Sumatra Dalam Pengaruh Melayu

Resonansi

August 23, 2025

Uli Kozok

Istana Kesultanan Siak Sri Indrapura. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

SELAMA lebih dari 1.000 tahun terakhir, bahasa yang paling berpengaruh di Asia Tenggara adalah: bahasa Melayu. Dominasi ini dapat dijelaskan melalui beberapa faktor.

Pertama, bahasa Melayu telah berfungsi sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di Asia Tenggara sejak berabad-abad, didukung oleh keberadaan kerajaan-kerajaan Melayu besar dan berpengaruh seperti Sriwijaya, Melayu-Jambi, dan Melaka.

Kedua, luasnya penggunaan bahasa Melayu membuatnya kemudian diangkat sebagai bahasa nasional di empat negara modern: Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Ketiga, pengaruh Melayu juga kuat terasa dalam bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Batak (KPSTAM).

Dalam tradisi Batak KPSTAM, khususnya pada bahasa rahasia para datu (Hata Poda), banyak ditemukan kosakata Melayu. Status bahasa Melayu bagi orang Batak KPSTAM pada masa lalu dapat disamakan dengan posisi bahasa Inggris bagi masyarakat Indonesia masa kini: dianggap modern, berwibawa, dan bergengsi.

Pengaruh bahasa Melayu tidak hanya terbatas pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Buddha, tetapi terus berlanjut setelah Melayu bertransformasi menjadi kerajaan-kerajaan Islam pada abad ke-15. Hal ini tampak, misalnya, dalam pustaha suku-suku KPSTAM.

Banyak mantra (tabas) dibuka dengan kata Bisumirla (dari Bismillah). Dan kadang-kadang menyebut Nabi Muhammad.

Meskipun para datu yang menuliskannya tidak memahami maknanya.

Dalam ranah budaya, pengaruh Melayu juga terlihat jelas. Orang Batak mengenal nujum Pormamis na Lima yang pada hakikatnya sama dengan Ketika Lima orang Melayu.

Dewa-dewi yang mewakili kelima bagian hari memakai nama Sanskerta. Ini menandakan bahwa tradisi ini masuk ke dalam budaya Batak KPSTAM pada masa Melayu pra-Islam.

Ornamen Karo Tapak Raja Sulaiman serta simbol Bindu Matogu juga berakar dari tradisi Melayu.

Bidang agama menunjukkan pengaruh Melayu yang paling kuat. Rata-rata dewa-dewi KPSTAM memiliki nama Sanskerta (India) yang masuk ke pedalaman terutama lewat orang Melayu sebagai perantara.

Pangaruh Melayu yang paling kuat ada di bidang ekonomi. Orang Melayu membangun candi-candi di hulu sungai yang juga berfungsi sebagai pusat perdagangan, misalnya di Padang Lawas (Batang Barumun), Dharmasraya (Batang Hari), dan Muara Takus (Batang Kampar).

Ilustrasi pembacaan doa pada suatu upacara adat. (Jon Afrizal/amira.co.id)

Candi-candi ini didirikan di lokasi yang masih bisa dicapai oleh kapal besar, meski berjarak ratusan kilometer dari pesisir.

Dari titik-titik inilah orang Melayu berdagang dengan masyarakat pegunungan. Mereka membeli emas, kapur barus, kemenyan, rotan, damar, getah perca, gading, kuda, madu, lilin, dan kayu gaharu.

Sementara masyarakat pegunungan, khususnya KPSTAM dan Minangkabau, tetapi juga Alas, Gayo, Rejang, dan Besemah, mendapatkan garam, kain, besi, serta barang mewah seperti porselin Tiongkok. Di Karo, misalnya, para pedagang dikenal sebagai perlanja sira (pembawa garam).

Melalui mekanisme perdagangan inilah orang Batak KPSTAM sejak lama sudah terhubung, meski tidak langsung, ke jaringan perdagangan internasional yang dikuasai oleh Melayu (Sumatra dan Semenanjung), India, dan Tiongkok, serta kemudian Jawa, dan sejak abad ke-16 juga Portugis.

Selain jalur sungai dan laut yang berada di bawah kendali Melayu, terdapat pula jalur perdagangan darat yang dipegang oleh KPSTAM dan Minangkabau. Jalur ini menghubungkan pesisir barat dan timur, serta utara dan selatan Sumatra.

Sehingga, sejak berabad-abad lalu terbentuklah semacam dualisme Hulu–Hilir yang saling bergantung satu sama lain. Meski konflik kerap terjadi, pada umumnya struktur sosial-ekonomi unik di Sumatra ini berjalan seimbang, memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.*

*Dinukil dari postingan Uli Kozok di akun Facebooknya

avatar

Redaksi