Steve Biko; “Black Consciousness” Melawan Apartheid

Hak Asasi Manusia

January 18, 2025

Sena Aji Kesuma

Tanda era Apartheid, bagian dari pameran di Museum Apartheid, Johannesburg, Afrika Selatan. (credits: Britannica)

BERAWAL dari kolonisasi Eropa skala besar di Afrika Selatan, dengan didirikannya pos perdagangan oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda di Tanjung Harapan pada tahun 1652, yang akhirnya meluas hingga Koloni Tanjung Belanda. Maka, terjadiag diskriminasi rasial dan ketidaksetaraan terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan.

Perusahaan-perusahaan Belanda itu memulai Perang Khoikhoi. Perang ini berakibat tergusurnya penduduk Khoikhoi (: Hottentots), dan menggantikan penduduk setempat dengan pertanian yang digarap oleh pemukim kulit putih.

Pemerintah Kolonial Inggris melakukan Proklamasi Hottentot pada tahun 1809. Proklamasi itu menetapkan bahwa jika seorang Khoikhoi pindah, mereka akan memerlukan izin dari lisensi atau pejabat lokal.

Aturan ini, didukung dengan Ordonansi nomor 49 tahun 1828, yang isinya, menetapkan bahwa calon imigran kulit hitam hanya diberikan izin masuk hanya untuk mencari pekerjaan. Izin masuk ini harus dikeluarkan untuk orang kulit berwarna dan Khoikhoi. Tetapi tidak untuk orang Afrika lainnya, yang masih dipaksa untuk membawa izin masuk.

Belum cukup, lalu, dan perusahaan dan pemukim kulit putih pun mulai mengimpor budak kulit hitam dari seluruh koloni kerajaan Belanda.

Diskriminasi ini dikenal luas dengan sebutan: apartheid, yang digunakan pertama kali tahun 1929. DAlam bahasa Afrikaans diartikan sebagai “keterpisahan” atau “keadaan terpisah”.

Setelah Partai Nasional memenangkan pemilihan tahun 1948, Apartheid menjadi proyek sosial pemerintah berdasarkan serangkaian undang-undang yang melegalkannya.

Apartheid, mengutip AUHRM Project, terjadi sejak tahun 1948 hingga 1994 di Afrika Selatan. Segregasi rasial di bawah pemerintahan Afrika Selatan yang semuanya berkulit putih ini mendikte bahwa warga Afrika Selatan non-kulit putih yang merupakan penduduk mayoritas, diharuskan untuk tinggal di daerah yang terpisah dari warga kulit putih dan menggunakan fasilitas umum yang terpisah, dan kontak antara kedua kelompok akan dibatasi.

Kelompok ras yang berbeda dipisahkan secara fisik menurut lokasi, fasilitas umum, dan kehidupan sosial mereka.

Sehingga, menjadi ilegal bagi warga negara Afrika Selatan untuk menjalani hubungan antar ras. Warga negara diklasifikasikan ke dalam satu dari empat kelompok ras; kulit hitam, India, berwarna (non-kulit putih) dan kulit putih.

Lokasi diklasifikasikan menurut ras, artinya ada tempat-tempat di mana orang kulit berwarna tidak diizinkan seperti pantai atau toilet umum.

Jutaan warga kulit hitam secara paksa dipindahkan dari rumah mereka, dibatasi dan dikurung di tanah air suku sesuai dengan etnis mereka. Sementara warga kulit putih tetap tinggal dan menduduki kota-kota.

Arsitektur sosial pun semakin intensif dengan penggunaan bahasa Afrikaans sebagai bahasa resmi untuk bekerja, berkomunikasi, dan belajar.

Warga kulit hitam tidak diizinkan untuk memilih atau terlibat dalam politik dan direduksi menjadi pekerja untuk warga kulit putih.

Namun, perlawanan internal tumbuh di antara kelompok-kelompok ini. Kelompok-kelompok politik didirikan dengan tujuan melawan otoritarianisme kulit putih dan pemerintahan yang kejam.

