Komunal Suku Kubu Di Sumatra (1)
Hak Asasi Manusia
December 9, 2024
Jon Afrizal

Perkampungan Suku Kubu. (credits: Bernhard Hagen “Die Orang Kubu auf Sumatra”)
Edwin Meyer Loeb (1894 – 1966) adalah antropolog yang tergabung dalam American Anthropology Association (AAA). Dan juga seorang profesor dari departemen geografi di University of California Berkeley. Selama bertahun-tahun, ia telah mengumpulkan informasi langsung tentang adat istiadat penduduk asli di hutan-hutan Afrika dan pulau-pulau terpencil di Pasifik. Dan, juga penduduk asli Pulau Sumatra.
Berikut adalah nukilan dari buku Edwin Meyer Loeb “Sumatra, Its History And People”. Buku ini diterbitkan tahun 1935 oleh Institut Etologi Universtas Wina, Austria. Nukilan ini, dibagi menjadi dua bagian, untuk pembaca Amira.
SUKU Kubu tinggal di daerah yang sebagian berawa; antara Sungai Musi, Rawas, Tembesi, dan Batang Hari. Pada saat itu, hampir semua suku Kubu, baik sukarela maupun tidak, bersatu dan terdaftar di desa-desa (dusun).
Pada tahun 1907, terdapat 7.590 anggota suku Kubu yang tersebar di lima marga. Mereka memiliki kondisi fisik yang buruk, terutama para wanita.
Meskipun sebagian besar dari mereka telah masuk Islam, perubahan ini hanya sebatas nama.
Mereka tidak mau meninggalkan kebiasaan makan mereka sebelumnya, dan tetap menjadi omnivora, memakan semua jenis daging. Selain itu, kaum laki-laki tidak disunat dengan cara Islam, tetapi disunat sesuai adat setempat. Anak perempuan tidak disunat sama sekali.
Sejarah
Suku Kubu membagi sejarah mereka menjadi tiga bagian. Pertama, sejarah kuno, yakni dari masa Orang Bari hingga kedatangan Ratu Senuhun.
Kedua, sejarah modern, yakni sejak kedatangan Ratu Senuhun hingga suku Kubu berhubungan dengan pemerintah Belanda. Dan ketiga, sejarah terkini, yakni sejak pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan hingga eksploitasi tanah untuk minyak saat ini.
Suku Kubu mengatakan bahwa pada jaman dulu kala pantai Sumatera sering dikunjungi oleh bajak laut, yang membawa serta keluarga mereka.
Pernah terjadi bahwa seorang kakak beradik bajak laut melakukan inses, dan akibatnya sang kakak hamil. Nama pasangan ini tidak diketahui, karena suku Kubu tabu untuk menyebut nama leluhur.
Pasangan ini dikutuk oleh bajak laut, ditelantarkan di semak-semak, dan mendirikan pemukiman Kubu pertama di Sungai Lalan. Orang-orang yang merupakan keturunan pasangan ini disebut Orang Bari, yang dapat diartikan sebagai “orang-orang dari masa lampau yang indah”.

Sekelompok Suku Kubu. (credits: Bernhard Hagen “Die Orang Kubu auf Sumatra”)
Sejarah suku Kubu modern mulai menjadi otentik, dan terjadi pada paruh pertama abad ke-17 Masehi. Yakni ketika Ratu Senuhun dari Palembang datang kepada mereka. Pangeran ini menjadikan orang-orang liar sebagai rakyatnya.
“Piagam” tembaga yang diberikannya kepada mereka kala itu, masih diwariskan kepada keturunannya.
Suku Kubu meninggalkan hasil panen mereka begitu saja di tanah. Setelah beberapa waktu, mereka kembali untuk mengambil hasil panennya, yang dijual kepada orang Melayu.
Tentu saja perdagangan tidak pernah sepenuhnya adil bagi penduduk yang lebih primitif. Barter diam-diam semacam ini berlangsung di wilayah tersebut hingga puluhan tahun dari masa ini.
Orang Melayu boleh terlihat, tetapi orang Kubu tidak boleh terlihat oleh siapapun.
Suku Kubu diperintah oleh kepala suku asli mereka, yakni dipati. Mereka adalah para tetua adat yang bertugas memimpin pencarian hasil panen.
Meskipun tidak memiliki kontak langsung dengan ras yang lebih beradab, suku Kubu mengadopsi bahasa, organisasi sosial, dan agama orang Melayu Palembang. Namun, mereka menunda perubahan cara hidup mereka dan terus mengembara di semak dan belantara. Hingga, pada suatu masa dipaksa untuk menetap dan bertani oleh Belanda.
Bahkan, suku Kubu telah mulai suka bekerja dan mandi. Perubahan terakhir dalam kehidupan suku Kubu ini dimulai ketika pemerintah Belanda di Palembang menangani masalah ini, dan mengangkat pemungut pajak Melayu yang bertindak di bawah pengawasan pemerintah.
