“Jalan Padang Lamo” Yang Aktif Kembali

Ekonomi & Bisnis

March 5, 2025

Jon Afrizal/Kota Jambi

“Jalan Padang Lamo”. (credits: wiki maps)

PASCA amblasnya jalan lintas Jambi – Sumbar KM 58, Desa Sirih Sekapur, Kabupaten Bungo beberapa waktu lalu, pengguna jalan raya seperti dibawa untuk bernostalgia. Untuk kembali melintasi “Jalan Padang Lamo”.

Sesuai namanya, “Jalan Padang Lamo” adalah bagian dari yang sekarang dikenal dengan sebutan Jalan Lintas Tengah Sumatera (Jalingteng), dan bagian dari Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) secara umum.

Ruas jalan ini aktif digunakan di bawah tahun 1990-an. Yang menghubungkan Provinsi Jambi dengan Provinsi Sumatera Barat. Dan, setelah itu, tidak begitu aktif lagi.

“Jalan Padang Lamo” menghubungkan enam kecamatan di Kabupaten Tebo. Yakni, Kecamatan Tebo Tengah, Sumay, Tebo Ulu, Serai Serumpun, Tujuh (VII) Ilir, dan Tujuh (VII) Koto.

Sebelum aktifnya Jalan Lintas Timur Sumatera (Jalintim) yang melintasi Provinsi Jambi, di awal tahun 1990-an, rute jalan yang melintasi Provinsi Jambi adalah (Jalingteng). Adapun, kota-kota yang dilintasi, adalah; Muaro Bungo, Bangko, Pamenang Barat, Pamenang, dan Sarolangun.

Jika bicara ruas jalan yang berlobang di “Jalan Padang Lamo” pada saat ini, mungkin, hampir sama atau mendekati kondisi, pada tahun 1970-an.

Kala itu, perjalanan dari Kota Jambi Ke Kota Padang, Sumatera Barat, dapat memakan waktu hampir dua hari lamanya. Ruas jalan yang rusak, berlobang dan berlumpur, dan, bus yang kerap mogok menjadi alasan mengapa waktu berjalan begitu lambat, di sini.

Belum lagi, jembatan yang tidak tersedia di beberapa titik. Seperti di Sungai Batang Tembesi, dan Sungai Batang Tebo, misalnya.

Alternatifnya, bus dan penumpang akan diseberangkan dengan menggunakan tongkang yang diikat ke tugboat. Orang Jambi menyebutnya dengan sebutan: “Pelayangan.”

Jembatan Batang Bungo, sekitar tahun 1930-an. (credits: Universiteit Leiden)

Kondisi seperti ini, kini masih dapat dilihat di Desa Melako Intan Kabupaten Tebo, misalnya.

Ketika berada di atas “Pelayangan” sangatlah dramatik. Penumpang akan melihat air sungai tropis yang umumnya berwarna cokelat karena endapan lumpur.

Namun, ketika musim hujan, debit air yang tinggi akan berubah warna menjadi cokelat susu.

Adapun jenis mobil, umumnya adalah Chevrolet dan Dodge.

Satu merek bus yang ngetop kala itu, adalah “Tjap Matjan.” Bus ini memiliki logo “harimau dan macan tutul” di kap bagian atas sopir.

Bus yang identik dengan warna kuning. Dan, gambar “harimau” besar berada di bagian belakang bus.

Meskipun, bus ALS, ANS dan APD dari Padang dan Bukittinggi juga telah masuk ke Jambi.

Bus ini berpenumpang sekitar 50-orang. Atau dapat juga lebih, tergantung kesepakan antara penumpang dan kernet.

Penumpang telah membiasakan diri untuk selalu berdoa ketika berada di dalam bus, di sepanjang perjalanan. Sebab, wilayah tengah Pulau Sumatera adalah kawasan hutan primer yang sangat sempurna, kala itu.

Sehingga, adalah cerita lumrah, jika sesekali bus terpaksa berhenti. Karena “si belang raja hutan” sedang melintas.