Kondisi ini disambut dengan penindasan bersenjata dari pemerintah. Serangkaian mobilisasi massa dan kampanye dilakukan dan selama waktu itu, pemerintah menangkap dan mengadili banyak aktivis dan melarang semua organisasi politik.

Pada tahun 1980-an, dengan meningkatnya tekanan internal dan eksternal agar pemerintah mencela apartheid dan membuka jalan bagi Afrika Selatan yang demokratis dan non-rasial. Tetapi, pemerintah menjadi lebih brutal hingga tidak punya pilihan selain menyerah pada tekanan setelah bertahun-tahun terisolasi dari komunitas internasional.

Patung Steve Biko berdiri kokoh di depan balaikota East London, Eastern Cape, Afrika Selatan. (credits: lekkeslaap)

Pada tahun 1994, setelah tahanan politik dibebaskan dari penjara dan kebebasan berserikat ditetapkan, Afrika Selatan mengawali demokrasi konstitusional berdasarkan non-rasialisme.

Adalah Steve Biko, satu dari pejuang anti apartheid. Lahir dengan nama Bantu Stephen Biko; pada 18 Desember 1946, ia adalah martir bagi gerakan anti rasial di Afrika Selatan.

Sebagai martir, tentu saja Steve Biko tidak dapat menikmati alam kebebasan. Ia meninggal pada 12 September 1977.

Mengutip thoughtco, Biko ditahan dan diinterogasi empat kali antara Agustus 1975 hingga September 1977. Penahanan ini berdasarkan undang-undang antiterorisme era Apartheid.

Pada tanggal 21 Agustus 1977, Biko ditamgkap oleh polisi keamanan Eastern Cape dan ditahan di Port Elizabeth. Dari sel polisi Walmer, ia dibawa untuk diinterogasi di markas besar polisi keamanan.

Mengutip laporan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan”, pada tanggal 7 September 1977; “Biko mengalami cedera kepala saat diinterogasi, setelah itu ia bertindak aneh dan tidak kooperatif. Para dokter yang memeriksanya awalnya mengabaikan tanda-tanda cedera neurologis yang nyata.

Biko diinterogasi dalam kondisi tanpa pakaian, terbaring terbujur di atas tikar, dan tangan diborgol ke terali besi.

Pada tanggal 11 September, Biko berada dalam kondisi setengah sadar, dan dokter polisi menyarankan untuk dipindahkan ke rumah sakit.

Biko dibawa ke rumah sakit dnegan menempuh perjalanan sejauh hampir 750 mil ke Pretoria selama 12 jam. Ia, masih terbaring tanapa pakaian di bagian belakang Land Rover.

Tetapi, beberapa jam kemudian, pada tanggal 12 September, Biko sendirian dan masih tanapa pakaian, telah terbaring di lantai sel di Penjara Pusat Pretoria.

Biko meninggal karena: kerusakan otak.

Menteri Kehakiman Afrika Selatan, Kruger awalnya berkisah bahwa Biko meninggal karena mogok makan. Kruger mengatakan bahwa penahanannya “membuatnya tidak berdaya.”

Witch Hunt karya Norman Catherine, 1988. (credits: NLA)

Namun cerita tentang mogok makan itu dibatalkan, dan tidak dilanjutkan lagi. Karena pemerintah Apartheid Afrika Selatan mendapat tekanan dari media lokal dan internasional, terutama dari Donald Woods, editor East London Daily Dispatch.

Dalam pemeriksaan lanjutan, terungkap bahwa Biko meninggal karena kerusakan otak. Tetapi hakim gagal menemukan siapa yang bertanggungjawab.

Hakim pun memutuskan bahwa Biko meninggal karena luka-luka yang dideritanya selama perkelahian dengan polisi keamanan saat dalam tahanan.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menanggapinya dengan memberlakukan embargo senjata terhadap Afrika Selatan. Keluarga Biko menggugat negara atas ganti rugi pada tahun 1979, dan menyelesaikannya di luar pengadilan dengan ganti rugi sebesar USD 25.000.

