Mengakui Teori Konspirasi?

Inovasi

November 13, 2024

Jon Afrizal

Presiden Amerika John F Kennedy sedang berada di limousine di Main Street, Dallas, Texas, beberapa saat sebelum pembunuhannya, pada tanggal 22 November 1963. Pembunuhannya kerap dikaitkan dengan Teori Konspirasi. (credits: wiki commons)

SATU sosok populer yang sering dikaitkan publik dengan Teori Konspirasi, adalah, Donald Trump. Banyak dari komentar dan bahkan kebijakannya, yang secara implisit, kadang, mengakui bahwa Teori Konspirasi adalah benar adanya.

“Selain memenangkan Electoral College dengan telak, saya memenangkan suara rakyat, jika anda mengurangi jutaan orang yang memilih secara ilegal,” kata Trump dalam sebuah posting Twitter (X), pada tanggal 27 November 2016.

Benih-benih Teori Konspirasi pasca-pemilu 2020, mengutip The Week, telah ditanam dalam siklus pemilu 2016. Yakni ketika Trump menolak selama kampanye untuk mengatakan bahwa ia akan menerima hasilnya jika calon Demokrat Hillary Clinton adalah pemenangnya.

Setelah kemenangannya yang tak terduga dan menantang jajak pendapat di Electoral College, Trump pun kemudian mengklaim secara keliru bahwa ia juga akan memenangkan suara rakyat jika jutaan imigran tidak berdokumen tidak memilih Clinton.

Lalu, berlanjut ke masa menjelang akhir pemilihan presiden AS 2024. Dimana, jajak pendapat menunjukkan bahwa hasilnya mungkin akan menjadi salah satu yang paling ketat dalam sejarah Amerika.

Ini semua dapat menjadi berita buruk bagi “sistem politik yang sehat”. Dikarenakan ketidakpercayaan terhadap integritas pemilu Amerika lebih tinggi daripada sebelumnya, sejak para peneliti mulai mengukurnya.

Sebagian besar ketidakpercayaan itu disebabkan oleh serangkaian klaim palsu tentang pemilu 2020 yang dibuat oleh mantan Presiden Donald Trump, calon dari Partai Republik yang ikut pada pemilu 2024 ini.

Survei menunjukkan bahwa berkat upaya ini, mayoritas Partai Republik sekarang percaya bahwa pemilu 2020 telah dicuri dari Trump. Sehingga meningkatkan risiko kekacauan pasca pemilu jika memang ada akhir yang dramatis untuk pemilu tahun 2024 ini.

Trump jauh melampaui klaim itu pada tahun 2020. Satu bagian dari konspirasi pemilihan Trump yang tidak berdasar berpusat pada penipuan mesin pemungutan suara.

Menurut teori ini, yang dipromosikan oleh Trump dan sekutunya di media konservatif, mesin secara sistematis mengalihkan 2,7 juta suara dari Trump ke calon Demokrat, Joe Biden untuk mengubah hasilnya.

Fox News, terlihat mendukung Teori Konspirasi. Bahwa peralatan pemungutan suara dicurangi untuk Biden, menyelesaikan gugatan pencemaran nama baik yang diajukan oleh Dominion Voting Systems, salah satu target utama spekulasi ini, sebesar USD 787,5 juta.

Trump mengklaim bahwa petugas pemilu di tempat-tempat seperti Detroit dan Philadelphia telah “membuang kotak-kotak suara Biden”, dan bahwa Demokrat “memanen” surat suara lewat pos dan surat suara tidak hadir yang tidak sah.

Trump juga mengatakan bahwa penghitungan suara lewat pos yang sulit di negara-negara bagian seperti Michigan dan Pennsylvania, yang akhirnya membalikkan keunggulan Trump dalam suara yang diberikan pada Election Day, adalah penipuan.

“Tadi malam saya memimpin, sering kali dengan solid, di banyak Negara Bagian utama, dalam hampir semua kasus dijalankan dan dikendalikan oleh Demokrat. Kemudian, satu per satu, mereka mulai menghilang secara ajaib saat surat suara yang mengejutkan dihitung,” kata Trump dalam sebuah tweet pada 4 November.

Donald Trump, yang komentar-komentarnya kerap menyiratkan keberadaaan Teori Konspirasi. (credits: Getty Images)

Sejarawan Amerika, Richard Hofstadter dalam bukunya The Paranoid Style in American Politics telah mengeksplorasi munculnya teori konspirasi dengan mengusulkan pandangan konsensus tentang demokrasi. Kelompok-kelompok yang bersaing akan mewakili kepentingan individu, tetapi mereka akan melakukannya dalam sistem politik yang disetujui semua orang akan membingkai batas-batas konflik.

Bagi Hofstadter, mengutip Britannica, mereka yang merasa tidak mampu menyalurkan kepentingan politik mereka ke dalam kelompok-kelompok perwakilan akan menjadi terasing dari sistem ini. Orang-orang ini tidak akan menerima pernyataan partai-partai oposisi sebagai representasi ketidaksetujuan yang adil.

Sebaliknya, perbedaan pandangan akan dipandang dengan kecurigaan yang mendalam. Orang-orang yang terasing seperti itu akan mengembangkan rasa takut paranoid terhadap konspirasi, sehingga membuat mereka rentan terhadap kepemimpinan yang karismatik daripada kepemimpinan yang praktis dan rasional.