Ataupun, jika hewan “Telegu” atau Sigung (Mydaus javanensis) melintas. Maka baunya yang khas, mirip dengan bau kentut, hanya mampu dihilangkan dengan bau belerang.

Penumpang yang merokok serta merta akan membakar korek api dari lidi kayu, yang orang Jambi menyebutnya: “Koset”. Maka, bau busuk pun hilang.

Yup, kala itu, seluruh bagian bus adalah “Smoking Area”. Dengan jendela yang selalu terbuka dan angin dapat masuk seenaknya.

Serta kantong kresek, yang orang Jambi menyebutnya “Sangkek Asoy”, sebagai pegangan bagi sesiapa yang mual dan muntah di dalam perjalanan.

Minyak angin, dan buah jeruk kerap dibawa serta di dalam perjalanan. Sebab, berdasarkan pemahaman umum, keduanya adalah obat untuk anti – mabok. Meskipun, belum teruji secara klinis.

Susahnya akses jalan untuk menuju ke Sumatera Barat, yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit bagi penumpang. Sehingga tidak ada kata “on time” di sini.

Bicara makan, pada waktu itu, jika anda lahir dan besar di Kota Jambi, tentunya harus sangat hati-hati. Umumnya penumpang akan membawa bekal nasi berbungkus daun pisang dari rumah masing-masing.

Kita akan menyentuh hal-hal yang purba dalam peradaban manusia. Adum, yakni sejenis racun yang dimasukan ke dalam makanan atau minuman.

Cerita-cerita orang-orang tua, Adum adalah racun yang didapat secara turun temurun, mungkin sejak era pra Islam. Si pemilik tidak memilki kuasa untuk menolak “Racun Turunan” ini.

“Jalan Padang Lamo”. (credits: google maps)

Sama seperti peribahasa, “Dimakan mati Bapak, tak dimakan mati Emak”. Maka, Adum pun harus “disalurkan” ke orang lain, terkadang secara random saja.

Sehingga, supir dan kernet pun akan mengingatkan penumpang untuk hanya makan di tempat yang telah dinyatakan clear saja. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya.

Umumnya, orang yang termakan Adum akan kena penyakit aneh. Tubuhnya akan lemah lunglai, sakit dan akhirnya meninggal dunia. Terkadang, proses meninggal akan sangat cepat, dan kadang juga sangat lambat.

Oh ya, penumpang tentu saja akan naik bus di terminal. Sebab belum ada layanan “jemput dan antar” ke alamat pada masa itu.

Adapun terminal kala itu adalah tepat di samping TPU Kebun Jahe, Jalan Husni Thamrin, Beringin, Kota Jambi. Atau, yang sekarang menjadi bangunan SDN 2/IV.

Lantas, beberapa tahun setelah itu, di dekade 1980-an, berpindah ke Simpang Kawat, di Jalan M Yamin. Tepatnya, di bangunan, yang katanya, mau dibuat untuk Mall Bagindo, yang sekarang terbengkalai itu.

Jalan Lintas Sumatera dibangun pada tahun 1965, di era pemerintahan Presiden Soekarno.

Pembangunan mega proyek Jalan Lintas Sumatera dilakukan sepanjang 2.400 kilometer. Mega proyek ini dibagi menjadi delapan proyek, dan rampung dalam waktu 10 tahun.

Maka, jika bicara “Jalan Padang Lamo”, adalah juga bicara bagaimana membelah kerapatan hutan di bagian tengah Pulau Sumatera. Meskipun, tidak sepenuhnya demikian.

Sebab, pemerintah kolonial Belanda sebelumnya telah merintis jalan antar provinsi ini.

Jika pun, hingga hari ini masih banyak ruas “Jalan Padang Lamo” yang rusak, maka artinya: “waktu berhenti” di sini.

Dan, kita “tidak bergerak kemanapun”.*

avatar

Redaksi