Yang Terlupakan Dalam Pembangunanisme
Ekonomi & Bisnis
September 3, 2024
Jon Afrizal
Pembangunan menara air di Jambi di masa pemerintahan Belanda. Photo dipublikasi tahun 1920. (credits: Universiteit Leiden)
PRESIDEN Amerika Serikat ke-33 (1945–1953), Harry S. Truman (8 Mei 1884 – 26 Desember 1972), mempopulerkan konsep developmentalism (pembangunanisme). Yakni sebuah konsep dimana indeks pertumbuhan ekonomi adalah variabel utama, agar masyarakat terhindar dari “tekanan kemiskinan struktural yang sangat parah”.
Maka, dunia pun tercipta menjadi dua sisi terminologi; development dan underdevelopment.
Dan, konsep ini, diadopsi seutuhnya oleh underdevelopment countries. Selain itu, kebijakan-kebijakan luar negeri dari development countries terhadap underdevelopment countries, juga mengacu kepada konsep-konsep ini.
Indonesia, mengenal Soeharto (1967-1998) sebagai “Bapak Pembangunan”.
Mengutip Kompas, masa pemerintahan Soeharto ini disebut dengan Orde Baru. Di mana yang menjadi fokus utamanya adalah pembangunan.
Soeharto melakukan pembangunan di segala bidang. Seperti sekolah, puskesmas, industri strategis nasional dan jalan nasional, waduk, embung, dan berbagai pengendalian banjir perkotaan.
Sebagai apresiasi terhadap keberhasilannya membangun Indonesia di segala bidang, Soeharto diangkat sebagai “Bapak Pembangunan Indonesia” pada tahun 1983.
BI Ozoigbo dalam Insecurity in Nigeria: genesis, consequences and panacea menyebutkan bahwa konsep pembangunan memang memiliki basis sejarah politik ekonomi, yang dikembangkan di Eropa dan Amerika. Sehingga, dalam kalkulasi proyek pembangunan, secara serta merta meng-copy paste formula indeks pertumbuhan ekonomi yang telah dipraktekan oleh negara-negara maju.
Asumsi dasar di balik agenda-agenda pembangunan adalah “keprihatinan” negara-negara maju terhadap tingkat kesejahteraan di negara-negara dunia ketiga. Sebagai: yang umumnya miskin secara ekonomi.
Sebab, dalam perspektif Eropa dan Amerika, warga masyarakat yang tinggal di negara-negara terbelakang, hidup dalam struktur ekonomi yang kurang menguntungkan.
Untuk menghadapi situasi struktural semacam ini, maka diperlukan sebuah desain kebijakan politik ekonomi yang lebih humanis dan demokratis. Desain ini termanifestasi dalam konsep pembangunan.
Yakni dengan tujuan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomis di belahan dunia yang diasumsikan masih terbelakang.
Konsep pembangunanisme ala Soeharto masih terus berlanjut hingga saat ini. Namun, dari setiap kemajuan yang dicapai, selalu ada “yang tertinggal”.
Siaran pers Amnesty International Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2024 menyatakan bahwa pemerintah harus meninggalkan pembangunan yang anti kritik dan tidak berpihak pada rakyat.
Pemerintah, seharusnya menjamin dan mengakui hak masyarakat adat dalam proyek pembangunan. Termasuk proyek strategis nasional (PSN).
“Keberhasilan pembangunan di masa Jokowi, pada sisi lain, memperlihatkan kesemuan. Proyek-proyek yang bersifat elitis, dan bukan berangkat dari kepentingan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Dimana, katanya, banyak lahan-lahan masyarakat adat yang tidak diakui secara formal oleh pemerintah. Ini membuat masyarakat adat selalu berada dalam posisi rentan terhadap konflik agraria dan kerap menjadi korban proyek-proyek pembangunan, baik yang digarap pemerintah dan swasta.
Sementara masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria, kerap menghadapi serangan.
Amnesty International Indonesia mencatat dari periode Januari 2019 hingga Maret 2024, terdapat setidaknya delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 84 korban. Para korban tersebut ada yang dilaporkan ke polisi, ditangkap, dikriminalisasi, maupun menerima intimidasi dan serangan fisik saat memperjuangkan hak-hak mereka.
Sejauh ini, katanya, telah terjadi ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang makin besar di Indonesia di tengah penurunan kelas menengah. Ironisnya, 50 orang terkaya mengalami kenaikan kekayaan sebesar 40 persen.
Sementara di sektor lain, performa logistik Indonesia tertinggal di kawasan ASEAN.
Jika mengingat apa yang telah terjadi pada pembangunanisme di era Soeharto, Marianus Ola Kenoba dalam Utopia Modernitas: Pembangunanisme, Netralitas Negara, dan Demokrasi Ekonomi menyebutkan bahwa sistem ideologi kapitalisme terbungkus rapi dalam kemasan baru yang diberi label pembangunanisme.
Dimana Krisis Ekonomi yang terjadi di era Soeharto adalah satu akibat dari pilihan politis, ekonomi sebagai “panglima” dalam pengambilan keputusan publik.
Sehingga, katanya, dibutuhkan kebijakan yang cerdas untuk mempertimbangkan model pembangunan yang lebih manusiawi dan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam rancangan kebijakan untuk publik.
Sebab, katanya, konsep pembangunan yang mulanya dipandang sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, justru berubah menjadi tujuan penguasaan.
Sehingga manusia adalah obyek ekspansi pasar untuk mendukung percepatan modal bagi negara-negara maju di Eropa maupun Amerika.
Ketika manusia ditempatkan sebagai segmen pasar, maka manusia akan mengalami dilema paradoksal. Yakni problem keterasingan yang bersifat eksistensial.
Lebih dari itu, proses dehumanisasi menjadi tidak terhindarkan lagi.*