Sumur Di Lembah Badar
Hak Asasi Manusia
March 31, 2025
Junus Nuh

Ilustrasi Perang Badar. (credits: The Life of the Prophet)
Ketika Muhammad melemparkan segenggam batu kerikil ke arah orang-orang Mekkah. Maka, seketika itu juga wajah pasukan Quraisy terlihat kebingungan.
MINGGU, 11 Maret 624 Masehi (15 Ramadan 2 Hijriah). Dua pasukan yang hendak berperang hanya berjarak sekitar satu hari perjalanan dari Badar. Badar, adalah nama lembah yang berada di di wilayah Hijaz, Arab Saudi bagian barat.
Muhammad Rasulullah dan Abu Bakar telah melakukan operasi pengintaian dan berhasil menemukan perkemahan kaum Quraisy. Quraisy, adalah kaum yang sebangsa dengan Nabi Muhammad.
Selanjutnya, Nabi Muhammad dan Abu Bakar Mereka bertemu dengan seorang Badui tua, dan berhasil mengetahui kekuatan pasti pasukan mereka dan lokasi mereka.
Pada malam harinya, Muhammad mengutus Ali, az-Zubair, dan Sa’d bin Abi Waqqas untuk mengintai orang-orang Mekkah, sebutan untuk suku Quraisy. Mereka pun menangkap dua orang pembawa air bagi orang-orang Mekkah di sumur-sumur di lembah Badar.
Dua orang pembawa air, untuk pasukan utama Quraisy.
Orang-Orang Mekkah sepertinya berperang tanpa persiapan matang. Atau, dapat dikatakan, atas dasar percaya diri yang tinggi, akan mendapatkan kemenangan mutlak.
Safi al-Rahman Mubarakfuri dalam bukunya “The Sealed Nectar: Biography of the Noble Prophet” menyatakan bahwa esok harinya, Nabiullah memerintahkan pasukan muslim untuk berbaris menuju Badar, dan berperang melawan pasukan orang-orang Mekkah.
Berdasarkan saran Al-Hubab ibn al-Mundhir, kaum Muslim menempati sumur yang paling dekat dengan pasukan Quraisy. Dan, selanjutnya, sumur-sumur lainnya diblokir dan dihancurkan. Rencana itu pun dilakukan pada tengah malam.
Muhammad, juga, memerintahkan kepada seluruh pasukan, agar tidak memulai serangan tanpa izinnya.
Malam itu, 16 Ramadan, Nabi menghabiskan sepanjang malamnya dengan berdoa.
Dikarenakan seluruh sumur telah dihancurkan oleh pasukan muslim, maka orang-orang Mekkah banyak yang mulai mendekati sumur yang dikuasai oleh umat Islam untuk mengambil air.
Siapapun yang mendekat, mengalami luka-luka. Satu yang tidak, adalah, Hakim bin Hizam. Ia selanjutnya memeluk Islam.

Monumen 14 martir Perang Badar. (credits: Islamic Landmarks)
Tepat tengah malam tanggal 13 Maret 624 Masehi (17 Ramadan 2 Hijriah), kaum Quraisy membongkar kemah dan berbaris menuju ke lembah Badar.
Umayr bin Wahb al-Jumahi dari suku Quraisy mengintai posisi kaum Muslim. Ia melaporkan bahwa pasukan muslim berjumlah 300 orang.
Kaum Quraisy tidak siap menerima kekalahan. Berdasarkan pemahaman tradisional mereka, pertempuran umumnya, “hanya” merenggut sedikit korban jiwa. Tetapi, pertempuran kali ini, berbeda.
Menurut tradisi Arab, Amr bin Hisham (Abu Jahal) telah meredam perbedaan pendapat antar tetua suku Quraisy. Dengan menggugah rasa hormat dan simpatik bagi kaum Quraisy, dengan meminta mereka untuk menuntut balas.
Tanggal 13 Maret 624 Masehi (17 Ramadan 2 Hijriah) juga dikenal dengan Perang Badar (Ghazwahu Badar). Perang ini, dalam Al-Qur’an, juga disebut sebagai “Hari Pembalasan” (Yawm al-Furqan).
Nabi Muhammad memimpin pasukan kaum muslim. Pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Amr bin Hisham (Abu Jahal).
Perang Badar, menandai dimulainya perang enam tahun antara Nabi Muhammad dengan sukunya sendiri, Quraisy.
Sebelum terjadinya Perang Badar, umat Islam dan orang-orang Mekkah telah berperang dalam beberapa pertempuran kecil, yakni pada akhir tahun 623 Masehi hingga awal tahun 624 Masehi.
Pada hari itu, sebagai manusia biasa, terdapat ketakutan dalam hati Nabiullah. Ia sangat takut, terutama ketika pasukan muslim mulia tersudut dan terlihat akan kalah.

Ilustrasi seorang perempuan muslim pada saat perayaan Eid Al-Fitr. (credits: Wiki Commons)
Sebab, kekalahan akan berdampak buruk bagi mereka yang baru saja mengucapkan dua kalimat syahadat itu.
Namun, Abu Bakar mengingatkan, bahwa Allah akan menepati janjinya.
Setelah perigatan Abu Bakar itu, dan Nabiullah meleparkan segenggam batu kerikil. Pasukan muslim menjadi berlipat ganda keberaniannya. Dan, pasukan muslim menang.
Pasukan muslim menawan sekitar 70 orang tawanan perang. Beberapa diantarnaya adalah tetua-tetua kaum Quraisy.
Sebagian besar tawanan dibebaskan setelah membayar uang tebusan. Sedangkan tawan lainnya, yakni tawanan yang dapat membaca dan menulis, dibebaskan dengan syarat. Yakni, mereka harus mengajari sepuluh orang membaca dan menulis, dan pengajaran ini dihitung sebagai uang tebusan.
Tiga hari setelah pertempuran, Nabi Muhammad meninggalkan Badar menuju Madinah.
Dalam sejarah, kata “Badr” kerap digunakan di kalangan tentara Muslim dan organisasi para militer. “Operation Badr”, misalnya, adalah operasi militer bangsa Mesir dalam Perang Yom Kippur tahun 1973. Juga, operasi militer Pakistan dalam Perang Kargil tahun 1999.
Operasi ofensif Iran terhadap Irak pada akhir 1980-an juga dinamai dengan “Badr”. Pun, selama perang saudara di Libya pada tahun 2011, pimpinan pemberontak menyatakan bahwa mereka memilih tanggal serangan di Tripoli menjadi tanggal 20 Ramadan, menandai peringatan tahun Perang Badr.
Setelah bermigrasi ke Madinah, Nabi Muhammad mencetuskan perayaan Idul Fitri (Eid Al-Fitr).
Perayaan Idul Fitri pertama kali, dilakukan setelah kemenangan umat muslim pada Perang Badar, yakni pada tahun 2 Hijriah (624 Masehi), tepatnya pada tanggal 1 Syawal.*

