“Wanita Simpanan” Di Persimpangan

Lifestyle

April 7, 2025

Astro Dirjo

Siluet seorang wanita. (credits: pexels)

“Namanya Roebiam. Diperkirakan lahir pada tahun 1898. Ia berasal dari desa kecil di Jawa dan ayahnya seorang petani sederhana dan miskin. Terdorong oleh kemiskinannya, pada tahun 1915 ia mendaftarkan diri sebagai buruh kontrak untuk bekerja di perkebunan yang waktu itu bernama Plantersparadijs Sumatra, sebuah perkebunan tembakau di sekitar Medan. Pada waktu itu Roebiam berumur kira-kira 17 tahun. Di sana ada seorang baren, pemuda dari Haarlem yang bekerja sebagai asisten. Ia mencari teman hidup dan mengambil Roebiam, seorang buruh di perkebunannya, sebagai nyainya.” Reggie Baay – “Nyai dan Pergundikan di Hindia”

JEANNE Antoinette Poisson, juga disebut sebagai Madame de Pompadour (29 Desember 1721 – 15 April 1764) adalah wanita simpanan Raja Louis XV dari tahun 1745 hingga 1751. Ia, memiliki pengaruh, dan menjadi idola Istana Versailles hingga akhir hayatnya.

Ia berperan sebagai penasehat raja Perancis. Dengan membangun jaringan relasi dan pendukung, ia pun mengamankan gelar kebangsawan untuk dirinya dan keluarganya. Ia bersahabat dengan banyak elit politik kala itu. Seperti; Montesquieu dan Voltaire.

Di tangan Madame de Pompadour, karya seni dekorasi tinggi seperti lukisan, porselen, dan arsitektur bangunan berkembang. Juga para filsuf gerakan Age of Enlightenment (Zaman Pencerahan), seperti; Voltaire.

Sejarawan seni Melissa Hyde menyatakan bahwa Pompadour telah berhasil menjungkir-balikan hierarki sosial dan gender. Sehingga kekuatan dan pengaruh Pompadour, sebagai seorang wanita yang tidak dilahirkan ke dalam aristokrasi kebangsawanan istana, pun terwakili.

Wanita simpanan adalah defenisi untuk pasangan wanita jangka panjang dari seorang lelaki yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan. Hubungan biasanya stabil dan sekurang-kurangnya semi-permanen. Tetapi pasangan ini tidak hidup bersama secara terang-terangan. Hubungan ini juga biasanya tidak senantiasa rahasia.

Terdapat banyak lelaki pada masa lalu yang memiliki wanita simpanan. Persamaan istilah wanita simpanan adalah; perempuan simpanan, perempuan piaraan, istri gelap, bini gelap, atau gundik.

Mungkin saja, penggunaan bahasa, definisi dan istilah adalah bias. Tapi, begitulah sejarah, seutuhnya.

Elizabeth Abbott dalam bukunya “Mistresses, A History of The Other Women” telah menelusuri berbagai motif dan moralitas wanita simpanan dan juga peran mereka yang kompleks, di dalam sejarah.

Dalam narasi sejarah, istilah wanita simpanan digunakan bagi wanita yang disimpan dengan gaya hidup mewah oleh lelaki kaya agar wanita ini senantiasa bersedia melayani kebutuhan seksualnya.

“Madame de Pompadour” karya Francois Boucher. (credits: Wiki Commons)

Meskipun, perempuan simpanan tidak dianggap pelacur. Sebab, pelacur mendapatkan uang dengan layanan seks. Tetapi, perbedaan mendasarnya, adalah, perempuan simpanan menyimpan dirinya khusus bagi satu lelaki, sama seperti seorang isteri.

Terdapat juga kemungkinan adanya hubungan sosial dan emosi antara lelaki dan perempuan, sementara pelacur hanyalah khusus hubungan secara seksual.

Namun, pada masa sekarang ini, istilah “perempuan simpanan” biasanya digunakan untuk merujuk pada pasangan wanita dari seorang lelaki yang menikah dengan wanita lain. Dalam kasus lelaki tidak menikah, “perempuan simpanan” biasanya dirujuk sebagai “pacar” atau “pasangan rumah tangga”.

