Bepergian Ke Negeri Di Laut Selatan

Budaya & Seni

December 23, 2025

I Tsing*

Candi Tinggi. (credits: Wiki Commons)

PADA bulan kesebelas tahun itu (Masehi 671), kami mulai mengarahkan pandangan menuju rasi Yi dan Chen, dengan Fan-yu (Kwang-tung) tepat di belakang kami. Kadang-kadang pikiranku melayang jauh ke Taman Rusa (Mrgadava di Benares); di lain waktu aku beristirahat dengan harapan mencapai Gunung Ayam Jantan (Kukkutapadagiri dekat Gaya).

Pada saat itu, angin musim pertama mulai bertiup, ketika kapal kami bergerak menuju Selatan Merah, dengan tali-tali sepanjang seratus hasta tergantung dari atas, berpasangan. Pada awal musim ketika kami berpisah dari rasi Chi, sepasang layar, masing-masing terdiri dari lima lembar kain, terbentang, meninggalkan wilayah utara yang kelam di belakang. Memotong jurang yang luas, gelombang besar air terbentang seperti gunung di laut. Bergabung dengan arus pusaran raksasa dari samping, gelombang besar seperti awan menghantam langit.

Belum sampai dua puluh hari berlayar, kapal mencapai Bhoga (Sriwijaya), tempat aku turun dan tinggal selama enam bulan, sambil perlahan-lahan mempelajari sabdavidya (tata bahasa Sanskerta). Raja memberiku dukungan dan mengirimku ke negeri Malayu, yang kini disebut Sribogha (Sriwijaya), di mana aku tinggal kembali selama dua bulan, dan dari sana aku pergi ke Ka-cha (Kedah). Di sini aku naik kapal pada bulan kedua belas, dan kembali menaiki kapal raja, aku berlayar menuju India Timur.

Berlayar ke arah utara dari Ka-cha (Kedah), setelah lebih dari sepuluh hari, kami tiba di negeri Orang-Orang Telanjang (Nicobar). Melihat ke arah timur, kami melihat garis pantai sepanjang satu hingga dua li Tiongkok, tak ada apa pun selain pohon kelapa dan hutan pinang, rimbun dan menyenangkan. Ketika para penduduk melihat kapal kami datang, mereka segera naik perahu-perahu kecil, jumlahnya sekitar seratus. Mereka membawa kelapa, pisang, dan barang-barang dari rotan dan bambu, dan ingin menukarkannya.

Yang paling ingin mereka dapatkan hanyalah besi; untuk sepotong besi sebesar dua jari, seseorang bisa mendapatkan lima hingga sepuluh buah kelapa dari mereka. Para pria benar-benar telanjang, sementara para wanita menutupi tubuh mereka dengan beberapa helai daun. Jika para pedagang, sebagai lelucon, menawarkan pakaian kepada mereka, mereka melambaikan tangan sebagai tanda bahwa mereka tidak memakainya.

Negeri ini, kudengar, berada di arah batas barat-daya Shu-ch’uan (Sichuan di Tiongkok). Pulau ini tidak menghasilkan besi sama sekali; emas dan perak juga jarang. Penduduknya hidup hanya dari kelapa (narikela) dan umbi-umbian; tidak banyak beras. Karenanya, apa yang mereka anggap paling berharga ialah loha, yaitu nama untuk besi di negeri ini. Mereka tidak hitam, bertubuh sedang. Mereka ahli dalam membuat peti rotan bundar; tak ada negeri lain yang menyamainya. Jika seseorang menolak berdagang, mereka akan memanah dengan panah beracun, di mana satu tembakan saja sudah mematikan.

Sekitar setengah bulan berlayar ke arah barat-laut dari sini, kami mencapai Tamralipti, yang menjadi batas selatan India Timur. Tempat ini lebih dari enam puluh yojana dari Mahabodhi dan Nalanda (India Tengah).

Pada hari kedelapan bulan kedua tahun keempat periode Hsien-heng (673), aku tiba di sana. Pada bulan kelima aku melanjutkan perjalanan ke barat, menemukan rekan perjalanan di sana-sini. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Ta-ch’eng-teng (Mahayanapradipa) di Tamralipti, dan tinggal bersamanya beberapa waktu dalam setahun, mempelajari bahasa Brahma (Sanskerta) serta ilmu kata (tata bahasa, sabdavidya). Akhirnya aku berangkat bersama Guru Teng, mengambil jalan lurus ke barat, dan ratusan pedagang ikut bersama kami menuju India Tengah.

