Mencari Penyeimbangan Dalam Persoalan Lingkungan

Lingkungan & Krisis Iklim

August 14, 2023

Jon Afrizal

PASCA keruntuhan Orde Baru. Gerakan lingkungan yang sebelumnya “telah resah” melihat kondisi negeri ini, mulai bertumbuh mengangkat suara.

Satu per satu, selayak spora, mendatangi dusun demi dusun di Provinsi Jambi. Hingga saat ini, tetap ada dan terus bergerak.

Niatan awalnya, adalah sebagai penyeimbang terhadap berbagai proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Satu persatu, mari kita lihat apa itu pembangun dan dampaknya.

Secara kasat mata, dapat dikatakan bahwa program transmigrasi yang berskala pemerataan populasi penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera pun dapat terkategori ke dalam pembangunan.

Tetap, intinya, adalah membuka areal yang dulunya hutan, untuk kemudian menjadi kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan. Lalu, kebutuhan akan ekspor kayu balok nomor 1 pun merenggut pohon demi pohon di sisi tengah Pulau Sumatera ini.

Selanjutnya, areal yang telah “di-ongkak” itu, bermetamorfosa menjadi perkebunan mono kultur. Ada banyak tanaman asal Benua Afrika yang kemudian menyeruput air di dalam tanah Swarna Dwipa ini.

Atas dasar itu, maka dibangunlah pabrik. Pabrik membutuhkan infrastruktur berupa jalan dan jembatan.

Ini semua membuat roda ekonomi pun berputar. Ada banyak tenaga kerja yang dapat berkerja, meskipun, terkadang hanya digaji sebagai buruh saja.

Terciptalah Kota Jambi saat ini, sebagai contoh, dengan beberapa mall untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang terus bertambah. Kebutuhan yang tidak hanya untuk penduduk kota saja, melainkan juga penduduk di kabupaten lainnya.

Sebelum terlalu jauh, mari kita mengkaji pabrik dan dampaknya. Tentunya, pembukaan lahan, lalu cerobong yang mengeluarkan asap. Lalu sisa atau limbah hasil produksi dari pabrik.

Semuanya membutuhkan analisa. Analisa, yang seharusnya dapat mencegah lingkungan menjadi rusak. Udara yang terpapar polusi dan sungai yang tercemar.

Populasi penduduk juga menghasilkan sisa; sampah rumah tangga, dan berbagai sampah di luar rumah penduduk; perkantoran dan areal perbelanjaan.

Belum cukup? Para penyelamat lingkungan, yang biasa mengkategorikan diri sebagai Non Government Organization (NGO), harus menjadi stabilizer terhadap kondisi lingkungan saat ini. Dan, tidak semestinya menjadi booster terhadap rusaknya lingkungan beserta berbagai konflik yang menyertainya.

Seorang ahli filsafat geografi politik lingkungan, Ton Dietz, mengelompokkan gerakan ekologi itu menjadi tiga golongan. Dalam bukunya yang berjudul “Entitlements to natural resources: Countours of Political Environmental Geography” (1996), tiga kelompok itu adalah Eco Fascism, Eco Developmentalism, dan Eco Populism.

Kata -ism di dalam bahasa Inggris, secara harfiah dapat disebut sebagai “paham”. Sedangkan mereka yang menjalankan paham itu diberikan akhiran -ist. Yakni Fascist, Populist dan Developmentalist.

Sebagai sebuah paham yang memiliki orang yang menjalankannya, tentunya harus “membumikan” paham  itu di sini, di Provinsi Jambi, sebagai tempat dari “project” paham itu.

Fascism adalah paham yang dimulai dari sebuah buku kecil berjudul “Mein Kampf” karya Adolf Hitler pada era awal 1900-an di Jerman. Yang selanjutnya diadopsi oleh rekan sejawatnya di Itali, Mussolini. Gerakan ini biasa disebut Right Wing atau Sayap Kanan.

Sayap Kiri-nya atau Left Wing adalah Populism. Keduanya adalah aliran besar pada masa lalu. Yang terus berkembang menjadi berbagai aliran lanjutan.

Selanjutnya, Developmentalism, menyeruak di tengah kedua golongan itu. “Pembangunan berkelanjutan” atau sustainable development adalah kejenuhan terhadap perang antar kedua paham yang terlahir di benua Eropa ini.

Inti dari Eco Fascism adalah menjaga alam sebagaimana adanya. Mereka akan terlihat sebagai pecinta binatang dan penjaga hutan agar tetap menjadi hutan, bahkan — mungkin — untuk selamanya.

Eco Populism menciptakan revolusi sosial. Membuat bahwa alam dan lingkungan adalah untuk kesemerataan.

“Tanah Untuk Rakyat,” adalah hal biasa yang terdengar di dalam setiap konflik tenurial yang ku liput. Bahwa, diakui atau tidak, pola kapitalisasi perkebunan dan pabrik telah membuat banyak orang yang “tersingkir”.

Lalu, apakah mencari lahan yang baru adalah jawabannya? Apakah pola “pembangunan berkelanjutan” juga adalah jawaban?

“Lain Padang, Lain Belalang” demikian bunyi pepatah lama, yang akan dilanjutkan dengan “Lain Lubuk, Lain Ikannya”.

Sejauh ini, ketiga paham itu tentunya belum sampai kepada jawaban dari persoalan-persoalan lingkungan yang kita hadapi di sini. Juga, belum memberikan penjelasan atas hasrat akan “pembangunan” dan “lingkungan” yang berkelanjutan, yang harus seiring sejalan.*

avatar

Redaksi