Dewi Kartika Sari dalam penelitian berjudul “Dependensi Wanita Simpanan Terhadap Pasangannya” menyebutkan, terdapat dua faktor yang menyebabkan seorang perempuan menjadi wanita simpanan.

Pertama, adalah faktor ekternal. Yakni faktor-faktor yang berada diluar diri wanita yang membuat dirinya tertarik dan mau menjadi wanita simpanan. Seperti faktor fisik, psikologis, kedudukan atau jabatan, dan kekayaan.

Kedua, adalah faktor internal. Yakni faktor yang berada di dalam diri wanita simpanan yang mendorong wanita untuk mau menjadi simpanan bagi pria yang sudah beristri.

Intensitas pertemuan dan interaksi diantara keduanya membuat kebersamaan keduanya menjadi sebuah kebutuhan. Terpenuhinya kebutuhan psikologis untuk kedua pihak membuat kebutuhan untuk memiliki (need of belonging) menjadi menguat dan melanggengkan hubungan persimpanan itu.

Di Indonesia sendiri, “wanita simpanan” dapat disusur pada sejarah selir para raja. Seperti yang tertera di tulisan Peter Carey dalam bukunya “Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII – XIX”.

Bagaimanpun, dalam tradisi Jawa, selir (Garwa Ampeyan) memiliki kedudukan yang lebih rendah dari permaisuri (Garwa Padmi). Begitu juga dengan keturunannya.

Potret “Nyai” (Huishoudster) di Pulau Jawa, sekitar tahun 1910. (credits: KITLV)

Forbidden City yang dibangun tahun 1406 hingga 1420 Masehi di era Dinasti Ming di China adalah bukti dari perseliran dalam sejarah. Pun demikian dengan Harem di Persia. Meskipun, terkadang narasi untuk kedua, terlalu dilebih-lebihkan.

Di era kolonial Belanda, kata “Nyai” adalah istilah lain untuk pergundikan. Atau, kerap disamarkan dengan istilah “Dutch Wives”.

Ketika serdadu Belanda datang ke Nusantara tanpa isteri. Dan ketika guling bukanlah “teman setia” lagi.

Dutch Wives, adalah, umumnya, seorang perempuan pembantu rumah tangga (Huishoudster) yang bekerja pada seorang meener Belanda. Lalu, mereka “dikawini” oleh meener itu.

Meskipun, secara status, mereka bukanlah termasuk “Bangsa Belanda”.

Koran Sin Poo edisi November 1928 memuat kisah tentang Nyai. Mungkin saja ini adalah kisah nyata, dengan nama yang disamarkan.

Diketahui, seorang Nyai yang sudah tidak lagi bersama dengan meeener Belanda akan menikah dengan sesama kaoem priboemi. Namun, pada saat hari H pernikahan, sang meener Belanda datang, dan ingin “mengambil balik” nyai-nya.

Sehingga, dapat diketahui, dari kisah ini, bahwa nyai tidak memiliki kekuatan apapun. Ia akan tunduk dengan “suami Belanda”nya. Ia diperolehkan pergi kapan saja, dan, dapat diminta datang kembali sesuai keinginan meener Belanda.

Jika, hubungan cinta antar manusia, tidak dilandasi atas aturan dan hukum yang mengikat terkait hak dan kewajiban, maka, pada kasus ini, perempuan adalah kubu yang kalah.

Meskipun, pada abad ke-19 hingga abad ke-20, anak keturunan mereka akan berstaus “Indo”. Beberapa kasus menyatakan mereka dapat menjadi warga negara Belanda, mengikuti status papie-nya.

Tapi, di masa kini, ketika yang terang adalah gelap, dan yang gelap adalah terang, maka tes DNA adalah persoalan tersendiri dalam per-nyai-an modern.

Dan penuh dengan perdebatan-perdebatan, yang melelahkan. Tentang; moralitas, agama, etika sosial, rasa cinta, gangguan, dan seterusnya.*

avatar

Redaksi