John Lennon; “Megalomania” Dan “Delusi”
Budaya & Seni
May 30, 2023
Jon Afrizal
Seorang pria menutupi telinganya saat 18.000 penggemar berteriak bereaksi terhadap The Beatles di Hollywood Bowl, California, selama tur konser mereka di AS pada 23 Agustus 1964. (Photo credit: AP Photo / National Archives / Wikimedia Commons)
PADA pertengahan tahun 1960-an, The Beatles mendunia. Band pop(uler) yang terdiri dari empat orang pria asal Liverpool, Inggris ini memiliki banyak penggemar.
Konser-konser The Beatles, baik di Inggris, dan setelah itu di Amerika ditonton oleh ratusan ribu orang, dan bahkan mendekati angka 1 juta orang. Kondisi yang cukup mencengangkan kala itu. Dimana para penggemar berteriak histeris, baik ketika konser ataupun ketika melihat empat pria dengan dandanan khas rambut poni ini.
Penggemar The Beatles mendapat julukan Beatlemania. Demikian julukan yang diberikan untuk mereka yang bahkan tidak mendengarkan The Beatles bernyanyi ketika konser, melainkan hanya mendengar suara teriakan histerisnya sendiri.
Beatlemania, sebuah kata yang berasal dari gabungan dua kata: Beatles dan Megalomania. Ini adalah kata yang dapat menggambarkan betapa tergila-gilanya para fans terhadap band yang dikenal dengan lagu Twist and Shout ini.
Menurut Merriam-Webster Dictionary, megalomania, sebagai kata benda adalah penyakit mental delusi yang ditandai dengan perasaan kemahakuasaan dan keagungan pribadi.
Sementara menurut alodokter.com, delusi adalah kondisi di mana penderitanya tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak. Orang yang mengalami gangguan delusi sering kali akan menganggap apa yang dialami, dilihat, atau didengarnya benar-benar terjadi dan meyakinkan orang lain bahwa hal tersebut adalah fakta.
Dan inilah yang terjadi dengan The Beatles dan penggemarnya. Dimanapun The Beatles hadir, penggemarnya berdesakan untuk melihat band ini. Pingsan adalah hal yang biasa, sebuah kondisi dimana seseorang melihat sesuatu yang selama ini diidamkan dan ternyata benar-benar hadir di depan mata.
The Beatles telah memberikan kesempatan bagi remaja perempuan di Inggris untuk menunjukkan daya beli, dan juga untuk mengekspresikan hasrat seksual-nya di depan umum. Sungguh, bertentangan dengan kondisi di sana pada saat itu, yang memiliki kecenderungan ortodoksi dan aristokrasi.
Kesan yang diberikan The Beatles adalah menunjukkan keacuhan dan pengabaian terhadap pendapat orang dewasa dan gagasan moralitas para orang tua.
Kita akan melihat kondisi ini sebagai sesuatu yang telah lama diinginkan, dan baru dapat diraih pada saat ini, misalnya. Atau, mempertentangkan nilai-nilai masa lalu yang dianggap kuno oleh generasi muda.
Tetapi, ini adalah, ehm, kewajaran. Sebab muda cenderung memiliki sifat dan sikap sendiri, yang kadang bertentangan denga nilai-nilai sebelumnya.
The Beatles menerima pukulan palsu dari Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali, saat mengunjungi penantang kelas berat itu di kamp pelatihannya di Miami Beach, Florida, pada 18 Februari 1964. (Photo credit: AP Photo / National Archives / Wikimedia Commons)
Sejarah mencatat ketika The Beatles manggung secara live di The Ed Sullivan Show tanggal 9 Februari 1964, diperkirakan 73 juta orang menonton konser mereka. Artinya, sebanyak 45 persen rumah tangga dengan televisi di AS menonton The Beatles. Wow, sungguh sebuah rekor baru saat itu.
Bob Stanley, seorang penulis dan musisi yang sejaman, mendeskripsikan bahwa The Beatles mewakili pembebasan terakhir bagi para remaja dan secara efektif menandakan akhir dari Perang Dunia II di Inggris.
Sebagai sebuah pribadi yang dikelilingi oleh jutaan fans, terdapat rasa lebih bagi anggota The Beatles. Atau, karena kondisi ini, katakanlah, sebuah kesombongan.
John Lennon, vokalis utama The Beatles, pada tahun 1966 secara kontroversial mengatakan bahwa saat itu The Beatles lebih populer ketimbang Yesus. Sungguh, pernyataan yang terlalu berani dan menyakiti ketaatan beragama di Inggris.
Mungkin, ini adalah pernyataan pribadi John Lennon saja. Tapi, sebagai figur publik, yang harus dipahami, pernyataan John Lennon telah dianggap mewakili The Beatles.
Efek dari pernyataan ini, langsung atau tidak langsung, telah membuat The Beatles semakin terjerat dalam pemberontakan massa, kekerasan, reaksi politik, dan berakibat pada ancaman pembunuhan, serta pertunjukan yang lebih ekstrem seperti pemujaan selayak dewa.
Ada beberapa sebab yang enggan untuk diungkapkan pemerhati sejarah dan musik terkait kondisi The Beatles ketika jaya. Yakni, uang yang berlimpah untuk membeli apa saja yang diinginkan, dan perempuan-perempuan yang tergila-gila pada mereka.
