Pemberontakan Sultan Thaha Dan Kapal Bernama “Djambi”
Daulat
May 26, 2025
Jon Afrizal/Kota Jambi

Ilustrasi Perang Jambi 1885. (credits: Rijks Museum)
PEMBERONTAKAN rakyat Djambi terhadap Belanda terjadi pada tahun 1885. Sewaktu itu, Kesultanan Djambi berada dibawah pimpinan Sultan Thaha.
Mengutip F Coenen dalam catatan “Iets over Djambi in 1885”, keberadaan Belanda di Djambi memang terusik sejak Sultan Ratoe Taha Tsafioe’d-din atau yang dikenal dengan Sultan Thaha menjabat sebagai Sultan Jambi yang ke-20, yakni pada tahun 1855. Sebelumnya, Djambi adalah wilayah yang nyaman bagi kolonial Belanda.
Orang-orang Belanda di Djambi bermukim di sebagian Kota Jambi saat ini, dan juga Moewara Kompeh (Muara Kumpe) dan Moewara Saba (Muara Sabak).
Kasus yang berbeda, dimana Sultan Thaha secara tegas menolak superioritas Belanda terhadap Djambi. Hingga, Sultan Thaha tidak diakui oleh Belanda sebagai Sultan Djambi, pada tahun 1858.
Sementara, dua sultan sebelumnya, yakni Sultan Muhammad Fakhruddin (1833 – 1841) dan Sultan Abdul Rahman Nazaruddin (1841 – 1855) telah menandatangai nota kesepahaman dengan Belanda. Intinya, keduanya meminta perlindungan dari kolonial, yakng menyatakan Djambi sebagai wilayah vassal, jika ada pihak-pihak di dalam maupun dari luar istana yang akan mengganggu mereka.
Sultan Thaha dan pengikutnya melarikan diri ke wilayah Tebo, yakni sebuah wilayah yang identik dengan kerajaan hulu, semasa perpecahan Sultan Maharaja Batu. Daerah yang namanya juga tertera pada “Undang-Undang Piagam Dan Kisah Negeri Jambi” yang disalin oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Periai Sari, yakni sebuah wilayah bernama Mangunjayo, di sekitar Maura Tebo saat ini.
Tetapi, oleh Belanda, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Djambi, selalu dikaitkan dan dicurigai didalangi oleh Sultan Thaha.
Kerusuhan dimulai pada suatu sore, tanggal 23 Mei 1885. Dua orang Djambi melakukan serangan terhadap petugas-petugas kolonial Belanda.
Satu dari orang Djambi itu dikenal dengan nama Panglima Poetih. Ia adalah orang yang diduga membunuh Asisten Residen, Van Amstel te Benkoelen.

