“Durian Batakuk Rajo”, Suku Kubu, Dan Saribanilai
Resonansi
April 28, 2025
Jon Afrizal

Peta Pagarruyung, Sumatra Weskust. (credits: KITLV)
“DARI Ujung Jabung sampai Durian Batakuk Rajo, Dari Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang.” Itulah batas wilayah Kesultanan Djambi, berdasarkan tanda-tanda alam.
Ujung Jabung adalah wilayah tepi pantai Selat Berhala. Durian Takuk Rajo berada di Tanjung Simalidu Tebo, Sialang Belantak Besi adalah Bukit Sitinjau Laut Kerinci, dan Bukit Tambun Tulang adalah Bukit Tiga Singkut.
Aulia Tasman gelar Depati Muaro Langkap mengaitkannya pada mitologi Minangkabau, yakni “Tambo Alam Minangkabau” yang ditulis oleh Datoek Toeah. Terutama tentang keberadaan Suku Kubu di Provinsi Jambi.
Menurutnya, pada Tambo terceritakan tentang perginya Datuk Ketamanggungan.
Kepergiannya terjadi karena ia merasa tidak cocok dengan Adityawarman, sebagia raja. Sebab, kehadiran Adityawarman di tengah masyarakat Minangkabau kala itu, tidak disetujui oleh Datuk Ketamanggungan.
Walaupun, sebenarnya, Datuk Ketamanggungan telah diberikan tugas penting, di bawah raja Adityawarman.
Pada suatu malam, tanpa seorang pun yang mengetahui, pergilah Datuk Ketamanggungan bersama isteri dan anak-anak. Dan juga pengiringnya. Mereka keluar dari pusat kerajaan Minangkabau.
Beberapa hari setelah kepergiannya, Datuk Suri Dirajo mengisi kedudukannya.
Rombongan ini terus berjalan ke arah selatan. Tak berapa lama setelah itu, sampailah mereka di perbatasan antara Pagarruyung dan Melayu Jambi.
Mereka pun beristirahat di bawah sebatang pohon besar dan tinggi. Pohon itu adalah pohon durian (Durio zibethinus). Karena hari telah petang, mereka menginap malam itu di bawah kerindangan pohon durian.
Pada pagi harinya, Datuk Ketamanggungan berkata kepada pengiringnya.
“Pulanglah kalian, kembali ke negeri tempat kalian berasal.”
Sebab, perjalanan selanjutnya, hanya ia, istrinya dan anak-anak. Mereka akan meneruskan perjalanan ke Palembang.
Lalu, Datuk Ketamanggungan memberi tanda di batang durian itu. Tanda, yang seperti menetak dengan sebilah senjata tajam pada kulit pohon.
Untuk selanjutnya, wilayah itu disebut dengan “Durian Batakuk Rajo”. Yakni, yang dikenal sebagai batas wilayah Minangkabau di sebelah selatan, yang berbatasan dengan Jambi.
Atau, yang selanjutnya disebut dengan: Tanjung Simalidu, yang berada di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

