Tambang Rakyat, Apa Cerita?

Lingkungan & Krisis Iklim

December 28, 2024

Jon Afrizal/Kota Jambi

Aktifitas “Membalik Bumi” (mencari emas secara illegal) di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun pada tahun 2019. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

PADA bulan Maret 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan sebanyak 1.215 Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di 19 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan total luasan 66.593,18 hektare, mengutip esdm, Provinsi Jambi mendapatkan 117 WPR dengan luas 7.030,46 hektare.

Sewaktu itu, Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Minerba Kementrian ESDM,  Bambang Suswantono mengatakan bahwa tindak lanjut yang dilakukan pada tahun 2024 ini, pihaknya akan melakukan percepatan penetapan dokumen pengelolaan WPR enam provinsi yang disusun pada tahun 2023 melalui Kepmen ESDM.

Keenam provinsi itu, adalah; Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Riau, Maluku, dan Sulawesi Tengah.

Tetapi, hingga hari ini, belum diketahui secara pasti, berapa jumlah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Provinsi Jambi. Adapun, masih sebatas simulasi.

Sementara itu, Provinsi Jambi masih terus berkutat pada isu Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

Padahal, Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin, misalnya. Telah hadir sebagai tempat pencarian emas, bahkan sejak era Cindua Mato. Begitu juga dengan Kecamatan Muaro Siau Kabuaten Merangin. Pun juga di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun.

Sementara minyak bumi, sejauh ini, Provinsi Jambi masih juga berkutat pada isu illegal drilling. Padahal, minyak bumi telah dibor di banyak wilayah di Kabupaten Muarojambi dan Batanghari sejak era pemerintahan kolonial Belanda.

Kawasan penggeboran minyak bumi illegal di Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari pada tahun 2019. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Mengutip hukumonline, mengacu pada Pasal 1 angka 32 Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang “Perubahan atas Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”, maka, kegiatan pertambangan rakyat dalam WPR adalah; pertambangan mineral logam, pertambangan mineral bukan logam, atau pertambangan batuan.

Wilayah pertambangan harus memenuhi kriteria-kriteria, yakni; mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai, mempunyai cadangan primer mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 meter, pengendapan teras, dataran banjir, dan pengendapan sungai purba, luas maksimum WPR adalah 100 hektare, dan menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang, dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, jika telah memenuhi kriteria, bupati/walikota setempat akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan DPRD  kabupaten/kota untuk ditetapkan menjadi WPR. Lalu, bupati/walikota berhak melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.

Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait. Yang dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.

Kemudian, diperlukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk menjalankan usaha pertambangan di WPR dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Menteri di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dan, IPR hanya dapat dikeluarkan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR.

IPR hanya diberikan oleh Menteri kepada orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.

Setiap 1 IPR memiliki luas 5 hektare per orang atau 10 hektare per koperasi. IPR diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

Untuk mendapatakan IPR, berdasarkan Pasal 63 PP 96 tahun 2021 tentang “Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”, pemohon perorangan harus memenuhi;  surat permohonan, Nomor Induk Berusaha (NIB), salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat keterangan dari kelurahan/desa setempat yang menyatakan pengaduan merupakan penduduk setempat, surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta keselamatan pertambangan, dan, surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan-undangan di bidang perpajakan.

Jika semuanya telah dilengkapi, maka tidak perlu illegal lagi.*

avatar

Redaksi