“Batu Parsidangan” Di Huta Siallagan

Hak Asasi Manusia

October 16, 2025

Farokh Idris

Batu Parsidangan. (credits: Wiki Commons)

“Dan, berkumpullah raja, penasehat, dukun, dan juga pelaku kejahatan di Batu Parsidangan di Huta Siallagan, untuk menetapkan hukuman kepada pelaku kejahatan itu. Jika pelaku kejahatan melakukan pelanggaran berat, maka hukumannya adalah pancung kepala.”

SEKUMPULAN batu menjadi saksi penetapan hukum adat untuk pelaku kejahatan. Demikianlah “Batu Parsidangan” di Huta Siallagan Desa Siallagan Pinda Raya, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

Dalam bahasa Batak, “Huta” berarti kampung atau desa, dan “Siallagan” adalah nama Raja Siallagan, yakni raja yang memimpin kampung ini.

Kerajaan Batak berpusat di Rura Bangkaara atau Bakkara. Yakni sebuah lembah (rura) yang kini berada di Desa Simamora, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Semasa dinasti Si Singamangaraja, wilayah pemerintahan Kerajaan Batak terbagi menjadi empat wilayah yang biasa disebut dengan “Raja Maropat”.

Yakni; Raja Maropat Silindung, Raja Maropat Samosir, Raja Maropat Humbang, dan, Raja Maropat Toba.

Sepanjang sejarah Suku Batak Kuno (Toba Tua), pernah terdapat tiga dinasti kerajaan yang menyatukan berbagai kelompok suku.

Primus Interpares (pemimpin di antara pemimpin) suku kemudian membentuk dinasti yang menaungi kelompok klan, kerajaan-kerajaan suku di Tanah Batak, mungkin saja wilayahnya hingga ke Aceh saat ini, dan juga raja-raja dari marga-marga dan wilayah Huta.

Huta Siallagan adalah situs bersejarah, dengan depalan unit Rumah Bolon (rumah adat Batak) yang berusia ratusan tahun. Kedelapan unit Rumah Bolon ini memiliki fungsi yang berbeda. Seperti; rumah yang digunakan untuk kediaman raja dan keluarga, dan juga sebagai tempat pemasungan.

Di Batak Toba, hampir seluruh tindakan melanggar hukum akan dikenai hukuman atau denda adat sesuai dengan pelanggaran dan posisi dari si pelaku.

Gerbang Huta Siallagan. (credits: Wiki Commons)

Meskipun, tidak ada aturan tertulis yang diterapkan di setiap lokasi, penetapan sanksi hukum dapat saja hanya dilakukan satu kali atau lebih. Tergantung dengan berbagai kegunaan dan pengaruhnya, sesuai dengan pelaku pertama saat pelanggaran itu pertama kali dilakukan.

Misalnya, seseorang yang terbukti melakukan perampokan, maka, di masa lalu kala itu, akan dibunuh beramai-ramai dengan menggunakan Kancing Sumbu (pisau). Selanjutnya, menurut cerita dari mulut ke mulut, pelaku akan dimakan secara beramai-ramai. Adapun kebenarannya, sudah seharusnya dilakukan penelitian lebih lanjut.

Jika pelaku berhasil melarikan diri, maka biasanya, ia dapat membayar denda adat.

Namun, untuk pria yang terbukti berselingkuh, maka ia akan divonis hukum pancung kepala.

Adapun penetapan hukuman ini, adalah di “Batu Parsidangan”. Sebuah situs kuno yang terdiri dari susunan sembilan kursi yang terbuat dari batu.

Dan, selayaknya sebuah persidangan, raja, penasehat dan dukun pun mempersidangkan pelaku kejahatan, yang juga duduk di sana.

Jika kejahatannya kecil, mengutip laman Indonesia, maka akan diberikan sanksi berupa hukuman pasung. Tapi, jika kejahatannya tergolong kejahatan berat, maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung kepala.

Setiap ketetapan adat akan disesuaikan dengan Maniti Ari. Yakni cara menetapkan hari pelaksanan acara adat Batak Toba.

