Si Kelingking Dari Jambi

Inovasi

April 14, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi suami dan istri. (credits: pexels)

TERSEBUTLAH sepasang suami istri yang sudah uzur, di negeri Jambi, pada suatu ruang dan waktu yang tidak dapat dijelaskan dengan pasti. Setelah puluhan tahun menikah, mereka tidak juga dikaruniai seorang keturunan pun.

Dalam keputusasaanya, keduanya berdoa kepada Sang Pencipta. Bahwa, meskipun mereka hanya diberikan seorang anak yang wujudnya hanya sebesar jari kelingking, mereka pasti akan bersyukur.

Doa mereka berdua terkabul. Si istri pun hamil. Meskipun, pada awalnya, si suami tidak percaya.

“Mana mungkin. Lihat perutmu, bahkan tidak ada tanda-tanda engkau sedang hamil,” kata si suami.

Sebab, memang tidak ada tanda-tanda kehamilan yang umumnya terlihat pada istrinya. Maklumlah, jabang bayi mereka ukurannya hanya sebesar jari kelingking saja.

Lalu, si istri pun mengingatkan kepada si suami tentang doa mereka. Setelah itu, barulah si suami percaya.

Setelah sembilan bulan kehamilan, si bayi pun lahirlah. Ukurannya, hanya sebesar jari kelingking, sebagaimana doa mereka berdua kepada Sang Pencipta.

Kendati demikian, keduanya tetap memanjatkan syukur, dan berkhidmat atas kelahiran ini. Pun mereka menyayanginya.

Kelingking, demikian nama untuk si bayi diberikan. Sesuai dengan ukuran tubuhnya.

“Mari, suamiku, kita rawat Si Kelingking dengan baik. Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Sang Pencipta,” kata si isteri.

Seiring waktu berjalan, Kelingking pun menjadi seorang pria dewasa.

Meskipun secara fisik ia memiliki kekurangan, namun, ada hal lain yang menjadi kelebihannya. Kelingking, sejak kecil telah terlihat pintar dan cerdas.

Suatu hari, dusun tempat mereka tinggal didatangi oleh satu mahluk berbentuk raksasa yang sedang kelaparan. Raksasa mengamuk mencari makan, dan membuat takut orang-orang seisi dusun.

Kelingking pun berinisiatif untuk melawan. Untuk membebaskan dusunnya dari amuk amarah raksasa yang lapar.

Ia, lalu meminta izin kepada kedua orangtuanya.

“Berat hati kami, nak. Sebab lawanmu tak setara,” kata ibunya.

“Tapi, jika kuat niatmu untuk membantu penduduk dusun, maka pergilah. Doa kami menyertaimu.” Demikian kalimat dilanjutkan oleh ayahnya.

Sementara itu, di tengah dusun, suara raksasa menggetarkan seiisi dusun. Membuat penduduk dusun semakin takut, dan bersembunyi, dan beberapa lainnya berlari menjauh.

Lalu, Si Kelingking meminta kepada ayahnya untuk digalikan sebuah lubang di tanah. Sebuah lubang yang sangat dalam.

Sehingga, jika seseorang berteriak dari bagian atas, maka suaranya akan menggaung bergema.

Ilustrasi bayi. (credits: pexels)

“Oi, orang dusun. Dimana kalian semua?” Bergema suara Si Kelingking ke seluruh penjuru dusun.

Raksasa terkejut. Ia mendengar suara manusia. Tapi tak melihat wujudnya.

Sekali lagi, suara raksasa terdengar meraung. Menggetarkan dedaunan di pohon-pohon yang merindangi dusun.

Si Kelingking pun kembali memanggil orang dusun, dari lubang itu.

Raksasa terlihat bingung. Lagi, ia mendengarkan suara tak berwujud. Sehingga, terbitlah rasa takutnya.

Raksasa berlari ke sana kemari, dan akhirnya terjatuh ke dalam jurang. Ia mati.

Mengetahui kematian raksasa kelaparan itu, pulanglah orang-orang dusun. Mereka mengeluk-elukan Si Kelingking. Sembari, tidak lupa mengucapkan terimakasih.

Kabar tentang cara cerdas Si Kelingking mengusir raksas itu pun sampai ke telinga penguasa.

Kelingking pun dipanggil menghadap penguasa. Sebab penguasa ingin mendengarkan pengakuan dari Si Kelingking.

“Aku butuh bukti, dan bukan omong kosong. Engkau harus membuktikannya, Wahai Kelingking,” kata sang penguasa.

Penguasa melanjutkan, “Jika Engkau berbohong, maka hukumanmu adalah dijebloskan ke kandang tikus peliharaan putriku.”

Sesuatu yang sungguh aneh. Entah mengapa, seorang puteri penguasa, memelihara binatang pengerat sejenis tikus. Atau, ini mungkin hanya ujian saja.

Si Kelingking, yang bertubuh sangat kecil. Dan, ia disangsikan telah berhasil mengusir raksasa.