Hasil panen dikumpulkan sebagai pajak. Pada tahun 1898 minyak bumi ditemukan di Palembang. Dan sejak saat itu suku Kubu telah belajar menggunakan uang.
Asal usul kata Kubu, Lubu, dan Ulu tidak diketahui. Di antara penduduk desa, Kubu berarti orang yang memakan segala sesuatu, termasuk makanan yang haram, dan yang tidak tinggal di rumah.
Karena stigma yang melekat pada nama mereka, orang Kubu yang beradab tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Tetapi lebih suka disebut Orang Darat (penghuni daratan) atau Orang Laut (penghuni sungai).
Pada tahun 1906, Van Dongen bertemu dengan orang Kubu yang tinggal terpencil di rawa-rawa Sungai Ridan yang sepenuhnya sesuai dengan sebutan “Kubu”, yakni panggilan seperti yang digunakan oleh saudara-saudara mereka yang lebih beradab.
Perekonomian
Suku Kubu primitif membangun rumah tiang pancang, pondok, yang terdiri dari panggung kecil yang rendah, tanpa dinding, dan beratap daun.
Empat tiang pertama ditancapkan ke tanah untuk bertindak sebagai tiang sudut. Lalu, empat balok silang kemudian dipasang pada balok-balok tersebut, dan sepuluh hingga dua puluh balok diletakkan melintang sebagai lantai.
Atap daun longgar ditempatkan sebagai tempat berteduh sekitar tiga kaki di atas lantai. Rotan atau liane digunakan sebagai pengikat.
Tidak ada perabotan, hiasan, atau jimat yang digunakan di dalam rumah.
Pria, wanita, anak-anak, dan anjing yang selalu ada, berda di dalam rumah yang minim ini pada malam hari. Biasanya, tiga hingga lima rumah seperti itu ditempatkan bersama-sama di semak-semak di suatu tempat yang tinggi dan kering. Rumah-rumah yang tersebar ini melengkapi desa Kubu, dan disebut sirup.
Satu-satunya perkakas yang disimpan oleh suku Kubu di rumahnya adalah penanak bambu, terkadang diisi dengan air. Saat berada di luar rumah, saat bekerja di hutan, suku Kubu membawa keranjang di punggungnya.
Pria dan wanita mengenakan kain tapa yang digulung di pinggang mereka. Mereka tidak menghiasi pakaian maupun diri mereka dengan cara apa pun. Anak-anak bertelanjang tanpa pakaian.
Suku Kubu menggunakan tombak lempar kayu panjang sebagai senjata. Dengan ini, mereka dapat membunuh semua binatang dan menangkap makanan kesukaannya, yakni labi (kura-kura). Untuk menangkap kura-kura, mereka menggunakan ujung tombak yang tumpul, yang ditancapkan paku besi panjang.
Alat musik dari segala jenis, serta seni tari, tidak dikenal oleh suku ini.
Suku Kubu liar tidak memiliki beras, dan tidak mau memakannya. Mereka tidak akan memakan daging kucing, harimau, atau gajah. Mereka memakan babi hutan, segala jenis kera, dan kura-kura yang tidak dapat dimakan oleh orang Melayu.
Mereka sangat menyukai pisang, jika mereka bisa mendapatkannya. Mereka juga memakan buah-buahan, akar tanah, dan cacing, kadal, dan ular.
Suku Kubu menggali cacing dan tanaman berbentuk tabung dengan sebilah bambu runcing, atau parang yang diimpor dari Melayu. Semua makanan diletakkan di atas api, dipanggang sebentar, lalu dimakan.
Orang-orang tidak menggunakan garam, tetapi para lelaki, pada saat itu, telah belajar menghisap tembakau.
Suku Kubu tidak pernah bersentuhan dengan air sepanjang hidupnya, kecuali beberapa tetes air hujan yang tidak dapat dihindarinya. Air dingin dan membuatnya sakit.
Ketika ia kotor atau berlumuran lumpur, ia menyeka lumpur itu dengan parang atau tongkat bambu.
Suku Kubu dikatakan menunjukkan bakat luar biasa dalam menghindari semua tempat basah ketika melewati semak-semak. Karena terbiasa hidup di semak-semak yang gelap, ia juga tidak menyukai sinar matahari.
Para wanita tidak pernah memotong rambut mereka, tetapi para lelaki memotong rambut mereka dengan parang. Tidak ada satu pun jenis kelamin yang menyisir rambut mereka atau merapikannya.
Suku Ridan Kubu tinggal paling lama sebulan di satu tempat, kadang-kadang hanya seminggu. Kemudian karena hutan di sekitar tempat tinggalnya tidak menyediakan cukup makanan, atau tidak ada cukup ikan di sungai atau rawa, dan ia tidak dapat memperoleh kura-kura, maka, mereka pun pindah.
Seiring dengan kemonotonan dan kesederhanaan budaya material mereka, suku Kubu juga kurang memiliki perkembangan sosial dan keagamaan. Apa yang mereka miliki adalah hasil dari asal-usul Malayu akhir-akhir ini.
