Kriminologi Hijau, Peradilan dan Perubahan Iklim

Resonansi

February 1, 2025

Asrul Aziz Sigalingging*

Protes terhadap kebijakan iklim. (credits: pexels)

TIDAK banyak diskusi akademik yang mengupas green criminology (kriminologi hijau). Referensinya yang terbatas, terlebih usia pemikiran ini yang masih muda dan terus direvisi dan diperdebatkan, membuat literatur akademik kriminologi hijau terutama terjemahannya sangat terbatas untuk diperoleh akademik lokal, dan juga penggunaannya oleh praktisi dan aktivis.

Padahal, banyak sekali kasus-kasus kejahatan lingkungan di masa lalu dan saat ini memuat dimensi kriminologi hijau. Sebut saja kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Jambi tahun 2019, juga kasus pembunuhan Indra Pelani, aktivis lingkungan di Jambi tahun 2015 oleh keamanan satu perusahaan raksasa nasional, hingga kasus korupsi tambang timah ilegal IDR 275 triliun.

Kriminologi Hijau

Kriminologi hijau sebagai suatu konsep pertamakali diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh Michael J Lynch, kriminolog dari Universitas South Florida, AS, melalui karyanya yang berjudul The Greening of Criminology, A perspectiv 1990’s, dan terus berkembang hingga sekarang. Inti pemikirannya adalah untuk mengurai secara mendalam kerusakan lingkungan sebagai dampak dari interaksi manusia dan lingkungan dengan menerapkan gagasan tentang etika lingkungan, ekologi, dan hak asasi manusia (Rob White, Green Criminology and the Pursuit of Social and Ecological Justice, 2007).

Kriminologi hijau mengakui nilai-nilai instrinsik dari semua makluk hidup dan memandang manusia hanya satu bagian dalam jaringan kehidupan yang disebut ekosistem. Kriminologi hijau menggunakan analisis Marx dan pendekatan ekonomi politik dalam mengkonseptualisasi kejahatan lingkungan di dalam kerangka pemikirannya. Termasuk pengaruhnya dalam membentuk struktur sosial dan kekuasaan.

Karena kriminologi hijau berakar pada eko-filsataf yang sama (ekosentrism). Namun dengan analisa yang berbeda, kriminologi hijau seperti halnya deep ecology, menolak pemikiran yang menempatkan manusia sebagai korban utama dan satu-satunya dari kerusakan lingkungan.

Sederhananya, jika deep ecology lebih sebagai paradigma ekologi yang menyiratkan suatu etika berorientasi ekologi, maka kriminologi hijau adalah optik sosiologis yang secara analitis mampu menunjukan kepada kita konstruksi yang tak terbantahkan tentang bagaimana keterkaitan sistemik bahaya kerusakan lingkungan dapat merusak seluruh nilai-nilai instrinsik di dalam ekosistem itu. Yang korbannya bukan hanya manusia tetapi juga satwa dan tumbuhan, dan dampaknya melampaui batas yurisdiksi tertentu hingga lintas generasi.

Awal tumbuhnya pemikiran ini memang ditujukan untuk mendobrak batasan kriminologi tradisional yang sangat kaku dalam memandang kejahatan lingkungan, korban dan kerugian akibat kejahatan lingkungan pada masa itu. Sehingga kriminologi hijau lebih berfokus pada konsep “bahaya” ketimbang konsep “kejahatan” itu sendiri. 

Menurut Lynch, meski sudah banyak studi yang mempelajari kejahatan lingkungan pada era 1980 – 1990-an, namun para kriminolog saat itu terkesan melepaskan diri dari tendensi ekologi, humanistik, hak asasi manusia dan etika lingkungan. Dan cenderung berfokus pada pendefinisian kejahatan lingkungan yang dibentuk dengan persfektfif “manusia sebagai korban utama” melalui sistem hukum pidana.

Juga, mengabaikan realitas, bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi malah mengorbankan mahkluk hidup lain. Dan justru disebabkan oleh dimensi ekonomi politik yang turut membentuk hukum itu sendiri (Michael J. Lynch, 1990).

Seperti halnya konsep sosiologi lainnya yang terus berkembang, tidak ada definisi tunggal yang dirumuskan sendiri oleh Lynch ataupun yang diterima secara luas oleh kalangan akademik mengenai kriminologi hijau. Namun, Rob White di dalam dua buku karyanya Green Criminology and the Pursuit of Social and Ecological Justice (2007) dan Crimes Against Nature: Environmental Criminology and Ecological Justice, (2008), mencoba memperluas rumusan kejahatan lingkungan. Yang mencakup lebih banyak faktor yang merusak lingkungan sebagai kejahatan.

Rob White, menyebutkan setiap tindakan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah kejahatan. Untuk melihat ini, suatu tindakan tidak harus melanggar hukum secara formal untuk memenuhi syarat diketagorikan sebagai kejahatan karena ia mendasarkan definisinya pada kerusakan utama (dampak dan bahaya) yang timbul dari tindakan tersebut.

