Wallago Yang Terancam Punah
Lingkungan & Krisis Iklim
December 30, 2024
Jon Afrizal
Sungai Batanghari, dilihat dari Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
WALLAGONIA Lerii hidup di sungai-sungai besar di Asia. Ikan yang di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan sebutan ikan Tapah ini termasuk genus beberapa ikan berkumis (siluriformes) dalam famili siluridae pemakan daging (karnivora).
Di Indonesia, ikan besar ini hidup di sungai-sungai besar di Sumatera dan Kalimantan, terutama di perairan tenang dan terdalam di bagian tengah antara hulu dan hilir. Panjangnya mencapai sekitar 150 centimeter dan berat mencapai 86 kilogram.
Monofili genus ini ambigu dan tidak terdiagnosis oleh sinapomorfi apa pun. Patrick Russell mencatat dalam bukunya Descriptions and figures of two hundred fishes pada tahun 1803. Nama Wallagoo, adalah nama dalam bahasa Telugu di Vishakapatnam yang dicatatnya waktu itu.
Terkadang, Tapah juga disebut dengan: ikan lele besar. Dan, terkadang, di banyak wilayah, ikan Tapah berdampingan dengan ikan lele.
Tapah memiliki bentuk tubuh yang pendek dan bulat dan ekor yang panjang dan lebar. Sirip dubur ikan itu kira-kira sepanjang ekor itu sendiri dan berakhir dengan sirip ekor cabang. Sirip perut ikan itu kecil, dan tidak ada duri punggung di atasnya.
Tapah memiliki punuk yang terlihat, di atasnya terdapat sirip punggung, yang kecil dan hampir elips. Kepala ikan ini panjang, dan sangat lebar dengan rahang bawah yang besar yang melampaui rahang atasnya.
Beberapa baris gigi tajam ada pada mulut ikan Tapah. Dengan gigi-gigi tajam, ikan Tapah dapat memakan mangsanya, yakni ikan-ikan kecil yang dikonsumsi secara utuh.
Bagi para nelayan penangkap ikan, ikan Tapah adalah legenda yang harus dicari ditaklukan. Seperti cerita Moby Dick yang diburu Captain Ahab. Sehingga mengakibatkan ikan Tapah termasuk ke dalam redlist IUCN dengan kategori: Terancam Punah.
Peneliti taksonomi dan biodiversitas ikan air tawar dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengatakan meskipun populasinya sangat sedikit, tapi Ikan Tapah masih ada di perairan Sungai Batanghari.
Ilustrasi Wallagonia leerii. (credits: The Great Mule of Eupatoria)
“Kondisi Sungai Batanghari yang tercemar telah menganggu populasi ikan. Dampak yang bisa diamati adalah sudah jarang ditemukan ikan ukuran besar. Karena pencemaran dapat menghambat pertumbuhan ikan,” katanya, mengutip Tribun Jambi.
Di banyak wilayah, ikan Tapah hadir dalam folklore. Seperti di Provinsi Jambi, yang menunjukan ikan ini pernah menjadi “idola” untuk dikonsumsi, meskipun dalam ruang dan waktu yang telah lama.
Masyarakat Kabupaten Batanghari, misalnya, yang mengenal cerita lisan “Tapa Melenggang”, yang hadir selama dua generasi.
Folklore ini berkisah tentang seorang yang bernama: Mambang Diawan. Ia adalah anak raja Sati Menggung dan Sicindau Laut.
Mambang Diawan meminta izin kepad aorangtuanya untk menjemput jodohnya, yang berada di daerah Lubuk Sebidar Alam. Tetapi, Mambang Diawan harus menyamar dan berubah bentuk menjadi ikan Tapah.
Mambang Diawan diizinkan, dengan syarat: kedua adiknya; adiknya Mambang Bulan (Tapa Kudung) dan Mambang Sakti (Tapa Tembago) harus ikut serta.
Selama dalam pencarian, ketiganya harus berhadapan dengan Ular Sawo, Ular Bide, Labi-labi Putih dan Rajo Mudo.
Berdasarkan cerita lisan itu, mengutip warisan budaya, penutur cerita ini sangat sedikit, dan semakin sedikit. Umumnya, cerita dikisahkan kepada kanak-kanak pada malam hari. Dengan irama dan logat lokal, yang terkadang membutuhkan dua orang pencerita.
Memang, mayoritas masyarakat Batanghari mengetahui beberapa tempat hidup ikan Tapah. Tetapi, masyarakat menggambarkan Ikan Tapah sebagai makhluk penunggu sungai Batanghari.
Ikan Tapah tidak akan menyerang jika manusia juga tidak mengusik habitatnya.
Sehingga, diakui atau tidak, budaya lisan dan folklore memiliki tujuan tertentu. Dapat dikatakan untuk menjaga keseimbangan alam.
Agar alam tidak rusak, dan manusia tetap hidup sesuai kebutuhannya. Tidak kurang dan tidak lebih.*