Masih, Ribut Soal Batas Di Desa Pemayungan

Lingkungan & Krisis Iklim

December 12, 2024

Jon Afrizal/Kota Jambi

Areal yang terbakar di Muaro Bulan, Desa Pemayungan Kecamatan Sumay, Oktober 2023. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

MASYARAKAT dan pemerintah Desa Pemayungan Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi menolak penanaman patok yang dilakukan PT Alam Bukit Tiga Puluh (ABT), Rabu (4/12). Penolakan ini terjadi, karena PT ABT dianggap tidak melakukan proses sosialisasi dan meminta persetujuan terlebih dahulu kepada masyarakat desa.

Penanaman patok itu adalah sebagai tanda batas antara wilayah kerja PT ABT dan administratif Desa Pemayungan.

PT ABT adalah pengelola areal restorasi ekosistem ke-14 di Indonesia, yakni Alam Bukit Tigapuluh. Areal restorasi ekosistem ini diinisiasi oleh banyak lembaga lingkungan, diantaranya adalah; WWF Indonesia dan Frankfurt Zoological Society (FZS).

Mengutip “Kecamatan Sumay Dalam Angka 2023” terbitan BPS, Desa Pemayungan memiliki luasan 121,21 kilometer persegi atau setara dengan 1.212.100 hektare. Sementara, yang termasuk menjadi bagian wilayah kerja blok II PT ABT adalah seluas sekitar 14.000 hektare.

Pada berita acara “Rapat antara Ketua BPD dan Masyarakat Pemayungan” pada Rabu 12 Juni 2024, dinyatakan bahwa berdasarkan amar keempat poin 1 huruf c pada Surat Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Dalam Negeri (BPMDN) nomor SK.7/1IUPHHK-HA/PMDN/2015 tentang “Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam” pada tanggal 24 Juli 2015 bahwa PT ABT harus melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat satu tahun sejak diterimanya IUPHHK-RE.

PT ABT mendapat izin wilayah kerja dengan peruntukan restorasi ekosistem seluas 38.665 hektare. Wilayah kerja ini dibagi menjadi dua blok; Blok I seluas 22.095 hektare, dan Blok II seluas 16.570 hektare.

Pada Blok II, termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pemayungan seluas kurang lebih 14.000 hektare.

Selain itu, pada berita acara ini juga menyinggung soal hak-hak masyarakat dan penataan batas wilayah atau areal kerja. Berita Acara rapat ini ditandatangani oleh Ketua BPD Pemayungan Islahamdan, Kepala Desa Pemayungan Rahman, dan Ketua Lembaga Adat Melayu Desa Pemayungan Abd Murad.

Sejak awal PT ABT berkegiatan di Blok II, acap kali terjadi benturan dan ketidaksepemahaman antara masyarakat dan PT ABT. Kondisi itu, terus terjadi hingga hari ini.

Alasan utama yang dinyatakan masyarakat untuk persoalan ini, adalah, tidak adanya sosialisasi.

Pohon-pohon yang ditumbangkan di jalan menuju zona inti PT ABT di Blok II Desa Pemayungan Kecamatan Sumay, Desember 2018. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Jika belum ada sosialisasi, hentikan aktifitas pemasangan patok,” Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, Abdullah, Rabu (11/12).

WALHI Jambi telah mendampingi masyarakat Desa Pemayungan sejak pertama kali berkonflik dengan PT ABT di tahun 2015.

Mengutip tanahkita, pada tahun 2015, wilayah administrasi Desa Pemayungan termasuk ke dalam izin Restorasi PT ABT. Izin PT ABT Blok II seluas 16.570 hektare, dan setelah di overlay dengan Peta Administrasi Desa Pemayungan maka terdapat sekitar 14.000 hektare wilayah administrasi Desa Pemayungan yang masuk kedalam izin PT ABT.

Pada suatu perjalanan liputan ke Desa Pemayungan di tahun 2018, Amira juga melihat sablon berwarna kuning dengan huruf berwarna hitam, yang bertuliskan penolakan warga terhadap PT ABT.

