Kencangkan Ikat Pinggang Hadapi Resesi Global

Ekonomi & Bisnis

August 3, 2024

Jon Afrizal

Resesi ekonomi global. (credits: dataexport)

DUNIA tengah menghadapi resesi ekonomi global. Resesi ini berdampak pada banyak orang di banyak negara di seluruh dunia.

Finlandia, Irlandia, Jepang dan Inggris adalah negara-negara yang pertama terdampak dalam resesi ekonomi global pada tahun 2024 ini. Lalu, dilanjutkan dengan Argentina, di pertengahan tahun ini.

Resesi global dapat juga disebut sebagai periode perlambatan ekonomi atau penurunan output ekonomi secara global.

International Monetary Fund (IMF) mendefinisikan resesi global sebagai bentuk dari penurunan PDB dunia riil per kapita tahunan, tertimbang paritas daya beli, yang didukung oleh penurunan atau memburuk pada satu atau lebih dari tujuh negara global lainnya.

Adapun indikator makroekonominya, adalah produksi industri, perdagangan, arus modal, konsumsi minyak, tingkat pengangguran, investasi per kapita, dan konsumsi per kapita.

Mengutip World Economic Outlook (WEO) Januari 2024 keluaran IMF, pertumbuhan global diproyeksikan sebesar 3,1 persen pada tahun 2024 dan 3,2 persen pada tahun 2025. Dengan perkiraan pada tahun 2024 sebesar 0,2 persentase poin lebih tinggi dibandingkan WEO bulan Oktober 2023.

Ini terjadi karena lebih besar dari ketahanan yang diharapkan di Amerika Serikat dan beberapa negara emerging market dan negara berkembang, serta fiscal dukungan di Tiongkok.

Namun perkiraan untuk tahun 2024 hingga 25 masih di bawah rata-rata historis (2000–19) sebesar 3,8 persen, dengan kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral untuk melawan inflasi, penarikan dukungan fiskal di tengah tingginya utang yang membebani aktivitas ekonomi, dan rendahnya pertumbuhan produktivitas.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa inflasi turun lebih cepat dari perkiraan di sebagian besar wilayah di tengah melemahnya permasalahan sisi penawaran dan kebijakan moneter yang restriktif. Inflasi global diperkirakan akan meningkat turun menjadi 5,8 persen pada tahun 2024 dan menjadi 4,4 persen pada tahun 2025, dengan perkiraan tahun 2025 direvisi turun.

Dengan disinflasi dan pertumbuhan yang stabil, kemungkinan terjadinya hard landing telah berkurang, dan risiko terhadap pertumbuhan global pun berkurang seimbang secara luas.

Sisi positifnya, disinflasi yang lebih cepat dapat menyebabkan kondisi keuangan semakin melemah. Fiskal yang lebih longgar kebijakan yang lebih tinggi dari yang diperlukan dan lebih dari yang diasumsikan dalam proyeksi dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk sementara waktu, namun memiliki risiko penyesuaian yang lebih mahal di kemudian hari.

Momentum reformasi struktural yang lebih kuat dapat meningkatkan produktivitas secara positif limpahan lintas batas.

Sedangkan sisi negatifnya, harga komoditas baru melonjak akibat guncangan geopolitik, termasuk yang terus berlanjut serangan di Laut Merah, dan gangguan pasokan atau inflasi yang lebih persisten dapat memperpanjang masa ketat ini kondisi moneter. Meningkatnya permasalahan sektor properti di Tiongkok atau, di negara lain, perubahan yang mengganggu dalam kenaikan pajak dan pemotongan belanja juga dapat menyebabkan kekecewaan pertumbuhan.

Sehingga, lanjut analisa itu, tantangan jangka pendek yang dihadapi para pengambil kebijakan adalah mengelola penurunan akhir inflasi agar sesuai dengan sasaran dan kalibrasinya kebijakan moneter sebagai respons terhadap dinamika inflasi yang mendasarinya dan, di mana tekanan upah dan harga jelas terjadi menghilang, menyesuaikan diri dengan sikap yang tidak terlalu membatasi.

Pada saat yang sama, dalam banyak kasus, dengan menurunnya inflasi dan perekonomian yang lebih mampu menyerap dampak pengetatan fiskal, dan fokus baru pada konsolidasi fiskal untuk membangun kembali anggaran kapasitas untuk menghadapi guncangan di masa depan, meningkatkan pendapatan untuk prioritas belanja baru, dan mengekang peningkatan utang publik diperlukan.

Reformasi struktural yang ditargetkan dan dilakukan secara hati-hati akan memperkuat pertumbuhan produktivitas dan utang keberlanjutan dan mempercepat konvergensi menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Koordinasi multilateral yang lebih efisien adalah diperlukan untuk, antara lain, penyelesaian utang, untuk menghindari tekanan utang dan menciptakan ruang untuk investasi yang diperlukan, seperti serta mitigasi dampak perubahan iklim.

Atas dasar kondisi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menhatakan bahwa Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi 5,1 persen hingga 5,7 persen pad atahun 2024 ini. Dengan penurunan batas bawah, dari semula 5,3 persen menjadi 5,1 persen target pertumbuhan ekonomi dilandasi oleh masih besarnya peningkatan risiko pada 2024.

“Fokus observasi pemerintah adalah kemungkinan untuk menurunkan target batas atas pertumbuhan ekonomi tahun depan. Dan akan melihat konsistensi pemulihan ekonomi,” katanya, mengutip indonesia.go.id.

Shinta W Kamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri mengatakan bahwa kinerja ekonomi di tahun politik tidak bisa ekspansif, terlebih prospek ekonomi global cukup menantang.

Sehingga, pemerintah memperlonggar ruang fiskal sehingga belanja bantuan sosial bisa tetap tebal pada 2024. Langkah itu diharapkan bisa menguatkan daya beli sehingga tercipta stabilitas konsumsi.*

avatar

Redaksi