Selain itu, adalah karena penggunaan marijuana, dan obat penenang seperti LSD. Dimana penggunaannya sedang marak saat itu, sebagai sisi yang konfrontatif dari mereka yang menolak perang.
LSD menurut healthline.com atau biasa dikenal sebagai acid (asam) adalah obat halusinogen kuat yang terbuat dari asam lisergat, dan jamur yang tumbuh pada biji-bijian seperti gandum hitam. Anda mungkin juga mendengar sebutan lain, seperti titik atau lucy.
Penggunaan LSD juga kerap disebut sebagai sebuah perjalanan. Dimana penggunanya merasakan kondisi sedang berada pada sebuah perjalanan yang sangat liar, meskipun senyatanya tidak selalu terkait dengan hal-hal yang bagus, tetapi juga hal yang jelek.
Perjalanan ini, pada beberapa situasi digambarkan sebagai hal yang irrasional, seperti kebangkitan secara spiritual, kematian, perjalanan menuju surga atau bahkan ke neraka. Dan semua seolah nyata.
Penggambaran ini seperti yang tetera dalam lirik lagu Lucy In The Sky With Diamond, yang ditulis John Lennon bersama dengan Paul Mc Cartney.
“Follow her down to a bridge by a fountain
Where rocking horse people eat marshmallow pies
Everyone smiles as you drift past the flowers
That grow so incredibly high”
Lagu yang berada di di album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band ini, berkali-kali disanggah John Lennon, adalah lagu yang terkait dengan halusinogen atau LSD. Tetapi, kata John Lennon, karena ia sedang terpengaruh pada novel karya Lewis Carroll, Alice in Wonderland.
Namun,novel Alice In Wonderland sendiri, seperti yang kita ketahui, adalah kisah perjalanan seorang anak kecil yang terjebak ke dalam sebuah lobang dengan kondisi yang aneh dan membingungkan. Kondisi yang ia sendiri sadari itu adalah irrasional, yang bertentangan dengan nilai-nilai umum, namun nyata.
Keadaan di tahun 1960-an adalah gambaran lengkap tentang putus asa para remaja di belahan dunia barat secara massal terhadap perang. Perang dunia kedua yang baru usai, dan telah menghilangkan 62.537.400 nyawa, atau 3.17 persen dari total populasi manusia di dunia saat itu, yakni 1.971.470.000 jiwa, menurut wikipedia.org.
Pada album solonya, John Lennon membuat lagu I Don’t Wanna Be a Soldier, Mama, yang memberi kesan frustasi terhadap kondisi wajib militer dan Perang Vietnam.
Lirik dari lagu yang adalah judul lagu itu, I Don’t Wanna Be a Soldier, Mama dan dinyanyikan berulang kali, dimana Ben Gerson dari majalah Rolling Stone menggambarkan tarikan vokal John Lennon sebagai ungkapan penderitaan yang panjang dan mengerikan.
Jika, The Beatles adalah penggambaran kegandrungan ala remaja yang sedang mencari identitas diri, maka John Lennon adalah pengaruh dari ideologi politik.
The Beatles memasuki masa suram dan dinyatakan bubar, dan album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band yang dirilis pada tahun 1967 ini adalah album terakhir mereka.
Bersama Yoko Ono, seorang pelukis berdarah Jepang, yang kemudian menjadi istrinya, John Lennon memiliki aktivitas baru: kegiatan-kegiatan anti perang. Diskusi dan demonstrasi.
Mereka berdua menggabungkan diri dengan gerakan sipil yang cenderung keras untuk menentang invasi Amerika di Vietnam. Dengan lagu andalannya, Give Peace A Chance, telah menjelaskan sikap politiknya pada kondisi saat itu.
Disini, kita masih melihat adanya sikap megalomania dan delusi yang dipancarkan John Lennon terhadap banyak orang. Atau, katakanlah, penggemarnya.
Tentang ketakutan dari pihak pendukung perang, yakni pemerintah Amerika Serikat dimana John Lennon bertempat tinggal, bahwa John Lennon dapat mempengaruhi orang banyak dengan kata-kata dan lirik lagunya yang menyihir.
Artinya, akan semakin banyak massa anti-perang dan tidak mendukung kebijakan invasi Amerika Serikat ke Vietnam, dibawah perintah Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu.
Jon Wiener, sejarahwan yang menulis Gimme Some Truth: The John Lennon FBI Files menyatakan Federal Bureau of Investigation (FBI) menempatkan John Lennon di bawah pengawasan, dan Immigration and Naturalization Service (INS) mencoba mendeportasinya setahun setelah John Lennon berada di New York, pada tahun 1972.
Bahkan, untuk menulis buku tersebut, Jon Wiener membutuhkan waktu selama 14 tahun. Perjuangan untuk mendapatkan akses ke file-file rahasia FBI tentang John Lennon. Alasan FBI, dokumen itu, jika dibuka, akan membahayakan keamanan nasional.
Delusi telah dipancarakan John Lennon kepada banyak orang. Meskipun itu, bagi beberapa orang dianggap tidak masuk akal. Tapi bagi yang lainnya, gabungan dari megalomania dan delusi adalah sesuatu yang nyata. Sama nyatanya dengan John Lennon yang melegenda dan lirik-lirik anti-perang yang ditulisnya.*