Kita, Media, Dan Cara Baru Untuk Berkabar
Resonansi
July 30, 2023
Jon Afrizal
(: screenrant)
COGITATIONIS poenam nemo patitur. (: tidak ada seorang pun dapat dihukum atas apa yang dipikirkannya).
Kutipan bahasa latin di atas adalah jaminan terhadap kebebasan berpikir. Sebab pikiran (: otak) hanyalah milik perseorangan, dan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Kecuali, tentunya, bagi mereka yang memiliki ilmu telepati, seperti di film-film tentang masa depan.
Berawal dari kebebasan berpikir itu, muncullah kebebasan berekspresi. Yakni mengungkapkan apa yang ada di pikiran, melalui tindakan. Seperti, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yang diatur pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Jurnalis, adalah, seorang yang bertugas untuk mengungkapkan pendapat orang lain, terkait kejadian dan peristiwa di suatu tempat. Tugas seorang jurnalis, adalah untuk kepentingan publik, dan bukan untuk dirinya sendiri.
Maka ia akan menuangkan pendapat itu dalam bentuk tulisan, suara, foto, video, dan esai yang telah diatur sesuai dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Tentu saja, karena jurnalis berada di wilayah hukum negara Indonesia, dan harus mengikuti undang-undang dan aturan yang berlaku di sini.
Mari gunakan kata yang lebih spesifik : kemerdekaan pers, yang telah diatur pada pasal 1 dan 2 di Undang-Undang nomor 40 tahun 1999.
Mengutip Reporters Without Borders, ratusan media independen telah muncul di Indonesia sejak reformasi di tahun 1998. Ini menjadikan Indonesia sebagai pelopor media di Asia Tenggara. Tetapi media di Indonesia berjuang untuk memenuhi kebutuhan 275 juta penduduk Indonesia yang tersebar di lebih dari 12.000 pulau dan menggunakan 800 bahasa daerah. Sehingga, ukuran dan keragaman Indonesia yang sangat besar dan luas membuat kebebasan pers harus diperjuangkan setiap hari.
Indonesia telah memiliki lembaga yang mengatur kegiatan jurnalistik, yakni Dewan Pers. Yang terdiri dari banyak konstituen, yang anggotanya adalah jurnalis dan/atau wartawan.
Kembali ke Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pasal 8 menegaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud dengan tugas-tugas jurnalistik, tentunya, adalah; sejak dari merancang liputan, turun ke lokasi untuk liputan, melakukan editing dan menerbitkan suatu liputan dalam bentuk tulisan, suara, foto atau video.
Saat ini, pers berkembang mengikuti jaman. Jika dulu, kita menunggu koran pagi tiba di rumah, dan membacanya sambil sarapan pagi, maka kini semuanya telah berbeda, sesuai, ehm, tuntutan jaman.
Ini adalah jamannya new media. Ketika internet, network, dan software mendedikasikan diri untuk komunikasi antar umat manusia di seluruh dunia. Mari berkabar dan berbagi informasi.
Sejauh mana kita semua memahami kegunaan internet, yang, tanpa batas waktu dan tempat? Selain batasan kita semua terhadap teknologi?
Maka persoalan jurnalistik di Indonesia saat ini tidaklah semudah seperti waktu kita dalam menyelesaikan membaca satu berita saja. Kompleksitas antara cara kerja dan upah, sejujurnya, tidak dapat disederhanakan hanya dengan satu tulisan saja.
Kondisi serius di lapangan, disadur dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdata sebanyak 11 kekerasan fisik dan delapan kekerasan digital pada tahun 2023 ini. Jumlah yang belum beranjak jauh dari tahun 2022, yaitu 16 kekerasan fisik dan 15 kekerasan digital.
Internet of Things (IoT) telah membuat semuanya begitu cepat berubah. Termasuk cara kerja para jurnalis di lapangan. Hal-hal yang baru atau yang terbarukan (: news) pun harus secepatnya dilaporkan : untuk kepentingan publik.
Tetapi, seperti yang dinyatakan Reporters Without Borders, bahwa keberagaman di Indonesia, yang ditandai oleh 800 bahasa daerah, adalah penterjemahan dari pola berpikir dan sikap yang berbeda dari masing-masing daerah. Semua yang patut untuk dihargai dan dikedepankan.
Pola-pola kultural, yang labur dalam konteks digitalisasi. Ketika internet menyatukan berbagai kebutuhan terhadap kabar, maka tidak ada lagi batasan waktu dan tempat. Sebab internet hadir 24 jam setiap hari, tergantung sinyal dan jaringan.
Dewan Pers sendiri telah menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Siber pada tahun 2012 lalu. Begitu juga dengan AJI yang telah mengatur tentang Kode Perilaku. Sehingga, seorang jurnalis adalah tetap jurnalis meskipun ia berada di media sosial saat memposting karyanya yang berasal dari media tempat ia bekerja, yang disesuaikan dengan jamannya, yang bukan lagi kertas reces. Pun termasuk cara bersikap, mengemukakan pendapat; sebagai jurnalis.
Akurasi, editing dan check and recheck, haruslah bertumpu kepada kedaulatan informasi yang mengedepankan keseimbangan dan non diskriminasi. Seperti yang ada pada draft usulan Rpres terkait Media Sustainability pada tahun 2023 ini.
Perubahan jaman dan teknologi, tentu tidak membuat kabur kebenaran. Meskipun secara fakta dapat saja kabur. Sebab apapun yang terbentang adalah fakta, tetapi belum tentu adalah kebenaran.
Tugas jurnalis, di sini, saat ini, akan lebih berat. Seiring cara kerja dan upah yang jarang mau berkompromi.
Juga memberikan pemahaman banyak orang, di sini, tentang informasi yang berkualitas, yang dirangkum dalam satu kata : jurnalistik.*