Ketika Pendidikan Seharga Nyawa
Hak Asasi Manusia
June 4, 2023
Jon Afrizal/Muarojambi
TIDAK banyak yang mengetahui bahwa Serikat Tani Kumpeh (STK) punya tujuan mulia : kebersamaan. Mereka menyisihkan hasil kolektif panenan tandan buah segar (TBS) untuk operasional sekolah setingkat SD di Desa Sumber Jaya.
Bahusni, ketua STK Sumber Jaya mengatakan kelompok mengeluarkan uang untuk biaya operasional Diniyah Nuruttholibin di Desa Sumber Jaya berkisar antara IDR 5 juta hingga IDR 8 juta per bulan.
“Kami memiliki areal yang dipanen hanya untuk kepentingan kolektif ,” katanya belum lama ini.
Ini, katanya, belum termasuk sumbangan orang per orang.
Sosok Bahusni, tidaklah seperti gambaran yang ada di benak banyak orang selama ini. Ia tidak berkelakuan dan berpenampilan seperti penjahat atau garong pencuri. Tetapi, sama seperti setiap orang-orang desa, yang selalu ramah tersenyum dan senang berkelakar.
Begitu juga dengan anggota kelompok lainnya, yang ditemui amira.co.id, di posko mereka di areal yang berkonflik dan kerap dinyatakan sebagai HGU milik PT FPIL itu.
Meskipun Desa Sumber Jaya selama ini dikenal sebagai desa yang banyak dari mereka adalah orang bagak, tetapi, pengalaman ketika liputan ke sana menunjukan bantahan terhadap opini publik bahwa mereka adalah segerombolan orang jahat yang ingin menguasai lahan.
Terdapat persoalan yang tidak mereka mengerti; mengapa dua perusahaan datang silih berganti dan menguasai lahan di desa mereka, yakni PT Purnama Tausar Putra (PTP) dan PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Sebab, desa itu dulu adalah tiga dusun, telah menyusun tata ruang dan memiliki batas antar desa.
Luasan sekitar 322 hektare yang kerap diakui sebagai HGU PT PFIL, senyatanya adalah areal penghidupan mereka. Tempat mereka berladang, mencari ikan, mencari tumbuh2an obat, mencari kayu untuk kebutuhan kolektif dan seterusnya.
Tapi, demam terhadap investasi di tahun 1998, telah membawa bencana bagi mereka. Ketika perusahaan melakukan pengukuran dan land clearing, dan membuat masyakarat berdemonstrasi berhari-hari. Kini, dosa yang tidak pernah diperbaiki itu, harus kembali mereka rasakan akibat buruknya. Intimidasi terhadap mereka telah sering terjadi.
Kecamatan Kumpeh Ulu Dalam Angka tahun 2021, yang diterbitkan BPS tidak menjelaskan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) dan pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kedua hal yang sangat terkait, dan menjadi tolak ukur perekonomian setiap desa di sana.
Tetapi, dari data BPS itu, tercatat seluas 15.852 hektare kebun sawit yang dinyatakan sebagai perkebunan rakyat di kecamatan ini. Meskipun tidak secara detail menjelaskannya.
Provinsi-provinsi yang dililit konflik agraria pada tahun 2022. (sumber: KPA)
Jika saja, STK adalah perampok lahan, harus ada koreksi tentang anggapan itu. Sebab telah terbit rekomendasi dari DPRD Provinsi Jambi pada tahun 2022 lalu, yang meminta kepada Kementrian ATR/BPN untuk menyelesaikan konflik agraria di desa ini, dan tidak lagi memperpanjang HGU PT FPIL.
Dengan artian, ada yang rancu pada saat bergulirnya proses penetapan hak guna ini. Sehingga harus ditinjau ulang, dan bahkan dihentikan.
Pada sebuah papan pengumuman dari PT FPIL, tertera HGU nomor 00166. Kemudian, amira.co.id berusaha mencari eksistensi HGU itu melalui aplikasi android “Sentuh Tanahku” milik Kementrian ATR/BPN. Jawaban yang diberikan aplikasi negara ini, adalah, “Bidang Tanah Tidak Ditemukan.”
Sesuatu yang membingungkan, terlebih bagi banyak warga Desa Sumber Jaya yang belum mengenal aplikasi android ini.
