Ribut-Ribut Soal Nominator Korupsi

Daulat

January 8, 2025

Farokh Idris

Ilustrasi seseorang sedang membaca berita di surat kabar. (credits: Pexels)

“OCCRP tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan, karena saran datang dari orang-orang di seluruh dunia. Ini termasuk pencalonan mantan presiden Indonesia Joko Widodo, yang dikenal sebagai Jokowi. Dalam menentukan nominasi finalis, OCCRP mengumpulkan dukungan online paling banyak dan memiliki beberapa dasar untuk dimasukkan.”

ORGANIZED Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukan Presiden Indonesia ke-7 dalamnominasi “Person of the Year 2024”. Meskipun, pada akhirnya, award diberikan kepada Bashar al-Assad, yang bukan lah seseorang yang paling banyak dinominasikan.

Peran Assad dalam mendestabilisasi Suriah dan wilayah itu melalui jaringan kriminal yang terbuka, pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan termasuk pembunuhan massal, dan korupsi membuatnya menjadi pilihan utama.

Tetapi, nominasi terhadap Jokowi, sudah kadung meriuh di Indonesia. Dan, entah bagaimana, situs resmi OCCRP malah menyatakan bahwa OCCRP tidak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa kepresidenannya.

Pernyataan yang bias, terlebih jika menalarkan bahwa OCCRP memiliki beberapa dasar untuk memasukan Jokowi dalalm nominasi.

Namun, menurut OCCRP, kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan bahwa pemerintah Jokowi secara signifikan melemahkan komisi anti-korupsi Indonesia.

Jokowi, menurut OCCRP, juga banyak dikritik karena merusak lembaga pemilihan dan peradilan Indonesia untuk menguntungkan ambisi politik putranya, yang sekarang menjadi wakil presiden di bawah presiden baru Prabowo Subianto.

“Para hakim menghargai nominasi warga negara, tetapi dalam beberapa kasus, tidak ada cukup bukti langsung tentang korupsi yang signifikan atau pola pelanggaran yang sudah berlangsung lama,” kata pendiri OCCRP, Drew Sullivan.

Namun, lanjutnya, jelas ada persepsi yang kuat di antara warga negara tentang korupsi dan ini harus berfungsi sebagai peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa orang-orang melihat, dan mereka peduli.

Adapun tujuan dari penghargaan ini adalah tunggal; yakni, untuk membawa pengakuan untuk kejahatan dan korupsi-sepenuhnya berhenti.

“Terkorup? Terkorup apa? Yang dikorupsi apa?” kata Jokowi, menanggapi nominasi OCCRP, mengutip Antara.

Ia meminta pihak yang menyebutnya sebagai pemimpin terkorup untuk membuktikan.

“Sekarang kan banyak sekali fitnah, banyak sekali framing jahat, banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti. Itu yang terjadi sekarang, kan?” katanya.

Screenshot pencarian “Indonesia” di website OCCRP.

Berdasarkan pencarian di website OCCPR, nama Indonesia terakhir kali muncul pda tanggal 1Maret 2018. Sewaktu itu, DPR merevisi Undang-Undang MD3 yang memungkinkan anggota untuk mengajukan tuntutan terhadap orang-orang yang “merusak kehormatannya atau anggotanya”. Dan juga, memungkinkan pihak kepolisian untuk membawa seseorang ke DPR untuk ditanyai oleh politisi.

Undang-undang ini juga memberi Dewan Etika DPR suara untuk memutuskan apakah penyelidikan terhadap politisi akan berlangsung.

Selama berbulan-bulan, anggota Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Presiden Indonesia Joko Widodo telah menyerukan agar MD3 disahkan. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrat Nasional memilih menentang undang-undang itu, tetapi tidak berhasil.

Undang-undang ini adalah satu dari serangkaian kebijakan garis keras yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Masuknya nama Joko Widodo dalam nominasi “Person of the Year” oleh OCCRP berbuntut adanya doxing (serangan digital) terhadap seorang peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) oleh akun Instagram @volt_anonym.

Mengutip rilis ICW, doxing ini berupa pengungkapan sejumlah data pribadi mulai dari nomor telepon, nomor Kartu Tanda Kependudukan (KTP), alamat tinggal, spesifikasi device telepon yang digunakan, hingga titik koordinat lokasi terakhir peneliti dalam bentuk tautan google maps.