Dan, pada waktu yang sama, ketika Amira berjalan dari Desa Pemayungan menuju ke kawasan zona inti PT ABT, jalanan dipenuhi pohon-pohon yang dengan sengaja direbahkan melintang dan merintangi siapapun yang akan melintas.

Hingga berita ini dipublikasi, pihak PT ABT belum memberikan tanggapan, terkait persoalan ini.

Persoalan yang terjadi di Desa Pemayungan sangat kompleks. Sehingga tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang sosialisasi saja.

Pemayungan adalah dusun lama di Kabupaten Tebo. Dulu, disebut: Pemayongan. Penduduk awal di Pemayongan juga berkait kerabat dengan Dusun Tuo Sumay.

Jika dilihat melalui sejarah Kesultanan Jambi, maka daerah-daerah di kawasan ini adalah bagian dari Kesultanan Ulu. Mengutip Jon Afrizal dalam Merajo Di Negeri Rajo, wilayah ini tercipta setelah wafatnya Depati Anom bergelar Sultan Agung Abdul Jalil, pada tahun 1665.

Perpecahan ini, adalah karena penjualan lada antara Kesultanan Jambi dengan VOC. Dimana wilayah Ulu adalah wilayah dataran yang tinggi, dengan tanah yang subur dan memiliki curah hujan yang cukup.

Sehingga perkebunan, terutama lada menjadi mata pencarian pokok warga. Terlebih, kawasan Ulu memiliki pasar sendiri bagi penjualan lada. Sebelum terpecah menjadi dua, perdagangan lada di dominasi oleh wilayah Ilir.

Kondisi ini menyebabkan Kesultanan Ilir, yang terpusat di Kota Jambi dan sekitarnya saat ini, merugi karena tidak memiliki perkebunan lada.

Secara kemasyarakatan, penduduk awal di wilayah Ulu adalah berasal atau memiliki kekerabatan dengan penduduk wilayah Kumpe Kabupaten Muarojambi. Kala itu, penduduk daerah Kumpe yang notabene adalah pasukan perang kesultanan dibawa ke wilayah Tebo dan sekitarnya.

Masih mengutip tanahkita, warga Desa Pemayungan juga berkonflik dengan PT Lestari Asri Jaya (LAJ), pada tahun 2007. PT LAJ, sekarang: Michelin, telah mendapatkan pencadangan areal seluas seluas 61.495 hektare dari Menteri Kehutanan melalui Surat No. S.662/Menhut-VI/2009 pada tanggal 21 Agustus 2009. Juga dukungan surat keputusan dari Gubernur Jambi dan Bupati Tebo.

Tetapi, izin yang keluar ini tidak melibatkan masyarakat yang secara langsung berada di kawasan yang masuk ke area pencadangan PT LAJ. Pun, sama seperti yang terjadi dengan PT ABT, pemerintah provinsi dan kabupaten juga luput mensosialisasikannya kepada masyarakat lokal.

Pemerintah, realitanya, memberikan izin tanpa melihat dan turun langsung ke lokasi yang akan dijadikan areal pencadangan. Sehingga masyarakat Desa Pemayungan pun telah terlebih dahulu memanfaatkan lahan yang masuk ke areal pencadangan ini sebagai ladang dan kebun mereka.

Maka, yang terjadi adalah, konflik yang tidak terselesaikan. Di satu sisi, investasi dan konservasi bermanfaat bagi pendapatan negara, dan bagi keberlangsungan hidup banyak orang. Tapi, pada sisi lainnya, masyarakat lokal pun harus dilibatkan.

Persoalan lain, adalah terbukanya wilayah ini, bahkan hingga ke perbatasan Provinsi Jambi – Riau. Ini membuat aktor-aktor “memobilisasi” pendatang.

Para pendatang adalah juga perambah, yang didukung oleh “pemodal”. Bermodalkan kenekatan, wilayah Sumay, termasuk Desa Pemayungan, adalah “lahan baru” bagi kebun sawit milik perseorangan.

Hingga hari ini, banyak pihak masih menunggu peran aktif pemerintah untuk menyelesaikan konflik di sini.*

avatar

Redaksi