Ini, tentu, akan merusak demokrasi dan mengarah pada pemerintahan totaliter.

Teori Konspirasi yang dihasilkan ini berasal dari rasa ancaman kolektif terhadap kelompok, budaya, cara hidup seseorang, dan sebagainya. Malangnya, sehingga, para ekstremis di kedua ujung spektrum politik berkemungkinan “dapat” mengembangkan gaya paranoid.

Di pihak kanan, McCarthyisme mempromosikan gagasan paranoid tentang infiltrasi komunis ke lembaga-lembaga Amerika. Seperti QAnon yang populer di kalangan pendukung fanatik Presiden AS.

Donald Trump (2017 – 2021), menuduh bahwa tokoh-tokoh Demokrat terkemuka merupakan bagian dari kelompok rahasia internasional pemuja setan, kanibal, dan pembunuh anak. Dan teori penggantian mengklaim bahwa tokoh-tokoh Demokrat terkemuka dan elit lainnya berusaha mengganti populasi kulit putih Amerika dengan imigran non kulit putih.

Sementara di pihak kiri terdapat keyakinan bahwa serangan teroris pada 11 September 2001 merupakan “pekerjaan orang dalam” yang dilakukan oleh pemerintah dan kepentingan perusahaan.

“Mereka (imigran) tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka bahkan tidak tahu negara mana yang mereka tinggali. Dan orang-orang itu mencoba membuat mereka memilih, dan itulah sebabnya mereka mengizinkan mereka masuk ke negara kita,” kata Trump dalam sebuah debat pemilu, mengutip NPR.

Tokoh berpengaruh di media sosial dan kelompok yang bersekutu dengan Trump berupaya agar isu ini tetap hangat, dengan sering kali membesar-besarkan cerita yang sumbernya samar yang mengklaim orang-orang “non-warga negara” didorong untuk memilih tetapi tidak disertai bukti konkret.

NPR melaporkan bahwa teori penggantian telah merambah lebih jauh ke dalam masyarakat Amerika dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah jajak pendapat tahun 2022, yang dilakukan oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research, menemukan bahwa satu dari tiga orang dewasa Amerika kini mempercayai salah satu versi teori itu.

Cynthia Miller-Idriss, profesor dari Universitas Amerika dan direktur pendiri Polarization and Extremism Research and Innovation Lab (PERIL), mengatakan narasi tak berdasar telah menjadi hal yang lumrah dalam retorika politik Partai Republik.

“Teori penggantian cocok dengan serangkaian ketakutan yang telah dipicu oleh pejabat terpilih GOP dan outlet media sayap kanan seperti Fox News, seputar tema bahwa elite politik, komplotan rahasia pialang kekuasaan, atau bahkan imigran gelap mencoba merampok orang Amerika dari sesuatu yang mereka sayangi,” katanya.

Teori konspirasi adalah sebuah penjelasan untuk sebuah peristiwa atau situasi yang menyatakan keberadaan sebuah konspirasi, umumnya oleh kelompok-kelompok yang kuat dan seringkali bermotivasi politik. Ini dilakukan justru ketika penjelasan-penjelasan lain lebih masuk akal.  

Istilah ini umumnya memiliki konotasi negatif, yang menyiratkan bahwa daya tarik sebuah teori konspirasi didasarkan pada prasangka, keyakinan emosional, atau bukti-bukti yang tidak mencukupi. 

Sebuah teori konspirasi berbeda dari konspirasi. Dimana teori ini merujuk pada sebuah hipotesis konspirasi dengan karakteristik-karakteristik tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada pertentangan terhadap konsensus arus utama di antara mereka yang memenuhi syarat untuk mengevaluasi keakuratannya, seperti ilmuwan atau sejarawan.

Teori Konspirasi cenderung konsisten secara internal dan berkorelasi satu sama lain. Teori- teori ini umumnya dirancang untuk melawan pemalsuan baik melalui bukti-bukti yang menentangnya atau kurangnya bukti untuk teori itu.

Teori-teori ini diperkuat oleh penalaran melingkar. Baik bukti-bukti yang menentang konspirasi maupun ketiadaan bukti untuk konspirasi tersebut disalahartikan sebagai bukti kebenarannya.

“Penafsiran terhadap teori konspirasi bergantung pada gagasan bahwa, semakin kuat bukti-bukti yang menentang konspirasi, semakin besar keinginan para konspirator untuk membuat orang-orang mempercayai versi mereka tentang kejadian-kejadian,” kata Stephan Lewandowsky, psilolog Australia.  

Akibatnya, katanya, konspirasi menjadi masalah keyakinan, ketimbang sesuatu yang dapat dibuktikan atau disangkal.

Penelitian telah menghubungkan kepercayaan pada Teori Konspirasi dengan ketidakpercayaan terhadap otoritas dan sinisme politik. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ide konspirasi dan kepercayaan pada teori konspirasi, mungkin berbahaya secara psikologis atau patologis.

Kepercayaan semacam ini berkorelasi dengan proyeksi psikologis, paranoia, dan Machiavellianisme.*

avatar

Redaksi