Pada jarak sepuluh hari perjalanan dari Vihara Mahabodhi, kami melewati sebuah gunung besar dan rawa-rawa; jalannya berbahaya dan sulit dilalui. Penting untuk pergi dalam rombongan, dan jangan pernah berjalan sendirian. Pada saat itu aku, I-tsing, terserang penyakit musiman; tubuhku lemah dan tanpa tenaga. Aku berusaha mengikuti rombongan pedagang, tetapi karena sakit dan tertinggal, aku tidak mampu menyusul mereka. Meskipun aku memaksa diri untuk terus berjalan, aku harus berhenti seratus kali hanya untuk maju lima li.

Di sana ada sekitar dua puluh bhiksu Nalanda, bersama bhiksu terhormat Teng, yang semuanya telah mendahuluiku. Aku sendiri tertinggal, dan berjalan di celah-celah berbahaya tanpa teman. Menjelang matahari terbenam, beberapa penyamun gunung muncul; dengan busur terentang dan teriakan keras, mereka datang dan menatap garang, satu per satu menghinaku. Pertama, mereka merampas jubah luarku, lalu pakaian dalamku. Semua tali dan ikat pinggang yang kubawa, mereka rebut juga.

Saat itu kukira inilah perpisahanku yang terakhir dengan dunia ini, dan aku tidak akan memenuhi cita-cita ziarahku ke tempat suci. Selain itu ada kabar di negeri Barat (India) bahwa ketika mereka menangkap orang kulit putih, mereka membunuhnya sebagai persembahan kepada dewa-dewa. Mengingat cerita itu, ketakutanku menjadi dua kali lipat. Maka aku masuk ke lubang berlumpur dan melumuri seluruh tubuhku dengan lumpur. Aku menutupi diri dengan daun-daun, dan berpegangan pada tongkat berjalan perlahan.

Nama-nama tempat yang disebutkan I Tsing. (credits: J Takakusu)

Menjelang malam, tempat peristirahatan masih jauh. Pada jaga kedua malam itu, aku mencapai rombongan. Aku mendengar guru Teng memanggilku keras dari luar desa. Ketika kami bertemu, ia dengan baik hati memberiku jubah, dan aku membasuh tubuh di kolam sebelum masuk desa.

Beberapa hari kemudian kami tiba di Nalanda, menyembah Kuil Akar (Mulagandhakuti), dan naik ke Gunung Grdhrakuta (Gunung Burung Nazar), melihat tempat di mana jubah-jubah dilipat. Kemudian kami tiba di Vihara Mahabodhi, dan menyembah citra wajah asli Buddha. Aku mengambil sutra sutera halus dan tebal yang diberikan oleh bhiksu dan umat Shantung, menjahitnya menjadi kashaya sebesar ukuran Tathāgata, dan mempersembahkannya sendiri kepada citra tersebut. Ribuan kanopi kecil yang dititipkan Vinaya-master Hiuen dari Pu juga kupersembahkan atas namanya. Guru Dhyana An-tao dari Ts’ao memintaku menyembah citra Bodhi, dan aku melaksanakan tugas itu atas namanya.

Lalu aku bersujud sepenuh tubuh dengan pikiran tulus dan hormat. Pertama aku memanjatkan doa untuk Tiongkok agar empat jenis anugerah Dharma tersebar luas bagi semua makhluk di kawasan Hukum (Dharmadhatu), dan aku menyatakan keinginanku untuk bersatu kembali di bawah Pohon Nāga guna bertemu Buddha Maitreya dan mengikuti ajaran sejati, serta memperoleh pengetahuan yang bebas dari kelahiran kembali.

Aku mengunjungi semua tempat suci; aku melewati rumah yang dikenal orang Tiongkok sebagai Fan-chang (di Vaisali), dan datang ke Kusinagara, selalu menjaga kesungguhan. Aku memasuki Taman Rusa (Mrgadava di Benares) dan naik Gunung Ayam Jantan (Kukkuṭapadagiri); dan tinggal di Vihara Nalanda selama sepuluh tahun (kira-kira 675–685 M).

Pada tahun pertama periode Ch’ui-kung (685), aku berpisah dengan Wu-hing di India (enam yojana di timur Nalanda). Setelah mengumpulkan kitab-kitab suci, aku memulai perjalanan pulang. Aku kembali ke Tamralipti. Sebelum sampai di sana, aku bertemu lagi dengan gerombolan perampok; dengan susah payah aku lolos dari nasib ditikam pedang, dan tetap hidup dari pagi hingga petang.