Kemasyarakatan
Suku Kubu yang menetap kini terbagi menjadi saudara kandung, meniru tetangga mereka, suku Kubu liar hanya memiliki organisasi keluarga. Tidak ada yang diketahui tentang hukum asli mereka tentang inses atau sistem hubungan.
Schebesta menulis bahwa saat ini semua orang kecuali kerabat terdekat dapat menikah, dan tidak ada adat istiadat yang melarang. Pria dan wanita muda menjalin hubungan yang mengarah ke pernikahan. Gadis-gadis menikah segera setelah pubertas.
Tidak ada upacara tentang pernikahan. Tetapi pasangan itu hanya pergi ke tetua mereka dan mengumumkan niat mereka.
Pria tertua dari kedua keluarga melakukan ritual pernikahan. Pasangan pengantin duduk bersebelahan di tanah, pengantin wanita di sebelah kiri pengantin pria. Pria tua itu bertanya kepada pengantin wanita apakah dia akan mendapatkan pengantin pria, dan dia menjawab bahwa dia akan mendapatkannya.
Kemudian tetua membuat pengumuman bahwa jika ada yang bertemu dengan pasangan itu bersama-sama, dia tidak boleh mengganggu mereka, karena mereka sudah menikah. Setelah ini, pertemuan itu bubar dan setiap orang pergi.
Tidak ada aklamasi atau pesta, dan tidak ada yang seperti emas kawin.
Suku Kubu mengatakan bahwa dulunya pasangan yang sudah menikah saling berpegangan pada jari kelingking tangan kanan sebagai tanda bahwa mereka telah bersatu.
Di antara suku Kubu yang lebih beradab, yaitu suku Kubu Klumpang, pernikahan juga disaksikan oleh anggota keluarga yang lebih tua, dan para tetua harus terlebih dahulu memberikan persetujuan, tetapi tidak pernah ikut campur ketika kawin lari telah terjadi.
Sebagai tanda pernikahan, pasangan tersebut makan nasi dari piring daun pisang yang sama. Mungkin meniru orang Melayu, seorang Kubu diperbolehkan memiliki istri sebanyak yang ia suka.
Dulu ada yang memiliki tiga istri, tetapi sekarang tidak ada yang memiliki lebih dari dua. Jika seorang Kubu memiliki dua istri, ia membuat tempat tinggalnya agak lebih besar untuk bersama kedua isterinya.
Perceraian sama sekali tidak memerlukan upacara, dan baik laki-laki dapat meninggalkan perempuan atau perempuan meninggalkan laki-laki. Seorang Kubu muda yang liar yang ditemui Van Dongen ditelantarkan dua kali oleh perempuan yang sama.
Namun, keduanya tidak dapat menemukan pasangan lain, karena tidak ada lagi Kubu muda yang tersisa di wilayah tersebut. Jika terjadi perceraian, anak-anak akan pergi dengan orang tua yang mereka pilih, tetapi anak-anak kecil tentu saja akan tetap bersama ibu mereka.
Ketika seorang wanita hamil, ia dilarang melihat mayat, gajah, atau kerbau. Kelahiran harus dilakukan di semak-semak. Wanita itudibantu oleh wanita lain atau suaminya.
Anak yang baru lahir tidak dimandikan, tetapi dibersihkan dengan daun dan kain tapa. Begitu sang ibu bisa berjalan, yang terkadang sekaligus, dan terkadang pada hari berikutnya setelah melahirkan, ia akan mencari makan di semak-semak, baik sendirian atau ditemani suaminya.
Seorang Kubu tidak suka jika istrinya melahirkan anak kembar atau kembar tiga. Sebab, ia harus bekerja lebih keras untuk menghidupi mereka. Dan, kemungkinan besar, ia akan meninggalkannya saat itu juga.
Anak-anak tetap bersama orang tua mereka, tinggal dan menggali akar bersama mereka, sampai mereka berusia sepuluh hingga dua belas tahun. Kemudian mereka dianggap mampu mengurus diri sendiri, mengenakan kain penutup pinggang pertama mereka, dan membangun tempat berlindung khusus di samping tempat berlindung orang tua mereka.
Sejak saat itu, mereka mencari makanan dan tidak lagi makan bersama orang tua mereka. Ikatan antara orang tua dan anak-anak kini terputus, dan seorang anak dapat pergi sendiri ke semak-semak atau tinggal bersama keluarganya sampai ia menikah. Suku Kubu tidak memiliki sayatan atau sunat.
Dalam hal ini mereka seperti kebanyakan suku Veddoid lainnya, kecuali suku Australia. Setiap suku Kubu memiliki nama, tetapi nama tersebut hanya diketahui oleh orang-orang dari “sirup” yang sama. Orang-orang dari keluarga lain tidak dikenal namanya, dan disebut sebagai “orang-orang dari sungai kecil ini atau itu”.
Penduduk asli dari satu pemukiman jarang berhubungan dengan penduduk asli dari pemukiman lain, karena tidak ada pesta, upacara pubertas, atau pertemuan komunal lainnya.*