Dalam unggahannya di Instagram, @volt_anonym menuliskan caption bernada ancaman dengan insinuasi kuat yang membahayakan keamanan diri para peneliti. Doxing ini disebar pada tanggal 3 Januari 2025 pasca peneliti ICW menyampaikan pandangannya terkait penominasian Joko Widodo oleh OCCRP di sejumlah media massa sejak 1 Januari 2025. 

Screenshot Laporan OCCRP tentang Indonesia.

Doxing melanggar ketentuan perlindungan data pribadi yang diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 dan Pasal 67 ayat 1 dan 2 Undang-Undang nomor 27 tahun 2022 dan membahayakan keselamatan korban doxing. Menuurt ICW, doxing adalah sebagai bagian dari upaya pembungkaman dan pembatasan suara kritis publik.

Terlebih, kejadian ini juga bukan kali pertama dialami oleh pihak yang menyampaikan kritik kepada negara.

Kasus serupa juga pernah dialami sejumlah wartawan, aktivis, dan warga yang bersuara kritis. Bahkan, lanjut ICW, doxing dengan pola ini patut dicurigai melibatkan pihak yang memiliki akses atau bertanggung jawab untuk melindungi data pribadi warga.

Masih mengutip rilis ICW, adanya doxing terhadap pihak yang mengkritik Jokowi, patut dilihat sebagai penguat bahwa Jokowi layak masuk nominasi yang diinisiasi OCCRP ini. Sebab, doxing semacam ini tidak akan muncul dan terulang di negara dengan iklim demokrasi yang sehat.

Selanjutnya, menurut ICW, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi kemunduran pemberantasan korupsi hingga demokrasi sepanjang era kepemimpinan Jokowi. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya pengkerdilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam berbagai aspek.

Serta, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia kembali terjun ke score 10 tahun lalu, kemunduran tatanan hukum antikorupsi, dan menguatnya politik dinasti.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, mengatakan pemberitaan media asing dan publikasi dari organisasi OCCRP tidak dapat dikatakan sebagai “suara barisan sakit hati”.

Sebab media maupun pers yang mewartakannya tidak memiliki kepentingan langsung dengan Indonesia. Mereka, katanya, bukan pula bagian dari elite-elite yang mencoba merebut kekuasaan dari tangan pemerintah.

“Justru karena tidak punya kepentingan maka sebenarnya bisa dikatakan relatif independen dalam penilaian OCCRP,” katanya, mengutip BBC.

Menurutnya, penilaian ini adalah kritik yang harus direspon dengan evaluasi. Dan menjadi masukan bagus bagi Presiden Prabowo untuk berhati-hati, karena sudah diingatkan oleh OCCRP.

OCCRP adalah organisasi jurnalisme investigasi, yang berkantor pusat di Amsterdam dan memiliki staf di enam benua. OCCRP mendapuk diri sebagai ruang berita nirlaba yang berorientasi pada misi dan bermitra dengan outlet media lain untuk menerbitkan cerita yang mengarah pada tindakan nyata.

Pada saat yang sama, divisi pengembangan media kami membantu outlet investigasi di seluruh dunia agar berhasil dan melayani publik. OCCRP didirikan oleh dua veteran reporter investigasi; Drew Sullivan dan Paul Radu pada tahun 2007.

Project OCCRP dimulai di Eropa Timur dengan beberapa mitra dan telah berkembang menjadi kekuatan utama dalam jurnalisme investigasi kolaboratif, yang menjunjung tinggi standar tertinggi untuk pelaporan kepentingan publik.

“Person of the Year” telah diberikan selama 13 tahun. Penghargaan ini diputuskan oleh panel ahli hakim dari masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalisme, semua dengan pengalaman luas dalam menyelidiki korupsi dan kejahatan.

Pada tahun 2024, pihak OCCRP telah membuat panggilan umum untuk nominasi dan menerima lebih dari 55.000 pengajuan. Termasuk beberapa tokoh politik yang paling terkenal bersama dengan individu yang kurang dikenal.*

avatar

Redaksi