Meski rumusan White masih sangat luas dan memungkinkan membuka perdebatan, namun, seperti Lynch, White juga mengamini bahwa tindakan tertentu dengan batasan tertentu tidak dianggap sebagai kejahatan lingkungan dalam pemikiran kriminologi hijau.

Kriminologi hijau tidaklah sesepele itu! Tentu tidak. Belakangan batasan-batasan dan bentuk kejahatan lingkungan ini telah dieksplorasi lebih jauh oleh Rob White dan Nigel South (2008), termasuk oleh Eamonn Carrabine (2004) di dalam karya-karya mereka.

Iustrasi pertambangan. (credits: pexels)

Manfaat dan Penggunaan Krimonologi Hijau

Menggunakan lensa kriminologi hijau dalam memandang kejahatan lingkungan memberikan kita satu landasan sains dan moral yang kuat untuk melihat kejahatan lingkungan ke dalam spektrum yang lebih luas. Tujuannya, tentu bukan semata-mata untuk memerangkap lebih banyak hal ke dalam skenario kriminalisasi dalam sistem hukum pidana kita.

Tetapi yang utama adalah, ketika kita menyadari sebagian besar kerusakan lingkungan (kecuali bencana alam) adalah bahaya yang sebetulnya berada dalam kendali kita, maka ini akan membawa kecenderungan fungsionalistik bagi kita untuk bersikap etis untuk mempertimbangkan aspek simbiosis atas segala interaksi dan perlakuan kita terhadap alam.

Motif moral ini penting diketengahkan karena ini adalah satu cara menekan ego, konsumerisme dan sifat individualistik kita untuk melihat kerusakan lingkungan ke dalam atlas yang lebih luas akibat sejarah kapitalisme yang telah meradiasi kita. Sehingga, seolah-olah kita bebas mengeksploitasi alam atas nama dan sekehendak kita.

Akar pemikiran kriminologi hijau yang ditopang dengan analisis kelas, ekonomi politik, dan analisis patologi korporasi, juga membantu kita dalam melacak dan menemukan bagaimana sesungguhnya manifestasi kapitalisme berada dibalik kehancuran lingkungan.

Lynch bahkan secara radikal mencurigai bahwa hukum sangat rentan dimanipulasi untuk dijadikan alat dalam perebutan ekonomi-politik. Serta dapat disalahjalurkan untuk menopang dan membenarkan praktek-praktek destruktif kerusakan lingkungan itu sendiri.

Bagi saya, Lynch ingin menunjukan landasan keterkaitan bagaimana korupsi, politik dan perdagangan pengaruh (tradding influence) dalam bentuknya yang selalu tidak hitam-putih menjadi penopang setia kejahatan korporasi dalam menghancurkan alam. Karena ini pula, Lynch sangat menyesalkan tendensi kriminologi tradisional yang cenderung “menepikan” konsep bahaya dalam kejahatan, alih alih mengkerdilkannya.

Sebab ini akan melemahkan tingkat keseriusan dan ancaman (predicat crime) kejahatan lingkungan sebagai kejahatan korporasi kerah putih (white collar crime). Dan sebaliknya malah akan mendukung asumsi tradisional bahwa kejahatan jalanan lebih serius dibandingkan kejahatan lingkungan.

Pandangan ini menarik terutama jika kita ingin mengungkap secara kritis dan jujur tentang apa yang ada dibalik setiap pertanyaan: mengapa kerusakan lingkungan sedahsyat apapun yang disebabkan kapitalisme korporasi selalu mampu mencari jalan keluar tatkala kriminologi tradisional dan hukum pidana “mati-matian” ingin menjeratnya, namun gagal.

Dalam konteks tanah air kasus lumpur lapindo menjadi relevan dalam skenario ini. Sepengetahuan saya, tak seorang pun dari manajemen perusahaan ini yang berakhir dipenjara (Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana, CNN Indonesia, 29/05/2015).

Meski tragedi ini telah menenggelamkan 19 desa, 10.426 unit rumah dan 77 rumah ibadah, serta memaksa puluhan ribu jiwa mengungsi dan mengakibatkan krisis identitas dan kehancuran budaya yang menyedihkan (Kompas, 26/01/2022).

Kasus korupsi timah yang viral belakangan juga menunjukan bahwa krimonologi hijau belum menjadi satu sudut pandang bagi penegak hukum, terutama hakim. Dalam kasus ini, hakim terkesan menepikan konsep dampak dan bahaya lingkungan dari perbuatan korupsi Harvey Moeis cs.

Dengan kata lain, vonis majelis hakim yang rendah ditengah fakta bahwa perbuatan korupsi Harvey Moeis cs adalah kejahatan korporasi kerah putih (white collar crime) yang telah menghancurkan alam sedemikian rupa, dan menimbulkan kerugian hingga IDR 275 triliun.