Penetapaan hari ini menggunakan sistem penanggalan yang disebut Parhalaan. Sistem penanggalan ini didasarkan pada pergerakan bulan dan bintang.

Tujuannya, adalah untuk memastikan terkait kebaikan yang didapat dari penetapan hari.

Masyarakat Batak Toba, dan Batak pada umumnya, percaya bahwa orang yang berani melakukan kejahatan diyakini memiliki ilmu hitam. Mungkin saja, ia menggalinya dari “Pustaha Laklak”.

Pustaha Laklak umumnya berisi tentang ilmu-ilmu hitam. Seperti; pangulubalang, tunggal panaluan, pamunu tanduk, dan gadam.

Danau Toba. (credits: Wonderful Indonesia)

Meskipun tidak melulu tentang ilmu hitam. Pustaha Laklak juga mengandung ilmu putih tolak balak dan pagar diri.

Pun juga terkait ilmu astronomi, dan juga meramal (nujum) dengan menggunakan tanda-tanda yang terdapat pada hewan.

Pustaha Laklak, mengutip laman Indonesia, ditulis di laklak (atas kulit kayu), bambu atau tulang kerbau. Yang, kemudian dilipat dengan menggunakan mode concertina (sejenis akordion), dan terkadang dilengkapi dengan papan.

Bahasa tulis yang digunakan pada Pustaha Laklak tetap seragam, tanpa mengurangi ciri khas lokalnya. Meskipun bahasa Batak memiliki banyak dialek.

Terdapat lima jenis aksara yang digunakan di Pustaha Laklak. Yakni; aksara Toba, Karo, Mandailing, Dairi, dan Simalungun.

Dengan metoda Maniti Ari, maka raja, penasehat dan dukun menetapkan hari dilaksanakannya hukuman pancung kepala. Yakni, hari dimana tubuh dan pikiran juga mental si pelaku sangat lemah.

Pada hari pancung kepala, pelaku kejahatan akan ditempatkan di meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Sebelum hukum pancung dilaksanakan, pelaku akan diberi makanan yang berisi ramuan dari dukun, dengan tujuan untuk melemahkan ilmu hitamnya.

Selanjutnya, pelaku dipukul dengan menggunakan Tongkat Tunggal Panaluan. Tentu saja, sebuah tongkat dengan kandungan magis.

Yakni tongkat yang terbuat dari kayu berukir berbentuk kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.

Rumah Bolon. (credits: Wiki Commons)

Saat eksekusi dilaksanakan, maka pakaian pelaku kejahatan akan dilepaskan, dengan tujuan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Setelah itu, seluruh bagian tubuhnya akan disayat-sayat.

Jika tubuhnya terluka dan berdarah, maka dapat dipastikan ilmu hitam yang membuatnya kebal pun telah hilang.

Tubuh pelaku yang telah mengeluarkan darah, akan disiram dengan air asam, dengan tujuan agar tubuh pelaku semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung kepala dilaksanakan.

Terdapat cerita lainnya, yang mungkin saja butuh pembuktian lebih lanjut.

Setelah proses eksekusi selesai, menurut cerita itu, bagian tubuh pelaku, yakni; jantung dan hati, akan dimakan oleh raja, untuk menambah kekuatan si raja.

Bagian kepala pelaku yang telah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat. Sedangkan bagian tubuhnya yang lain akan diletak di meja berbentuk persegi. 

Bagian tubuh pelaku akan dibuang ke Danau Toba, selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam Danau Toba.

Bagian kepala akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan. Ini sebagai pemberi peringatan kepada raja dan juga rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Setelah membusuk, bagian kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung. Dan selanjutnya warga akan dilarang beraktifitas di hutan selama tiga hari.

Penerapan hukum pancung kepala di Huta Siallagan berakhir setelah Ludwig Ingwer Nommensen, seorang misionaris asal Jerman memperkenalkan agama Kristen di wilayah Danau Toba, di awal abad ke-19.

Terlepas dari pro dan kontra, dapat diketahui bahwa pengetahuan lokal, yang kemudian dapat disebut dengan adat istiadat, telah pula menetapkan denda dan hukumannya sendiri, pada suatu tempat dan waktu.*

avatar

Redaksi