RUU Masyarakat Adat, Apa Kabar?
Hak Asasi Manusia
October 25, 2024
Jon Afrizal
Desakan untuk mengesahkan RUU MHA. (credits: AMAN)
RANCANGAN Undang-Undang masyarakat hukum adat (RUU MHA) telah berusia 14 tahun, jika dihitung sejak diusung tahun 2003 lalu, dan telah dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Tetapi, hingga hari ini belum juga disahkan.
Sejauh ini, tampaknya, masih akan diperlukan penelitian, dan juga penelitian-penelitian lanjutan terkait masyarakat adat di Nusantara. Sebab, meskipun, masyarakat adat telah ada sejak lama, tetapi hukum dan aturan dalam masyarakat adat adalah berbentuk lisan.
Mengutip Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), jumlah ragam masyarakat adat di Indonesia mencapai 2.449 komunitas masyarakat adat dengan perkiraan jumlah populasi sebanyak 40 hingga 70 juta jiwa.
Kepala Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emilia Yustiningrum mengatakan, pada beberapa Kongres Masyarakat Adat terungkap keresahan sosial dan ekonomi di kalangan masyarakat adat. Seperti pengambilalihan tanah dan hutan yang dianggap milik mereka, oleh pemerintah dan pihak pemodal.
“Masyarakat adat juga sulit mendapatkan pengakuan walaupun telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan agar hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan juga dapat dilindungi dan terpenuhi,” katanya, mengutip brin.
Masyarakat adat, menurutnya, adalah kelompok rentan karena cara hidupnya yang berbeda dengan kelaziman modern. Sementara, hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis.
“Hukum adat masih berupa norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat, peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi,” katanya.
Hukum adat sebagai bagian dari hukum positif tidak dianggap sebagai sumber hukum perundang-undangan secara formal. Eksistensi hukum adat dalam pengaturan perundang-undangan hanya merupakan pengakuan formal.
Hukum adat, katanya, sebagai realitas hukum serta sebagai bahan hukum asli Indonesia seharusnya menjadi material bagi terbentuknya hukum nasional Indonesia.
“Sehingga perlu untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang masyarakat adat, dan untuk mengkaji struktur, sistem adat, dan sumber dayanya,” katanya.
AMAN Flores Bagian Barat bersama menggelar aksi damai di kantor Bupati dan DPRD Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur pada Kamis, 17 Oktober 2024. Mereka memina Pemkab Manggarai Timur segera mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) nomor 01 tahun 2018 tentang “Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kabupaten Manggarai Timur”. (credits: AMAN)
Sementara itu, pakar Antropologi Hukum Universitas Airlangga, Sri Endah Kinasih, mengatakan hal itu menjadi akibat dari tidak dianggap pentingnya isu masyarakat adat.
“Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-nilai religio magis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah,” katanya mengutip unair.
Menurutnya, sengketa-sengketa yang terjadi, yang dihadapi oleh masyarakat adat selama ini adalah akibat dari tidak disahkannya RUU itu.
Negara, katanya, belum memahami konsep-konsep yang berlaku di masyarakat adat. Sehingga perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh adat dan agama dalam pelegalan RUU, melalui dialog.
“RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat,” katanya.
RUU MHA telah diusulkan kepada DPR sejak tahun 2010 lalu. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2014 lalu dan telah masuk ke dalam Prolegnas sebanyak tiga kali. Namun, hingga saat ini, RUU MHA belum juga disahkan oleh pemerintah.
PBB telah mendeklarasikan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Deklarasi tersebut menjadi titik balik pengakuan hak yang dimiliki oleh MHA yang paling lengkap, komprehensif, dan dapat memberikan jaminan hukum kepada MHA.
Pada Konvensi ILO nomor 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Populations Convention yang merupakan perjanjian internasional pertama yang membahas persoalan-persoalan yang dialami oleh MHA. Seperti hak atas tanah, pendidikan, dan pekerjaan.
Konvensi ini bertujuan memberikan perlindungan kepada MHA agar mereka dapat menentukan cara dalam perkembangan mereka.
Namun, mengutip lk2fhui, Indonesia belum meratifikasi undang-undang yang secara spesifik mengatur terkait MHA.
Eksistensi dari masyarakat adat diakui melalui pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945, Indonesia mengakui dan menghormati eksistensi identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selama mereka hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Indonesia yang sesuai peraturan perundang-undangan.
Konstitusi memberikan amanat agar undang-undang yang berlaku mengakui dan menghormati MHA dengan tujuan melanjutkan eksistensi masyarakat adat serta budayanya.
Terdapat undang-undang lainnya yang mengakui keberadaan MHA, seperti Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang “Sumber Daya Air”, Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang “Peraturan Daerah”, Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dan undang-undang lainnya.
Namun, perundang-undangan yang telah ada itu, terkesan tumpang tindih, tidak sinkron, pasal karet, serta overlapping atau bertabrakan karena ego sektoral dari lembaga-lembaga terkait.
Seperti, Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang “Perkebunan” yang mengatakan bahwa ulayat yang dimiliki oleh MHA jika akan digunakan oleh pelaku usaha perkebunan harus dengan musyawarah.
Namun, secara faktual, MHA yang tidak memiliki bukti tertulis bahwa tanah tersebut merupakan miliknya kesulitan untuk mengklaim tanahnya akibat izin yang sudah dikantongi oleh perusahaan perkebunan. Undang-undang yang bila dicermati kembali akhirnya membuat MHA tidak mendapatkan jaminan haknya secara hukum.
Dan, masih banyak lagi.
Rilis AMAN tertanggal 20 Oktober 2024, mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahan. Sebab undang-undang ini akan adalah amanat konstitusi dan akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
Juga mempercepat pengakuan hak masyarakat atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
Serta, mencabut undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi masyarakat adat.*