Direktur PT FPIL Dihadirkan Di Persidangan

Hak Asasi Manusia

July 28, 2023

Junus Nuh/Sengeti

Makam Rang Kayo Pedataran di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu. (photo credits : Junus Nuh/amira.co.id)

SIDANG perkara pidana dengan terdakwa Bahusni di PN Sengeti, Rabu (26/7) menghadirkan direktur PT Fajar Pematang Indah Lestari, William Ang. Hakim ketua, Albon Damanik memberikan pertanyaan kepada William Ang terkait persoalan yang sedang dibahas di persidangan ini.

Dalam menjawab pertanyaan hakim, William terkesan ragu-ragu dan tidak memahami duduk persoalan. Seperti persoalan tentang dimana tepatnya lokasi yang selama ini dinyatakan pihak perusahaan.

Begitu juga dengan terdakwa Bahusni, William mengaku tidak mengetahui orangnya. Meskipun, keduanya sedang berhadap-hadapan di ruang sidang Cakra. Hakim sempat bertanya tentang apakah Bahusni pernah terekam di kamera CCTV atau drone, ia pun mengakui tidak pernah melihatnya.

Sidang berlangsung sejak dari pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 14.00 WIB. Sidang sempat diskors ketika waktu sholat dzuhur.

Dalam persidangan, William menyatakan Bahusni mengancam dirinya. Tapi, Bahusni balik bertanya, terkait waktu dan tempat, William pun tidak dapat menjawabnya.

Ketika hakim bertanya atas dasar apa pihak perusahaan melaporkan Bahusni, William menjawab adalah karena Bahusni sebagai ketua. Meskipun ia tidak menjelaskan secara detail sebagai ketua apa.

Dalam sidang yang terbuka untuk umum ini, juga menghadirkan beberapa orang saksi yang merupakan warga Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi.

Saksi dihadirkan terkait jual beli lahan yang dilakukan pihak perusahaan. Dalam sidang itu, diketahui bahwa perkara jual beli lahan adalah pada tahun 1998. Padahal sewaktu itu, masih PT Purnama Tusau Putra. Sementara, PT FPIL diketahui berada di Desa Sumber Jaya pada tahun 2004.

Begitu pula ketika hakim bertanya tentang apakah pernah melihat Bahusni berada di lokasi, para saksi menyatakan tidak melihat langsung tapi dari orang lain.

Sehingga, terbuka begitu banyak kemungkinan dan tafsiran tentang perusahaan ini. Dan semestinya akan terungkap setelah putusan nanti.

Pun terkait dengan kerugian sebesar Rp 24 milliar, yang dinyatakan perusahaan. Hakim pun menyatakan angka itu patut untuk diuji akuntabilitasnya oleh pihak yang paham.

Setelah persidangan, Amira sempat meminta waktu untuk wawancara dengan William Ang, di luar ruang sidang. William terlihat bingung dan ragu. Ia berhenti sejenak di tempat. Tetapi, orang di sekitar mengatakan, “Jangan di-photo. Keberatan.”

Artinya, hak William Ang untuk menjawab pertanyaan, secara jurnalistik telah diajukan. Terlepas dari ia menjawab atau tidak, itu pun adalah haknya.

Pemberitaan tentang PT FPIL sangat kencang pada sepekan terakhir ini. Terutama terkait dengan pemberitaan Dusun Pematang Bedaro Desa Teluk Raya. Desa ini secara administratif bersebelahan dengan Desa Sumber Jaya.

Pun, pemberitaannya juga sama : masalah konflik lahan.

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Kanwil ATR/BPN Muarojambi terkait persoalan ini. Sebab locus dari perusahaan adalah di Kabupaten Muarojambi.

Ketika Amira men-searching PT FPIL di internet, yang tampil adalah PT Fajar Pematang Indah Lestari dengan locus di Kabupaten Tebo, dengan SK Menkumham nomor AHU-00210803.AH.01.01 tahun 2020. Sementara yang ber-locus di Kabupaten Muarojambi tidak ditemukan.

Begitu pula ketika Amira mencocokkan beberapa nomor HGU yang tertera di banyak plakat dan baliho di lokasi Desa Sumber Jaya, ternyata tidak ditemukan di aplikasi Sentuh Tanahku milik Kementrian ATR/BPN.

Tentu saja, hukum adat, telah diakui menjadi bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia. Dan sudah sepatutnya, jual beli lahan masyarakat seperti milik dusun atau desa harus diketahui oleh masyarakat dusun atau desa dan harus pula menggunakan pola adat kemasyarakatan, seperti berunding dan duduk bersama.

Persoalan ini, akan menjadi rumit jika ada perseorangan yang melakukan jual beli lahan masyarakat dusun atau desa tanpa duduk bersama. Sebab dusun atau desa memiliki batas-batas wilayah secara alam, yang diketahui oleh masing-masing penduduk.

Dan yang menyatakan dusun atau desa di Kumpe Ulu adalah telah ada sejak lama, yakni banyak ditemukan makam (: keramat) mereka-mereka yang termaktub di dalam sejarah negeri Jambi. Di lokasi Desa Sumber Jaya, ditemukan makam Rang Kayo Pedataran.

Menurut kemenkeu.go.id, berdasarkan pasal 5 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, hukum tanah nasional adalah hukum adat. Sehingga pelaksanaan jual beli tanah nasional pun menganut sistem jual beli tanah sesuai hukum adat. Dan juga menerapkan asas tunai dan terang.

Tetapi, menurut data Walhi Jambi, selama tahun 2017 hingga 2022, terdapat setidaknya 162 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Provinsi Jambi. Yang berada di areal pertambangan, hutan dan perkebunan. Tentu saja, cukup terang benderang.*

avatar

Redaksi