Konflik Agraria Desa Sumber Jaya : Gunakanlah Jalur Musyarawah

Hak Asasi Manusia

July 13, 2023

Jon Afrizal/Sengeti

Sekjen KPA, Dewi Sartika ketika berada di Desa Sumber Jaya, bulan Maret 2022. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

BAHUSNI, Ketua Serikat Tani Kumpe (STK) mendengarkan sidang putusan sela di PN Sengeti, Rabu (12/7). Sidang dimulai pada pukul 10.00 WIB di ruang Kartika PN Sengeti.

Hakim ketua, Albon Damanik menyatakan bahwa majelis hakim menolak ekspesi dari Bahusni dan tim pengacaranya. Ia pun memerintahkan kepada JPU untuk melanjutkan perkara nomor 94/Pid.Sus/2023/PN Snt itu.

Bahusni didakwa pasal 107 huruf a undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta, pasal 107 huruf d undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara di luar ruang persidangan, sekitar 200-an warga Desa Sumber Jaya melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk dukungan terhadap Bahusni. Mereka berdemonstrasi di kantor Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Sengeti.

“Pengacara, KPA dan STK akan terus berjuang, Sebab, apa yang didakwakan kepada Bahusni bukanlah atas inisiatif pribadi, melainkan telah melalui mekanisme rapat desa dan telah menjadi keputusan bersama,” kata pengacara dari organisasi bantuan hukum Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Yoseph Nurhidayat.

Sejauh ini, dari pengakuan masyarakat Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu, memang tidak pernah ada perundingan antar masyarakat dengan pihak perusahaan, terkait penetapan Hak Guna Usaha (HGU) yang berada di desa mereka. Pun pihak perusahaan tidak pernah mengajak warga untuk berunding guna mendapatkan kata mufakat.

“Sejak dari hadirnya PT Purnama Tusau Putera (PTP) hingga PT Fajar Pematang Indah Lestari ( FPIL) di desa kami, masyarakat memang tidak pernah diajak berunding. Sehingga terjadilah konflik lahan selama 20 tahun ini,” kata pemuka masyarakat Desa Sumber Jaya, Rasidi.

Warga Desa Sumber Jaya yang menggelar aksi dukungan terhadap Bahusni di Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Sengeti, Rabu (12/7). (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Sementara itu, guru besar hukum agraria Universitas Brawijaya Malang, Achmad Sodiki dikutip dari mkri.id menyatakan pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Undang-Undang nomor 51 Prp 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya yang sah menyebutkan bahwa jika terjadi pemakaian tanah seperti yang dimaksud pasal a quo, maka yang diutamakan adalah dengan jalan musyawarah.

“Pasal itu tidak menjelaskan mengapa sampai terjadi pemakaian tanah perkebunan tanpa izin. Ada kemungkinan batas antara tanah hak ulayat dengan hak guna usaha perkebunan tidak jelas. Ada kemungkinan masyarakat masih berpendapat bahwa mereka mengerjakan atau memakai tanah sesuai dengan hukum adat mereka,” katanya.

Ia mengatakan kondisi ini sangat penting didalami karena masyarakat adat yang membuka, mengerjakan, menggunakan tanah sesuai dengan hukum adatnya tidak bisa dihukum sebagai konsekuensi pengakuan terhadap berlakunya hukum adat.

Pada masa pemerintah Hindia Belanda, katanya, dalam Ordonansi 7 Oktober 1937 sama sekali tidak ada ancaman pidana karena dianggap sebagai urusan perdata.

Berkaca dari pemahaman yang diberikan oleh Achmad Sodiki ini, dimana pemerintah kolonial Belanda tidak mau untuk menggunakan jalur pidana bagi bumiputera dalam kasus penggunaan tanah erfpacht, tetapi menggunakan jalur perdata, maka jika membandingkannya dengan konflik agraria yang terjadi di Desa Sumber Jaya, patut bagi banyak pihak berwenang untuk menerapkan pola mediasi atau musyawah.

Sebagai kesatuan landscape Desa Sumber Jaya, terdapat bagian-bagian yang memang telah diatur penggunaannya, dan juga tapal batasnya sesuai dengan aturan adat istiadat di desa mereka. Dan ini adalah sama seperti yang diuraikan Achmad Sodiki.

Sejauh itu, lahan yang kerap dinyatakan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT FPIL tidak terdata di aplikasi android Sentuh Tanahku milik kementrian ATR/BPN . Selain itu, telah pula keluar surat dari direktorat jendral penetapan hak dan pendaftaran tanah Kementrian ATR/BPN nomor HT.01/681-400.19/V/2023 tertanggal 19 Mei 2023 yang menyatakan tentang permohonan penghentian perpanjangan dan pencabutan izin HGU PT FPIL di Kabupaten Muarojambi. *

avatar

Redaksi