Kepala Diniyah Nuruttholibin, Hermansyah, mengatakan pihak sekolah merasa terbantu dengan pola kolektif STK ini. Sebab, seperti banyak sekolah di pedesaan di Provinsi Jambi, kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Sebelum ini, kami menerapkan sistem SPP bagi siswa. Tapi, dengan sistem itu, justru jumlah murid terus berkurang. Hanya 75 orang,” katanya.
Ia sangat menyadari keterbatasan ekonomi para orang tua murid. Secara umum, orang tua murid berprofesi sebagai petani.
Tapi, sejak tahun 2023 ini, SKT pun gencar memberikan biaya operasional untuk sekolah. Sehingga, pihak sekolah pun menyatakan bahwa “Bersekolah Gratis” kepada murid-muridnya.
Jumlah murid kini pun meningkat menjadi 103 orang. Bangunan sekolah yang berbetuk huruf L ini hanya memiliki beberapa ruang kelas. Dengan delapan orang guru dan satu kepada sekolah, mereka menyelenggarakan pendidikan dari kelas 1 hingga kelas 6, dari pukul 07.00 WIB sampai 17.00 WIB.
Kini, setiap guru dan kepala sekolah juga mendapatkan gaji secara teratur setiap bulannya. Yakni Rp 200 ribu per orang per bulan. Para guru dan kepala sekolah adalah penduduk di desa itu.
“Bersekolah artinya memperbaiki masa depan. Sebab kami tidak ingin anak-anak kami hidup dengan masa depan yang tidak tentu arah dan tujuannya,” kata Yuk Ning, warga Desa Sumber Jaya.
Meskipun, senyatanya, mereka harus berhadapan dengan intimidasi dan tuntutan hukum, karena dianggap melakukan tindakan kriminal pencurian TBS milik PT FPIL.
Desa Sumber Jaya memiliki batas yang jelas, ketika tiga dusun disatukan menjadi satu, dan dibentuk menjadi desa dengan nama Desa Sumber Jaya pada tahun 1990 lalu. Tapal batas ini, yang menjadi rujukan penetapan batas desa, ditentukan dengan tanda-tanda alam.
Pada bagian timur tanda-tandanya adalah Buluran Pauh – Lopak Besak – Teras Beko. Lalu, Buluran Lopak Bujuk – Buluran Bubur Tetumpah. Selanjutnya, Buluran Aek Hidup – Pematang Cengal – Buluran Melintang.
Sedangkan pada bagian barat, yakni perbatasan Desa Sumber Jaya – Tarikan, tanda-tandanya adalah Tembesi Rampak (tepatnya di Kebun Rasid) – Simpur Serumpun – Buluran Rembio – Lopak Rano-rano – Buluran Melintang.
Ingatan kolektif ini, menurut tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya, Rasidi, yang juga menjadi dasar pendudukan lahan seluas 322 hektare itu. Sebab, sebagai sebuah kesatuan tata ruang desa, areal itu tidak pernah diperjualbelikan warga kepada pihak manapun.
“Jika pun pada masa lalu ada pihak yang memperjualbelikan kawasan ini, tetapi, secara umum, kami-warga desa tidak pernah diajak berunding,” katanya.
Bahkan, ketika akan menduduki lahan, anggota masyarakat pun telah melayangkan surat pemberitahuan ke PT FPIL dan kepolisian. Begitu juga ketika mereka menanen buah sawit.
“Tetapi tidak digubris,” kata Bahusni.
Dan, diakui atau tidak, anggota kelompok kerap diganggu hal-hal mistik atau black magic selama berbulan-bulan. Meskipun akhirnya dapat mereka tangkis.
“Konflik yang kami hadapi sangat dinamis, dan tidak pernah stagnan,” katanya.
Keruwetan penetapan HGU, diakui oleh Fransdoddy Taruma Negara, koordiantor Korsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, sebagai stimulus munculnya konflik agraria.
“Ketika lahan hanya dikuasai oleh segelintir orang, maka akan menimbulkan kesenjangan sosial,” katanya.
Terlebih, tata cara penunjukan HGU yang tidak melibatkan masyarakat, dan menafikan bahwa sebuah desa memilik kesatuani tatanan tata ruang sendiri.
Masyarakat desa yang hanya menjadi penonton ketika investasi demi investasi mendatangi desa mereka. Tetapi tidak menghampiri mereka. Dan juga tidak memakmurkan mereka.
Kini, mereka menagih kesungguhan pemerintah.*