Minyak Urut Cula Badak

Resonansi

October 17, 2025

Jon Afrizal

Zun (wadah anggur) perunggu berbentuk badak, dengan desain awan bertatahkan emas dan perak, dari Dinasti Han Barat. Ditemukan di Xingping, Provinsi Shaanxi, 1963. (credits: Wiki Commons)

AKU adalah penjelajah alam. Sejak kecil.

Selepas pulang sekolah, waktuku lebih banyak ku habiskan di luar rumah. Tepatnya di semak belukar yang berada di belakang rumah kami.

Ibu dan bapakku adalah pegawai negeri. Dari pagi mereka rutin pergi ke kantor, dan akan pulang ketika sore hari.

Sepanjang persekolahan, belajar dan ceramah guru, terkadang, sangat tidak menarik sekali. Terlebih jika jarum jam di arloji di lengan tangan kananku telah menunjukan angka 11.

Pikiranku sangat sibuk. Sebut saja itu adalah imajinasi, atau apapunlah istilah yang engkau berikan untuk tingkah polah anak yang berusia 10 tahun ini.

Aku berpikir, atau mungkin berhayal tentang outdoor yang sangat menantang. Tentang bagaimana alam yang sesungguhnya.

Pengetahuan yang kadang ku dapat dari buku-buku komik, buku cerita dan bahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan alam.

Setelah lonceng sekolah berdentang keras di pukul berkali-kali, tanda waktunya untuk pulang. Itu artinya, aku dapat bebas berkegiatan outdoor. Sendirian.

Tak berapa jauh dari rumah keluarga kami, terdapat sebuah anak sungai. Airnya, memang, mengalir jernih. Tapi, kadang, ada juga orang yang mengotorinya dengan membuang sampah rumah tangga ke sungai kecil ini.

Karikatur Rhino. (credits: Freepik)

Aku sangat menyukai lingkup sungai kecil ini. Kiri kanannya dipenuhi pepohonan yang rimbun. Sesekali, aku melihat ular daun bergerak di antara dedaunan.

Binatang melata yang mengandung unsur: menggelikan, menjijikan dan menyeramkan.

Aku pernah mendengar cerita seseorang yang sedang menebang pohon. Tetapi ketika ditebang, pohon itu mengeluarkan darah segar dan berbau amis.

Ternyata, yang ia tebang bukanlah sebatang pohon. Melainkan tubuh seekor ular yang sedang menjuntai dari atas pohon ke bawah.

Hiiiiii.

Siang ini, kegiatan jelajah alamku adalah menyusuri sungai kecil ini. Aku telah memberi “tanda” dalam setiap penjelajahanku. Pelajaran ini ku dapat dari kegiatan kepanduan.

Sehingga, aku akan meneruskan penjelajahanku tepat setelah tanda terakhir. Dan aku telah membuat tiga tanda, dengan menggunakan secarik kain berwarna merah yang ku ikatkan ke pohon.

Aku masih mengantongi tiga carik kain lagi.

Betapa sangat mengasikan melihat ikan-ikan berenang bebas di air.

Pada lain kesempatan, aku juga membawa alat sejenis jaring untuk menangkap ikan. Jaring yang ku buat dari bekas tudung saji berukuran kecil.

Pada suatu ketika, aku mendapat beberapa ekor ikan yang lumayan besar. Ikan jenis betok, gabus dan lele.

Tangkapanku ku masukkan ke dalam kantong kresek, lalu ku bawa pulang. Ku pikir, ibuku pasti akan senang. Sebab aku telah pandai mencari lauk pauk sendiri, seperti orang dewasa pada umumnya.

Dengan gagah berani, aku pun masuk ke rumah, setelah sebelumnya mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”

Lalu, ku tunjukan kantong kresek itu kepada ibu. Sambil berkata, “Aku menangkap ikan, banyak. Untuk lauk pauk makan malam nanti.”

Ternyata, justru sebaliknya.

Ibu terlihat mendelikan matanya, marah. “Ke sungai lagi, ya. Lihat kakimu kotor, burikan.”

“Jorok sekali. Besok, tidak boleh main ke sungai lagi. Belajar,” kata ibu.

Sejak saat itu, aku tidak pernah menangkap ikan. Pun sebelum sampai ke rumah, setelah aktifitas outdoor, aku terlebih dahulu selalu mampir ke langgar di dekat rumah kami. Mencuci kaki dan sendal jepitku hingga bersih.

Gading Mammoth. (credits: Wiki Commons)

Dan, hari ini, adalah hari naas bagiku. Setelah perjalanan panjang mengikuti aliran anak sungai, aku pun tiba di sebuah danau. Nantinya, setelah puluhan tahun, danau itu telah berubah menjadi tempat wisata.

Perjalanan pulang, ku lanjutkan melalui jalur darat. Aku akan melintasi lorong-lorong kecil yang seperti melingkari rumah kami. Dan, rencananya, aku akan sampai di rumah tepat sebelum waktu mengaji tiba, sekitar pukul 5 sore hari.

Malangnya, sebelum sampai ke darat, aku tergelincir, dan masuk ke danau. Berkali-kali aku berusaha naik. Meskipun berhasil, kakiku cidera. Terkilir. Bajuku pun basah kuyup.

Terpincang-pincang aku berjalan. Bersyukur, tak berapa lama, seorang teman terlihat sedang naik sepeda.

Aku pun diboncengnya, hingga ke rumah.

Ia memapahku hingga ke pintu. Dari dalam rumah, terlihat wajah ibu.

“Terjatuh ke danau. Terkilir,” kata temanku, sambil segera pergi.

Aku sedang menghadapi malapetaka. Dunia rasanya pecah berserakan.

“Wah, hebat. Jauh sekali mainnya hari ini. Anak didik Lord Baden Powell,” kata ibu. Sinis.

Tak jauh dari rumah kami, sekitar dua rumah, ada seorang yang berprofesi sebagai tukang jual obat keliling. Mungkin, itu klasifikasi profesinya, aku kurang mengerti. Aku memanggilnya Pak Wo. Ia perantau dari Minangkabau.

Ia pandai mengurut. Koleksinya pun aneh-aneh semua. Berbagai jenis minyak berbau menusuk, tulang-tulang, dan tanduk.

Entah siapa yang membeli koleksinya, aku pun tidak tahu.

Ibu membawaku ke tempat Pak Wo. Sambil bercerita panjang lebar tentang aktifitasku. Persis, mirip ibu-ibu pada umumnya.

Ketika Pak Wo sedang mengurut kakiku, di sebelah kiri mata kaki, aku pun bertanya tentang minyak urut itu. Dari mana asalnya.

“Cula badak,” katanya singkat.

Dan, entah bagaimana caranya mengubah cula badak menjadi minyak urut, aku juga kurang mengerti. Mungkin, cula diletakan di wajan dan dimasak dengan tungku api. Dan, setelah sekian lama, cula berubah menjadi minyak. Mungkin saja.

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, dan aku tetaplah pengelana outdoor.

Aku memahami bahwa badak Sumatra telah dianggap punah.

Pertanyaanya, apakah Pak Wo dan aku adalah penyebab kepunahan badak Sumatra? Karena kami adalah; produsen dan konsumen minyak cula badak? Secara sadar.

Mungkin saja demikian, mungkin saja tidak demikian. Tapi yang jelas, setelah dua atau tiga kali diurut minyak cula badak, kakiku pun sembuh.*

avatar

Redaksi