“Lubuk Gelanggang” : Larangan Demi Menjaga Ekosistem Sungai
Inovasi
September 26, 2023
Jon Afrizal/Batang Asam, Tanjungjabung Barat
Kesejukan yang dirasakan di “Lubuk Gelanggang”, dengan rindangnya pepohonan di sana. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“SAYA harus meninggalkan jejak yang baik kepada anak cucu saya.” Demikian A Rahman (67) warga Desa Lubuk Lawas Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjungjabung Barat berucap, di penghujung September 2023.
Ini adalah kunjungan dan liputan pertama-ku ke desa ini. Desa yang asri, dan berada di kebun kebun satu jenis skala besar dan juga tambang batu bara.
Perjalanan yang cukup melelahkan, terlebih ketika kabut asap dan teriknya kemarau membuat tubuh sangat gerah dan diserang dehidrasi. Climate Change, demikian istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan kondisi lingkungan saat ini.
Tetapi, kejenuhan perjalanan segera terobati ketika kaki menjejak di areal 2,5 hektare milik A Rahman. Ia adalah orang yang dituakan di desa ini.
Lahan milik A Rahman tetap ia pertahankan menjadi kebun. Kebun orang-orang Melayu Jambi pada umumnya. Terdapat tanaman duku, durian dan rambe. Serta beberapa tanaman lain seperti karet dan jengkol.
Kebun milik A Rahman berada tepat di pinggir Sungai Asam, yang menghilir ke sungai besar yakni Sungai Pengabuan. Hulunya, jika disusur, akan menuju ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Di atas Lubuk Larangan itu, terbentang jembatan gantung sepanjang 8 meter. Jembatan itu digunakan oleh warga desa menuju kebun-kebun mereka yang berada di seberang sungai.
Tepat di badan sungai yang berada di lahan miliknya, kedalaman sungai berkisar antara 3 meter hingga 5 meter. Lalu, ia tetapkan untuk menjadi “Lubuk Larangan” sejak tahun 2022 lalu.
“Saya berusaha agar ikan-ikan lokal tetap ada. Dan juga agar warga sekitar dapat memanfaatkan kebutuhan mandi saat sumur-sumur warga mulai kekeringan seperti saat sekarang ini,” ujarnya.
“Lubuk Larangan” adalah sebuah tradisi lokal, umumnya Melayu, yang terdapat di Provinsi Jambi dan Riau. Lubuk, menurut kasanah bahasa Melayu, adalah cekungan yang berada di bagian terdalam atau paling rendah di sebuah sungai, danau atau laut. Sebagai wilayah ekologi, lubuk adalah tempat bersarang dan berkembangbiaknya ikan-ikan.
Ikan-ikan lokal yang ada di lubuk itu adalah nila, masai dan baung. Juga terdapat udang yang berkulit cokelat kehitaman, atau yang dikenal dengan sebutan udang galah.
“Lubuk Gelanggang” yang asri. Terdapat berbagai jenis ikan lokal di lubuk ini. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
Lubuk Larangan di lahan pribadi ini memiliki panjang inti 500 meter dan penyangga masing-masing 250 meter. Lubuk Larangan itu diberi nama “Lubuk Gelanggang”.
“Saya dibantu oleh seorang cucu. Ia memberikan ide-ide dan sedikit demi sedikit mengerjakan apa yang saya inginkan,” katanya.
A Rahman menginginkan agar Lubuk Gelanggang dapat membantu perekonomian warga setempat. Dikatakan menjadi semacam pariwisata lokal.
“Ikan-ikan dapat dipanen setiap tiga tahun sekali,” katanya.
Selain itu, dengan suasana yang asri, tentu menarik minat orang luar untuk berkunjung. Sehingga warga sekitar dapat berjualan di lokasi ini.
Saat ini ia tengah membuat pondok-pondok untuk ngaso di bawah rindangnya pohon-pohon duku di lahannya. Bahannya adalah dengan menggunakan bambu yang berada di lokasi itu.
“Sedikit demi sedikit. Saya sudah tua dan kurang tenaga,” katanya.
Tetapi, seperti namanya, terdapat “larangan” bagi orang-orang untuk kegiatan yang merusak di sana. Seperti men tuba , me racun , menyetrum dan mem putas ikan. Penyebabnya dapat menyebabkan ikan-ikan mati, berikut juga bibit-bibitnya.
Pada waktu panen nanti, katanya, ikan hasil panen bukan miliknya sendiri. Tetapi juga milik warga desa.
“Kami akan panen bersama-sama,” katanya.
Atas usahanya ini, “Lubuk Gelanggang” pun telah di-Perdes-kan. Dan diakui desa, sebagai perpanjangantangan pemerintah pusat, untuk tetap dijaga dikeasriannya.
Setara, sebuah non government organization (NGO) yang berkegiatan di desa itu, memberikan dukungan kepada A Rahman dalam upaya tetap menjaga ekosistem sungai.
“Sawit yang telah ada adalah sebuah keterlanjuran. Tetapi bagaimana kini setiap pemilik kebun swadaya tetap mempertahankan luasan yang ada tanpa perluasannya, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas TBS,” kata Diektur Setara, Baya Zulhakim.
Dengan terjaganya ekosistem sungai, katanya, keseimbangan dapat diupayakan. Sebab lingkungan yang rusak, sangat tidak sebanding artinya dengan uang yang didapat dari hasil merusak lingkungan.
Setelah sore datang, kami pun pergi dari “Lubuk Gelanggang”. Beberapa waktu lagi, aku akan datang kembali ke sini. Untuk kembali menjenguk orang tua yang berperspektif luas ini. Sekedar berbincang-bincang, sambil memancing ikan.*