Ilustrasi jari kelingking. (credits: Lan Geek)

“Baiklah,” kata Kelingking, pelan dan pasti. “Tapi, jika aku berhasil, maka angkat aku sebagai panglima perang,” kata Kelingking.

Sang penguasa terkejut mendengar perkataan Kelingking yang terkesan terlalu berani, dan menantang. Tapi, ia menyetujuinya.

Hampir sepekan berlalu sejak pertemuan itu.

Lalu, berbekal kesaksian ayah dan ibunya, yang melihat jasad raksasa yang mati terjatuh di jurang, Kelingking pun menghadap sang penguasa. Karena ada saksi, maka penguasa pun percaya.

Dan sebagaimana janjinya, Kelingking pun diangkat sebagai panglima perang.

Berbulan-bulan setelah didapuk menjadi panglima perang, si Kelingking terpikat hatinya dengan puteri penguasa. Ia pun meminta kedua orang tuanya untuk menemui penguasa. Rupanya, Si Kelingking ingin meminang sang puteri penguasa.

Mendengar permintaan itu, penguasa terlihat marah, dan juga kecewa. Sebab, dalam hatinya berkata, “Manalah mungkin memperistirikan puteriku dengan Si Kelingking yang ukuran tubuhnya hanya sebesar jari kelingking. Tidaklah sebanding.”

Lamaran Si Kelingking ditolak.

“Pergi kau,” kata penguasa.

Tetapi, niat Si Kelingking telah bulat. Ia tidak kenal menyerah.

Ia pun kembali datang ke istana penguasa. Kali ini, berdua bersama ibunya saja menghadap penguasa.

Sang putri penguasa juga hadir dalam pertemuan lamaran itu. Sang puteri, yang telah timbul rasa iba di hatinya, lalu membujuk ayahnya untuk menerima lamaran Si Kelingking.

Melihat kesungguhan hati putrinya, hati penguasa pun luluh.

Pesta diadakan berhari-hari bermalam-malam. Sekitar sepekan, lamanya.

Dari kejauhan jika melihat ke pelaminan, hanya si putri penguasa saja yang tampak. Sementara, Si Kelingking, yang ukuran tubuhnya hanya sebesar jari kelingking, tentu saja tidak terlihat.

Setelah pesta usai, penguasa pun memberikan separuh wilayah dan kekuasaanya kepada si Kelingking. Ia meminta Si Kelingking untuk membangun sendiri pemerintahannya, berikut juga bangunan tempat tinggalnya.

Setelah seluruhnya selesai dibangun, Si Kelingking beserta istinya pun memimpin wilayah itu.

Namun, ada yang secara sembunyi-sembunyi dilakukan oleh Si Kelingking. Dan istrinya menjadi curiga.

“Mengapa suamiku selalu pergi diam-diam tanpa berkata apapun tujuannya kepadaku?” Tanya istrinya dalam hati.

Dan, setiap Kelingking pergi, selalu datang seorang pemuda, seukuran manusia normal, sambil menunggang kuda berwarna putih, bertamu ke kediaman mereka.

Si Pemuda, selalu saja bertanya kepada si istri, apakah Si Kelingking ada di rumah.

“Tidak. Suamiku sedang tidak ada di sini,” kata si istri.

Setelah menndengarkan jawaban itu, si pemuda pun pergi.

Hingga pada suatu malam, si istri yang penasaran pun mengikuti si Kelingking, yang pergi ke sebuah sungai. Dilihatnya si Kelingking sedang membuka bajunya dan menyembunyikannya di balik semak-semak.

Setelah itu, Keligking pun masuk ke dalam sungai sembari berdoa ke pada Sang Pencipta. Mungkin, ini sejenis ritual yang dilakukan Si Kelingking.

Kemudian, Si Kelingking menceburkan diri ke dalam sungai. Tapi, ketika keluar dari sungai, wujudnya bukanlah SI Kelingking. Melainkan berwujud seorang pemuda.

Jantung istrinya berdegup kencang. Pemuda itu adalah yang sering mendatangi kediaman mereka, setiap Si Kelingking pergi.

Lalu, si istri pun segera mengambil pakaian si Kelingking. Membawa pakainan itu ke kediaman mereka, dan membakarnya.

“Ternyata, istriku telah mengambil pakaianku,” kata Kelingking, tersenyum.

Kelingking pun pulang ke kediamannya. Melihat istrinya, ia terharu, bahwa istrinya telah lolos dari ujian kesetiaan.

Si istri pun demikian, telah berani berkorban. Telah menikahi seorang suami yang ukurannya hanya sekecil jari kelingking. Dan kenyataannya, wujud asli Si Kelingking adalah seorang pemuda, dengan ukuran manusia normal.

Keduanya pun saling berpelukan. Burung berkicau gembira. Angin semilir datang menyejukan hati masing-masing.

Pernikahan keduanya dikaruniai beberapa anak yang cantik dan tampan. Dan kehidupan mereka penuh dengan kebagiaan.

Happy, ever, after.*

* Diangkat dari cerita rakyat Jambi tentang “Si Kelingking”. Ditulis dan dinarasikan ulang oleh Amira.

avatar

Redaksi