah berbunyi, dan matahari musim gugur yang sejuk mengalir di sekitar kami. Tetapi Rahmun duduk di lorong kecil Kalkuta, dan ia sedang memandangi pegunungan tandus di Afghanistan, di hadapannya.

Aku mengeluarkan uang kertas dan memberikannya kepadanya, berkata: “Pulanglah kembali ke putrimu, Rahmun, di negerimu, dan semoga kebahagiaan pertemuanmu membawa keberuntungan bagi anakku!”

Setelah membuat pernyataam ini, sebagai pertanda kepadanya, bahwa aku harus membatasi diriku, denagn berbagai upacara perayaan yang sedang berlangsung.

Aku bahkan seperti tidak bisa melihat sinaran lampu kerlap-kerlip yang menghiasi perayaan ini.

Tetapi bagiku, pesta pernikahan ini semakin cerah. Karena aku berpikir, bahwa di negeri yang jauh di sana, seorang ayah yang telah lama meghilang, kini telah bertemu lagi dengan anak satu-satunya.*

avatar

Redaksi