Angota Suku Kubu, Ekspedisi Sumatra tahun 1877-1879. (credits: Tropen Museum)
Tetapi tidak semua pengiringnya yang kembali pulang. Sebagian dari mereka meneruskan perjalanan bersama-sama dengan datuk itu.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai. Isteri Datuk Ketamanggungan mendadak sakit, dan meninggal dunia di daerah sana. Dan, sang isteri dan dimakamkan di sana.
Adapun tempat itu, adalah yang kini dengan dengan nama “Muara Rupit”. Letaknya adalah di Provinsi Sumatera Selatan, di selatan Kota Sarolangun, Provinsi Jambi.
Lalu, Datuk Ketamanggungan kembali meneruskan perjalanannya. Hingga sampailah ia di sebuah bukit. Bukit itu bernama Bukti Siguntang.
Ia pun wafat di sana, dan dimakamkan di sana. Adapun kuburnya, biasa disebut dengan “Keramat Siguntang”.
Selepas kepergian Datuk Ketamanggungan, seluruh pengiring yang masih ada, pun kembali ke Minangkabau. Ketika sampai di wilayah “Durian Batakuk Raja”, maka mereka pun berhenti untuk bermufakat.
Akhirnya, sebagian anggota kembali ke Minangkabau. Rombongan yang pulang ini, diketuai oleh dua orang debalang. Satu orang bersuku Jambak, dan seorang lainnya bersuku Pisang.
Tetapi sebagian yang lain tidak mau kembali pulang. Beberapa dintara mereka, adalah bersuku Piliang dan Caniago.
Mereka masuk ke dalam hutan rimba dan hidup sebagai pengembara. Dan, mereka hidup berpindah-pindah (nomaden) di dalam hutan di wilayah Melayu Jambi.
Tetapi, mereka tetap menggunakan nama sukunya. Pun juga dengan adat istiadat Minangkabau, masih tetap mereka gunakan, meskipun hanya sedkit.
“Negeri tak dapat dialih, suku tak dapat dianjak.” Demikian kira-kira.
Dikabarkan kemudian, merekalah cikal bakal Suku Kubu, yang hidup mengembara dalam hutan-hutan di wilayah Jambi.
Selepas kepergian Datuk Ketamanggungan dari pusat kerajaan Minangkabau, terjadi kekacauan. Rakyat menjadi bingung, karena Datuk menghilang.

Rumah di Surulangun, Muara Rupit, Ekspedisi Sumatra tahun 1877-1879. (credits: Tropen Museum)
Lalu, Datuk Suri Dirajo dan Datuk Parpatih nan Sabatang mencari informasi kemana perginya Datuk Ketamanggungan. Dan mengerahkan rombongan untuk mencarinya, diketuai oleh Datuk Saribijaya.
“Luluh diselami, hanyut dipintasi, hilang dicari”. Begitulah asalinya.
Maka, setelah lama berjalan, sekitar satu bulan lamanya, sampailah mereka di bawah pohon durian yang ditakuk raja itu. Di sanalah baru mereka mendapat kabar bahwa Datuk Ketamanggungan dan rombongan pergi ke arah selatan, dan menuju ke Palembang.
Mereka pun terus berjalan, hingga sampailah ke tepi sebuah sungai yang bernama Sungai Bawang.
Ketika mereka bertanya kepada penduduk dusun, orang dusun pun menganjurkan mereka untuk pergi bertanya kepada raja yang bertempat tinggal di Surulangun. Yakni desa yang terletak diantara Sarolangun dengan Muaro Rupit.
Tetapi, setelah bertanya, jejak raja yang hilang tidak juga ditemukan. Mereka pun kembali ke Sungai Bawang, dan menginap bermalam di sebuah pondok milik seorang petani di tepian Sungai Bawang.
Di sana, Datuk Saribijaya meminta pengiring untuk kembali ke Minangkabau, dan mengabarkan bahwa Datuk Ketamanggungan tidak ditemukan.
Dengan dalih akan terus mencari raja yang hilang hingga bertemu, Datuk Saribijaya Beliau pun tidak kembali, dan akan tetap di Sungai Bawang.
Tetapi, itu hanya alasan saja. Datuk Saribijaya telah terpikat hatinya dengan anak gadis dari pemilik pondok itu, rupanya. Nama gadis itu adalah: Saribanilai.
Setelah kepergian pengiringnya, Datuk Saribijawa pun menikah dengan Saribanilai.
Setelah memilki keturunan, mereka pun pindah dari Sungai Bawang, menuju ke tempat baru, sebagai kampung mereka. Kampung itu diberi nama: “Tinting Dalam”.
Kampung ini terletak yak jauh dari Surulangun, Rupit.
Datuk Saribijaya pun berketurunan beranak pinak di sana. Ia pun menjadi penduduk di sana.
Dan, sepertinya, itu telah lupa dengan tugasnya untuk mencari Datuk Ketamanggungan. Terlebih, untuk pulang kembali ke Minangkabau.*