Setelah itu aku naik kapal dan melewati Ka-cha (Kedah). Teks-teks India yang kubawa jumlahnya lebih dari 500.000 śloka, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa akan menjadi seribu volume, dan dengan ini aku kini tinggal di Bhoja (Sriwijaya).

Candi Gumpung. (credits: Wiki Commons)

Secara garis besar, jarak dari negeri tengah India (Madhyamadesa) ke negeri-negeri perbatasan (Pratyantaka) lebih dari 300 yojana di timur dan barat. Perbatasan di selatan dan utara lebih dari 400 yojana. Meski aku tidak melihat semuanya, aku mengetahuinya dari penuturan orang.

Tamralipti berjarak empat puluh yojana ke selatan dari batas timur India. Ada lima atau enam biara; penduduknya makmur. Tempat ini termasuk India Timur, dan sekitar enam puluh yojana dari Mahabodhi dan Nalanda. Inilah tempat kita berlayar ketika pulang ke Tiongkok. Berlayar dari sini dua bulan ke arah tenggara, kita tiba di Ka-cha. Pada waktu itu sebuah kapal dari Bhoga biasanya telah tiba di sana, umumnya pada bulan pertama atau kedua.

Tetapi mereka yang pergi ke Pulau Sinhala (Sri Lanka) harus berlayar ke arah barat-daya. Mereka mengatakan pulau itu berjarak 700 yojana. Kita tinggal di Ka-cha (Kedah) sampai musim dingin, lalu berangkat dengan kapal ke arah selatan; dalam sebulan kita tiba di negeri Malayu, yang kini menjadi Bhoga (Sriwijaya); ada banyak negara di bawahnya. Biasanya tiba pada bulan pertama atau kedua. Kita tinggal sampai pertengahan musim panas, lalu berlayar ke utara; dalam sebulan kita tiba di Kwang-fu (Kwang-tung). Sampai di sini separuh tahun telah berlalu.

Jika kita dibantu oleh kekuatan kebajikan dari masa lampau, perjalanan akan mudah dan menyenangkan seperti berjalan di pasar, tetapi bila pengaruh karma kurang, kita sering terpapar bahaya seperti anak burung dalam sarang rebah. Demikianlah aku menjelaskan secara singkat rute dan jalan pulang, dengan harapan para bijak dapat menambah pengetahuan mereka dengan mendengar lebih banyak.

Banyak raja dan kepala suku di pulau-pulau Laut Selatan memuji dan mempercayai agama Buddha, dan hati mereka tertuju pada perbuatan baik. Di kota berkubu Bhoga (Sriwijaya) terdapat lebih dari seribu bhiksu, yang tekun belajar dan mempraktikkan kebajikan. Mereka menyelidiki dan mempelajari semua ajaran sebagaimana di negeri tengah India; aturan dan upacara tidak berbeda.

Jika seorang bhiksu Tiongkok ingin pergi ke Barat untuk mendengar ajaran dan membaca teks asli, sebaiknya ia tinggal di sini satu atau dua tahun, mempraktikkan aturan yang benar, baru kemudian menuju India Tengah.

Di muara sungai Bhoga (Sriwijaya), aku naik kapal untuk mengirim surat (melalui para pedagang) sebagai surat pengenal ke Kwang-chou (Kwang-tung), untuk bertemu teman-temanku dan meminta kertas serta tinta, yang akan dipakai menyalin sutra dalam bahasa Brahma, dan juga biaya untuk menyewa para juru tulis. Pada saat itu angin sedang baik, dan pedagang itu mengangkat layar setinggi mungkin. Tanpa berniat untuk pulang, aku akhirnya terbawa kembali. Bila aku meminta turun, mustahil dilakukan. Dari sini aku lihat bahwa pengaruh karma menentukan perjalanan kita; bukan urusan manusia untuk mengaturnya.

Pada hari kedua puluh bulan ketujuh tahun pertama periode Yung-ch’ang (689), kami tiba di Kwang-fu. Di sini aku bertemu kembali dengan para bhiksu dan umat. Di tengah perkumpulan di Kuil Chih-chih aku berkata dengan menghela napas:

“Aku pergi ke negeri Barat dengan harapan menyebarkan Hukum; namun aku kembali dan tinggal di pulau-pulau Laut Selatan. Beberapa teks masih kurang, meskipun yang kubawa dan kutinggalkan di Bhoga (Sriwijaya) berjumlah 500.000 sloka dalam Tripitaka. Dalam keadaan ini, perlu bagiku untuk pergi ke sana sekali lagi. Namun aku telah berusia lebih dari lima puluh tahun; ketika menyeberangi gelombang lagi, kuda yang melewati celah mungkin tidak bertahan, dan benteng tubuhku sulit dijaga. Jika waktu embun pagi tiba tiba-tiba, kepada siapa kitab-kitab ini akan kuserahkan?”