Malahan, kasus ini di peradilan dilihat tak lebih dari sekedar kejahatan yang tak lebih serius jika dibandingkan dengan kejahatan jalanan lainnya. Ini, tentu saja, memalukan.

Konteks seperti inilah yang kemudian mendorong Lynch, termasuk para revisionisnya seperti Nigel South, Avi Brisman, Rob White dan Angus Nurse, menilai bahwa studi yang meneliti praktik–praktik korporasi dan kebijakan negara yang menghancurkan lingkungan, adalah satu fokus ranah kajian kriminologi hijau.

Ilustrasi kriminologi. (credits: pexels)

Respon Terhadap Perubahan Iklim

Menurut saya, perhatian terbesar dari pemikiran ini adalah pada konsep bahaya dan perluasan korban perusakan lingkungan. Belakangan ini semakin disadari betapa pentingnya ini ketika dampak perubahan iklim telah melewati pintu rumah kita dan mengacak-ngacak tatanan kehidupan kita.

Sehingga pemikiran kriminologi hijau, Lynch, menjadi sangat penting kita bawa secara bersamaan dengan pemikiran Ulrich Beck tentang global risk society (Ulrich Beck, Risk Society Towards a New Modernity; Theory, Culture & Society, 1992). Sebagai satu desakan subtantif agar kita benar–benar mengakui sekaligus bertindak dalam kapasitas sebagai masyarakat dengan resiko global dalam merespon perubahan iklim saat ini.

Segala bahaya, dampak dan risiko perubahan iklim yang diakibatkan kerusakan lingkungan adalah ulah kita sendiri. Ini telah melampaui batas yurisdiksi dan tidak selalu berdampak pada ras, mahluk hidup, kelas, budaya, atau gender tertentu disatu lokasi tertentu. Namun sudah beyond the limit dan menciptakan ketidakadilan baru di belahan dunia lain di planet ini.

Di tengah fenomena perubahan iklim saat ini, kriminologi hijau bukan hanya harus ditafsirkan untuk tujuan membingkai diskusi dan gerakan seputar perlawanan terhadap perusakan lingkungan, kejahatan ekologi, disorganisasi ekologi saja.

Tetapi juga harus diorganisir sebagai satu sudut pandang dalam membentuk kesadaran hukum (sense of law), pembentukan hukum (law making) dan penegakan hukum (law enforcement) di semua lapisan sistem peradilan pidana kita. Bidang terakhir ini sengaja disinggung karena bidang ini sepertinya yang paling tertinggal dibanding bidang hukum lain dalam merespon perubahan iklim di tanah air.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Seperti; mengakui dan melindungi hak hak masyarakat adat, dan mengekstrasi respon kultural mereka yang sangat luar biasa dalam melindungi alam dalam sudut pandang kriminologi hijau adalah upaya paling berarti dalam membingkai teori dan gerakan perlawanan terhadap kejahatan lingkungan saat ini (Michael J. Lynch, Paul B Stretesky, Michael A Long; Green criminology and native peoples: The treadmill of production and the killing of indigenous environmental activists, 2018).

Masyarakat adat memiliki sejarah panjang dalam melawan bentuk-bentuk ekosida dan genosida yang dipaksakan oleh kapitalisme global dan sudah banyak penelitian menunjukan bukti tentang perlawanan masyarakat adat terhadap kolonisasi, ekosida, dan genosida selama sejarah kapitalisme global (WinonaLaDuke, All Our Relations: Native Struggles for Land and Life,1999).

Pada praktik penegakan hukum, mengkombinasikan pendekatan hukum progresif dengan sudut pandang kriminologi hijau akan melahirkan keputusan-keputusan hukum pidana lingkungan yang progresif.

Dalam ide pembaruan hukum, memasukan nilai karbon hutan, gambut dan mangrove sebagai kerugian lingkungan hidup yang dihitung sebagai satu kesatuan dengan kerugian negara dalam kasus kejahatan lingkungan oleh korporasi tanpa harus dipisah juga adalah tergolong satu gagasan progresif di masa depan dalam mengakomodasi pemikiran krimonologi hijau masuk dalam sistem pembuktian kejahatan lingkungan.

Mengakui hak gugat lingkungan aktivis dan NGO lingkungan dan melindungi mereka dari bahaya perlawanan balik dan kriminalisasi adalah manifestasi dari pemikiran kriminologi hijau yang mendorong segala bentuk ancaman dan kekerasan terhadap kelompok lingkungan sebagai kejahatan lingkungan.

Sehingga, apakah kita sudah berada dijalur yang tepat untuk itu? Sebab, ledakan perubahan iklim tengah berada tepat di depan mata.*

*Advokat dan mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jambi

avatar

Redaksi