Saat kuliah Fakultas Kedokteran Natal University, Biko terlibat dengan National Union of South African Students (NUSOAS). Namun perkumpulan yang didominasi oleh sekutu liberal kulit putih ini gagal mewakili kebutuhan mahasiswa kulit hitam.

Tidak puas, akhirnya Biko mengundurkan diri pada tahun 1969. Ia mendirikan South African Students’ Organisation (SASO).  Ia terlibat dalam penyediaan bantuan hukum dan klinik medis, serta membantu mengembangkan industri rumahan untuk komunitas kulit hitam yang kurang beruntung.

Black Consciousness adalah sikap pikiran dan cara hidup, panggilan paling positif yang berasal dari dunia kulit hitam untuk waktu yang lama. Esensinya adalah kesadaran oleh orang kulit hitam akan perlunya bersatu dengan saudara-saudaranya untuk memperjuangkan penyebab penindasan mereka, kulit hitam mereka, dan untuk beroperasi sebagai sebuah kelompok untuk melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka pada perbudakan abadi.”

Demikian yang ditulis Biko dalam bukunya berjudul “I Write What I Like”.

Buku ini yang berisi tulisan-tulisan Biko dari tahun 1969. Dan pertama kali diterbitkan setelah kematiannya pada tahun 1978.

Biko pertama kali bertemu Donald Woods, editor East London Daily Dispatch, di provinsi Eastern Cape di Afrika Selatan sekitar tahun 1973. Sewaktu itu pemerintah melarang aktivitas Biko dan membatasi geraknya.

Woods, sebagai bagian golongan kecil kulit putih liberal, awalnya tidak begitu peduli dengan gerakan Black Consciousness. Bagi Woods, gerakan ini tidak lebih dari sekadar apartheid terbalik. Karena menganjurkan bahwa “Orang Kulit Hitam harus menempuh jalan mereka sendiri.”

Dan, pada dasarnya, memisahkan diri tidak hanya dari orang kulit putih, tetapi bahkan dari sekutu liberal kulit putih di Afrika Selatan yang bekerja untuk mendukung tujuan mereka.

Namun, bagi Woods, Biko berbeda. Dari Biko, Woods akhirnya memahami dan percaya bahwa orang kulit hitam perlu merangkul identitas mereka sendiri. Sehingga muncullah istilah Black Consciousness, dan kemudian berlanjut menjadi “menata meja kita sendiri”.

Menurut Biko, kulit putih dapat, secara kiasan, bergabung dengan mereka di meja, setelah orang kulit hitam Afrika Selatan membangun rasa dan identitas mereka sendiri.

Woods akhirnya menyadari bahwa Black Consciousness “mengungkapkan kebanggaan kelompok dan tekad semua orang kulit hitam untuk bangkit dan mencapai jati diri yang diinginkan”.

Dan, bahwa “kelompok kulit hitam menjadi lebih sadar akan diri mereka sendiri. Mereka mulai membersihkan pikiran mereka dari gagasan-gagasan yang memenjarakan yang merupakan warisan dari kendali sikap mereka oleh orang kulit putih.”

Woods kemudian memperjuangkan kepentingan pemikiran Biko, dan menjadi sahabatnya.

Dukungan Woods itu, juga dapat dilihat dalam bukunya berjudul “Biko”. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1978 itu menjelaskan tentang  sikap dan cara berpikir Biko. Terutama tentang Black Consciousness.

The New York Times mencatat bahwa saat Woods meninggal pada tahun 2001. Saat itu, ia sedang mengasingkan diri.

Pengasingan Woods adalah akibat dari sikap tidak toleran pemerintah terhadap persahabatan dan dukungannya terhadap cita-cita anti-apartheid.*

avatar

Redaksi