Mengejar Tiga Buronan Korupsi

Daulat

January 5, 2025

Junus Nuh

Ilustrasi orang diborgol. (credits: pexels)

HASTO Kristiyanto, sekretaris jenderal (sekjen) PDIP belum lama ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan ini karena Hasto terkait dengan kasus Harun Masiku.

KPK menjerat Hasto dengan dua kasus. Yakni; suap dan perintangan penyidikan (obstruction of justice).

“Awal dari kasus ini adalah ketika Hasto selaku Sekjen PDIP menempatkan Harun Masiku di dapil 1 Sumatera Selatan pada Pileg 2019. Padahal Harun berasal dari Sulawesi Selatan,” kata Ketua KPK Setyo Budiyarto, mengutip CNN Indonesia, Selasa (24/12).



Kursi DPR dari dapil 1 Sumatera Selatan dimenangkan oleh Nazaruddin Kiemas. Dan, Harun kalah dengan memperoleh 5.878 suara.

Namun, Hasto berupaya agar Harun menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia. Padahal, posisi ini seharusnya diberikan kepada Riezky Aprilia yang meraih perolehan suara terbanyak kedua sebesar 44.402 suara.

Bukan hanya itu saja, Hasto juga terus berupaya agar Riezky bersedia mengundurkan diri untuk digantikan Harun. Meski upaya itu ditolak.

Persoalan ini berujung pada putusan MA terkait judicial review. Tetapi,tidak ditindaklanjuti oleh KPU. Akibatnya, Hasto meminta fatwa kepada MA.

Berdasarkan penyelidikan, terungkap bahwa Hasto dan beberapa rekannya telah memberi uang suap sebesar SGD 19.000 dan SGD 38.350 kepada Wahyu Setiawan dan Agustinus Tio Fridelina pada periode 16 Desember 2019 sampai dengan 23 Desember 2019. Wahyu Setiawan adalah kader PDIP yang menjadi komisioner KPU periode 2017-2022.

Terkait kasus ini, Hasto telah beberapa kali diperiksa oleh penyidik KPK, sejak Januari 2020 hingga Juni 2024. Ia pun pernah bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Ilustrasi uang. (credits: pexels)

Sedangkan Harun Masiku, diduga menyuap Wahyu Setiawan. Harun telah menyiapkan IDR 850 juta.

Wahyu Setiawan divonis tujuh tahun penjara sebagaimana putusan Mahkamah Agung nomor: 1857 K/Pid.Sus/2021. Wahyu menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah pada Juni 2021. Sejak 6 Oktober 2023, Wahyu telah bebas bersyarat.

Harun telah menyandang status “buronan” sejak lima tahun lalu. KPK memasukkan Harun ke dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 17 Januari 2020. Lalu, pada 30 Juli 2021, Harun masuk ke dalam DPO dunia dan masuk dalam daftar Red Notice Polisi Internasional (Interpol).

Mengutip laman resmi KPK, Harun Masiku diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Harun dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain Harun Masiku, pada laman resmi KPK juga tertera dua DPO lainnya.

Pertama, adalah, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin. Paulus masuk DPO sejak Sejak 19 Oktober 2021.

Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nacional (KTP elektronik) tahun 2011 hingga 2013 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Kedua, yakni, Kirana Kotama atau Thay Ming, yang masuk DPO sejak15 Juni 2017.

Kirana diduga melakukan tindak pidana korupsi pemberian hadiah terkait penunjukan Ashanti Sales sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan Kapal SSV untuk Pemerintah Filipina tahun 2014.

Ia disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Mengutip “Laporan Evaluasi Kinerja KPK Periode 2019-2024” oleh Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesi (PSHK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), secara umum, kondisi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tidak kunjung membaik, bahkan stagnan dan capaiannya sama dengan tahun 2014 lalu.

Kondisi KPK yang melemah dan dilemahkan secara terstruktur serta sistematis oleh pemerintah dan anggota legislatif pun menjadi catatan kritis.

Laporan ini pun memberikank beberapa rekomendasi untuk KPK ke arah depannya. Yakni; menggaungkan untuk mengubah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 (UU KPK), perbaikan tata kelola kelembagaan penegakan, dan membenahi sektor pencegahan untuk melihat potensi korupsi.*

avatar

Redaksi