Kapal uap “HNLMS Djambi”. (credits: Collectie Nederlands Instituut voor Militaire Historie)
Satu orang Belanda terbunuh, yakni Petugas Kesehatan, Dr Heycop ten Ham. Sementara dua orang lainnya terluka parah. Yakni Letnan Dua Buenink, dan petugas keamanan Jackson.
Lalu, penyerangan-penyerangan dilakukan oleh keponakan ipar dari Sultan Thaha, yang bernama: Raden Anom. Yakni pada tanggal 21 dan 22 Agustus 1885, dimana sekitar 300 orang rakyat Jambi mengangkat senjata menyerang kapal MS Soembing, yang dibawa Belanda, dari Palembang. Dilanjutkan pula pada tanggal 28 Agustus 1885.
Catatan Belanda mengakui, meskipun tidak lagi dinyatakan sebagai sultan oleh pemerintah kolonial, namun nama Sultan Taha tetap dianggap oleh rakyat Djambi sebagai pemegang otoritas tertinggi di Djambi.
Selepas tidak menjabat sebagai sultan, Sultan Thaha digantikan oleh pamannya, yakni: Ratoe Ahmad Natsaroe’d-din. Seorang sultan yang diangkat oleh Belanda, agar dapat diatur dan berpihak pada Belanda.
Kondisi mencekam terus terjadi, di Kota Jambi. Yakni di wilayah Soengi Assem (Sungai Asam), yang kini adalah di Jalan Sultan Agung, Pasar Kota Jambi.
Kapal MS Soembing terus mendapatkan serangan dari rakyat Djambi. Terutama pada malam tanggal 21 dan 22 November 1885.
Sebelumnya, pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1885, sebanyak 230.000 kilogram batu bara milik kolonial Belanda, dilenyapkan. Berkemungkinan, batu bara itu dibuang ke sungai oleh rakyat Djambi.
Memahami kondisi Kota Jambi tidak lagi kondusif, maka Belanda pun mendatangkan kapal MS Pontaniak untuk meredam pemberontakan.
Dinyatakan oleh catatan Belnda, bahwa pemberontakan dapat dihentikan pada tanggal 23 November 1885.
Pada kenyataannya, pemberontakan Djambi 1885 itu sangat berbekas dalam ingatan pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengingat itu, diberikanlah nama untuk sebuah kapal uap, bernama “HNLMS Djambi”. Kapal ini, bertugas selama 13 tahun untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Mengutip BJ Tideman dalam buku “Memoriaal van de Marine”, HNLMS Djambi dibuat di Rijkswerf di Amsterdam. Pada 29 Desember 1858, diberikanlah nama “Djambi” pada kapal uap ini. Dengan tujuan untuk mengingat perang yang dialami kolonial Belanda di wilayah Djambi.
Kapal ini diluncurkan pada 31 Oktober 1860. Pada tanggal 1 Juni 1861, HNLMS Djambi mulai bertugas pada Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal ini ikut pada Ekspedisi Aceh I pada tahun 1873, dan juga Perang Jepang di Shimonoseki pada tahun 1864.

Kapal HNLMS Djambi pada Perang Jepang di Shimonoseki pada tahun 1864. (credits: Collectie Nederlands Instituut voor Militaire Historie)
Pada awalnya, HNLMS Djambi hanya dipersenjatai 4 RML 16 cm No.3 dan 12 smoothbore 30-pounder. Selanjutnya, ditambhkan lagi senjata-senjata berat delapan senapan muzzleloader dari kaliber 16 cm, dan delapan smoothbore muzzleloader dari kaliber 16 cm.
Pelayaran perdana HNLMS Djambi adalah ke Suriname, yang berlabuh pada tanggal 3 September 1861. Bahkan kapal ini tercatat berlabuh di Rio de Janeiro pada tanggal 13 Februari 1862.
Pada hari Sabtu, 2 Mei 1863, Gubernur Australia Selatan, Dominick Daly datang untuk mengunjunginya kapal, itu ketika berlabuh di sana.
Pada tanggal 23 Juli 1863 HNLMS Djambi tercatat berlabuh di Batavia. Kapal ini kembali membuang sauh dan berlayar menuju Jepang pada tanggal 26 September 1863.
Perang Aceh yang sebenarnya dimulai dengan Ekspedisi Aceh I, pada awal bulan April 1873. Ketika Belanda mengumpulkan pasukan yang relatif besar yang terdiri dari enam unit kapal perang. Yakni HNLMS Djambi, Citadel van Antwerpen, Marnix, Surabaya, Sumatra dan Coehoorn, dan, dibantu sekitar 3.000 orang prajurit.
Dari keenam kapal itu, HNLMS Djambi adalah yang terkuat.
Namun, kekalahan dialami Belanda. Seluruh kekuatan hampir lumpuh, dan termasuk HNLMS Djambi.
Dengan kecepatan tidak lebih dari 3 knot, akibat kerusakan pada Perang Aceh, HNLMS Djambi berlabuh di Batavia pada tanggal 21 Mei 1873.
Setelah 13 tahun bertugas, sebuah pesan tertanggal 14 April 1874 di Cape Town, adalah akhir kejayaannya di laut. Pesan itu menyatakan bahwa HNLMS Djambi telah dijual seharga GBP 1.765 (21.000 florin) kepada seorang bernama Mr Flower dari Cape Town.
Dan, selanjutnya, kapal ini akan diubah menjadi kapal layar.*

