Indonesia Dalam Diglosia

Daulat

June 5, 2025

Jon Afrizal

Suasana belajar di Mulo, Yogyakarta tahun 1938. (credits: KITLV)

MASYARAKAT diIndonesia, sebelum Bahasa Melayu menjadi lingua franca, pernah menerapkan diglosia. Dimana bahasa memiliki tingkatan-tingkatan dalam penggunaannya.

Charles A Ferguson dalam bukunya berjudul “Diglossia” menyatakan bahwa diglosia adalah situasi diamna penggunaan bahasa relatif stabil, selain dialek utama bahasa yang mungkin termasuk standar standar atau regional, ada varietas yang sangat berbeda, sangat dikodifikasikan seringkali lebih kompleks secara gramatikal, sebagai cara dari badan literatur tertulis yang besar dan dihormati, baik dari periode sebelumnya atau dalam komunitas bicara lain, yang sebagian besar dipelajari oleh pendidikan formal dan digunakan untuk sebagian besar tujuan lisan yang ditulis dan formal.

Sehingga, tentu saja, bahasa dalam penggunanan sehari-hari emmiliki tingkatan-tingkatan. Sebab, diglosia terjadi ketika terdapat dua ragam bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat.

Kees Groeneboer dalam buku “Weg tot het Westen” mengatakan bahwa situasi bahasa di Hindia Belanda (: Indonesia) pada abad ke-20 dapat digambarkan sebagai situasi “diglosia tertanam tiga kali”.

Yakni; penggunaan Belanda Tinggi ke-1, Bahasa daerah (formal) Tinggi ke-2, Melayu (formal) Tengah ke-1, India-Belanda Tengah ke-2, Lapisan Bahasa Daerah ke-1, dan Melayu Pasar Lapisan ke-2.

Bahasa Belanda, tentunya, mendapatkan prestise tertinggi dari semua Bahasa. Tetapi, segera diikuti oleh bahasa daerah formal, yang juga disebut sebagai “bahasa budaya”. Contohnya, adalah; Bahasa Jawa Tinggi.

Lalu, Bahasa Tengah adalah bahasa Melayu formal. Sebab, digunakan dalam pendidikan atau dalam publikasi Komite Sastra Populer.

Sedangkan Bahasa daerah sehari-hari, seperti bahasa Melayu Pasar, tidak terkodifikasi Bahasa, dan karena itu berada pada prestise terendah.

Suasana pasar era Hindia Belanda. (credits: KITLV)

Groeneboer mengatakan bahwa tujuan kebijakan bahasa di Hindia Belanda mencakup beberapa hal.

Pertama, adalah untuk tujuan organisasi keagamaan dalam bidang penyebaran agama, seperti; Islam dan Kristen. Kedua, sebagai asosiasi ilmiah dan budaya.

Contohnya adalah; Masyarakat Seni dan Sains Batavia yang didirikan pada tahun 1778, Kelompok Hindia Belanda dari Asosiasi Umum Belanda pada tahun 1901, dan, perkumpulan nasionalis-budaya Jawa Boedi Oetomo, didirikan pada tahun 1908.

Ketiga, pendidikan, yang selalu berhubungan langsung dengan “masalah bahasa” dan dengan penerapan kebijakan bahasa resmi, tetapi sebaliknya, kebijakan pemerintah semakin berusaha untuk mempengaruhi melalui asosiasi guru dan majalah mereka.

Keempat, lembaga peradilan, yang harus mengambil langkah-langkah kebijakan bahasa untuk melindungi keamanan hukum bagi semua warga negara. Kelima, tentara, yang menentukan langkah-langkah kebijakan bahasa harus diambil untuk memastikan efisiensi internal dan eksternal untuk memastikan komunikasi antara kelompok populasi yang berbeda.

Keenam, partai-partai politik dan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan ambisi amsing-masing. Seperti; Aliansi Indo-Eropa, dan Gerakan Nasionalis Pribumi .

Dan terakhir, adalah lembaga penyiaran radio, pers dan dunia penerbitan, yang bertujuan untuk untuk menciptakan “area penjualan” seluas mungkin.

Kemudian, Bahasa Indonesia, dikembangkan oleh orang Indonesia sendiri. Yakni kelompok intelektual yang dididik dalam bahasa Belanda dan menganggap bahasa Belanda sebagai bahasa utama mereka.

Ini adalah kelompok kontroversial, dimana: Mereka berbicara secara umum antara satu dengan lainnya dalam bahasa Jawa, berkomunikasi dengan masyarakat luas dalam bahasa Indonesia, tetapi berbicara spesifiek dengan menggunakan Belanda.

Pada awalnya, tentu saja terjadi benturan. Sebab, Bahasa Indonesia sangat diperkaya dengan berbagai konsep, ekspresi dan bentuk tata bahasa yang berasal dari berasal dari Belanda.

Sebab, bahasa Melayu pada saat itu juga mencakup fungsi-fungsi yang harus mengadopsi bentuk-bentuk, bentuk-bentuk kalimat, dan bentuk-bentuk pemikiran Belanda.

Diglosia yang sama pun pernah terjadi di Eropa di era lampau Dimana Bahasa Latin ssebagia varietas tinggi tetap dalam penggunaan formal bahkan sebagai ucapan sehari-hari.

Dengan dihapuskannya bahasa Belanda di pendidikan umum di Indonesia pada tahun awal tahun 1950-an, dan kemudian dengan deklarasi tahun 1957 oleh Presiden Sukarno, maka Bahsa Indonesia resmi menjadi bahasa kenegaraan, dan juga rakyatnya.

Namun, bukan berarti Bahasa Belanda hilang serta merta begitu saja, dan masih belum hilang seluruhnya, bahakn hingga hari ini.

Bahasa Belanda masih memainkan berperan sebagai “bahasa mati”. Yakni bahasa yang dibutuhkan untuk belajar dalam banyak hal, untuk penelitian sumber di perpustakaan dan arsip Belanda.*

avatar

Redaksi