“Kitab Suci adalah doktrin penting. Siapa yang mampu datang bersamaku dan membawanya kembali? Untuk menerjemahkan teks itu ketika kami menerima ajaran di dalamnya, kami memerlukan seorang yang cakap.”

Majelis berkata: “Tak jauh dari sini tinggal seorang bhiksu, Cheng-ku (Saragupta), yang lama mempelajari Vinaya; sejak kecil ia bersih dan tulus. Jika engkau mendapatkan orang ini, ia akan menjadi rekan yang amat baik bagimu.”

Saat mendengar itu, aku yakin dia orang yang kucari. Aku segera mengirim surat kepadanya di kuil pegunungan, menjelaskan rencana perjalanan. Ketika ia membaca surat itu, ia segera memutuskan untuk ikut. Seperti satu serangan kecil di kota Liao-tung yang menjatuhkan keberanian tiga jenderal, atau satu bait kecil tentang Gunung Himalaya yang membangkitkan tekad mendalam seorang pertapa besar—demikian pula ia meninggalkan aliran tenang dan hutan pinus tempat ia tinggal; ia menggulung lengan di bukit Gerbang Batu, dan mengangkat jubahnya di Kuil Chih-chih. Kami merapatkan payung dan berbicara akrab; kami menghapus debu dunia dan merelakan lima anggota tubuh kami untuk agama, dan bersahabat seolah telah lama saling mengenal.

Pada suatu malam yang cerah kami membahas dengan sungguh-sungguh apa yang harus dilakukan. Cheng-ku berkata:

“Jika Kebajikan ingin bertemu Kebajikan, mereka bersatu tanpa perantara; jika waktunya tiba, tidak ada yang dapat menahannya.”

“Maka izinkan aku mengusulkan dengan tulus bahwa kita berdua menyebarkan Tripiṭaka dan membantumu menyalakan seribu lampu untuk masa depan.”

Kemudian kami pergi ke Gunung Hsia untuk berpamitan kepada kepala kuil, K’ien, dan lainnya. K’ien melihat keadaan dengan jelas dan tidak berupaya menahan kami. Ia membantu setiap persiapan, agar kami tidak kekurangan apa pun. Para bhiksu dan umat Kwang-tung juga menyediakan semua kebutuhan.

Pada hari pertama bulan kesebelas tahun itu (689), kami berangkat dengan kapal dagang. Berangkat dari Fan-yu, kami berlayar ke arah Champa dengan tujuan mencapai Bhoga (Sriwijaya) setelah perjalanan panjang, untuk menjadi tangga bagi semua makhluk atau kapal yang menyeberangkan mereka dari lautan nafsu. Sambil bersukacita melaksanakan tekad kami secepat mungkin, kami berharap tidak terjatuh di tengah perjalanan.*

(Catatan: Cheng-ku, Tao-hung, dan dua bhiksu lain mengikuti I-tsing dan belajar sutra selama tiga tahun di Bhoga. Tao-hung saat itu berusia 20 tahun, dan ketika I-tsing menulis Memoir ini, ia berusia 23.)

Aku, I-tsing, bertemu Ta-ts’in di Sribhoga (ia datang pada tahun 683). Aku memintanya pulang untuk memohon izin kekaisaran membangun kuil di Barat. Ketika ia melihat manfaatnya begitu besar, Ta-ts’in sepenuh hati setuju menyeberangi lautan luas lagi, mempertaruhkan nyawa. Pada hari kelima belas bulan kelima tahun ketiga periode T’ien-shou (692), ia naik kapal dagang untuk kembali ke Ch’ang-an. Kini aku mengirim bersamanya terjemahan baru berbagai Sutra dan Sastra dalam sepuluh jilid, Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-ch’uan (Catatan Laut Selatan) dalam empat jilid, dan Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-seng-ch’uan (Memoir Para Bhiksu Agung Pilgrim ke Barat) dalam dua jilid.*

*Dinukil dan ditranslasi dari “A Record Of The Buddhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago (AD. 671-695) By I-Tsing”, yang ditranslasi oleh J Takakusu.

avatar

Redaksi