Zona Merah Pertamina; Kacaunya Administrasi Negara?
Daulat
December 15, 2025
Kidung Paramitha/Kota Jambi

Jungkat-Jungkit, mesin bor minyak bumi peninggalan Hindia Belanda di sekitar pemukiman warga di Kenali Asam. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Ketika dua gajah berperang, pelanduk yang mati di tengah-tengah”.
WARGA yang berada di “Zona Merah Pertamina” di tujuh kelurahan di Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi, hingga hari ini masih menuntut kepada Pertamina Hulu Rokan Jambi agar membatalkan klaim sepihak atas status tanah mereka, dan mengeluarkan tanah mereka dari “zona merah”. Sebab, umumnya, warga memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ketujuh kelurahan yang masuk zona merah Pertamina itu, yakni; Simpang III Sipin (74 bidang), Mayang Mangurai (64 bidang), Kenali Asam (1.843 bidang), Kenali Asam Bawah (1.314 bidang), Kenali Asam Atas (645 bidang), Paal Lima (918 bidang), dan Suka Karya (648 bidang).
Mengutip laman ATRBPN, terdapat tujuh jenis Sertifikat Tanah, dimana satu diantaranya adalah Sertifikat Hak Milik (SHM). SHM adalah jenis hak atas tanah yang paling kuat dan penuh yang diakui oleh hukum agraria Indonesia. Pemegang SHM memiliki hak penuh atas penggunaan, pengelolaan, pemindahan, dan pengalihan tanah tersebut.
Adapun karakteristiknya; berlaku seumur hidup dan dapat diwariskan, tidak memiliki batas waktu penggunaan, dapat dijadikan agunan atau jaminan pinjaman, dan, tidak bisa dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) atau badan hukum asing.
Dasar Hukum SHM adalah Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), yakni; “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.”
Lalu, PP No. 24 Tahun 1997 tentang “Pendaftaran Tanah” dan Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2010 tentang “Standar Pelayanan Pertanahan”.
SHM dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum tertentu, misalnya; koperasi atau yayasan keagamaan, dengan ketentuan khusus berdasarkan PP No. 38 Tahun 1963.
SHM diperoleh dari pembelian tanah dengan status SHM, peningkatan dari SHGB (Hak Guna Bangunan) menjadi SHM, warisan, dan hibah.
SHM dianggap kepemilikan tanah paling aman dan kuat. Juga memiliki kekuatan hukum tertinggi dibanding jenis sertifikat lain. Dan, nilai jual dan investasi paling tinggi.
Terkini, pada Rabu (10/12), warga melakukan aksi demonstrasi ke di Kantor Pertamina EP Rokan Jambi dan kantor DPRD Kota Jambi.
Mungkin saja, ada dugaan bahwa pada masa lalu terjadi kekacauan pencatatan aset antar instansi minyak dan gas (migas) dan pertanahan. Pun juga dapat terjadi bahwa terdapat tanah warga yang pernah dianggap sebagai wilayah operasi migas, tapi tanpa dokumentasi pembebasan yang jelas.
Namun, jika tanah warga telah memiliki SHM, maka tentunya telah melalui proses resmi secara negara. Pun juga telah diverifikasi, dicocokkan, dan disetujui oleh instansi pertanahan, untuk kemudian diterbitkan sertifikatnya.
Dan, karena telah SHM, kemudian, adalah lumrah jika beberapa sertifikat itu digunakan warga untuk menunjang kebutuhan ekonomi. Seperti; jaminan bank, pembangunan rumah, warisan resmi, dan transaksi jual beli.

Kenali Asam Atas, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi. (credits: Google Maps)
Sejatinya, tanah warga berada di kawasan terbatas atau kawasan migas berisiko tinggi. Dimana, seperti klaim Pertamina, sebanyak 5.600 bidang tanah masuk ke kawasan migas.
Meskipun, masyarakat telah beberapa generasi tinggal di kawasan itu.
Direktur Yayasan Perjuangan Rakyat Indonesia Untuk Bumi (PRI Bumi) Kms Khairudin, mengatakan persoalan “zona merah Pertamina “ini tidak dapat disederhanakan menjadi persoalan teknis migas semata. Sebab, katanya, ini adalah indikasi serius adanya cacat administrasi negara yang merugikan ribuan warga.
“Penetapan zona merah tanpa sinkronisasi data pertanahan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Dan, negara tidak boleh menyandera hak rakyat hanya karena ketidaktertiban administrasi masa lalu,” katanya, mengutip VOJ News.
Sebab, katanya, SHM diterbitkan oleh negara. Dan jika SHM itu bermasalah, maka, artinya, sistem administrasi negara telah gagal melakukan sinkronisasi data aset migas dan tanah permukiman.
Seorang warga, Muji, warga Perumahan Kenali Pratama, Kenali Atas, Kota Jambi, misalnya. Ia membeli rumah secara resmi melalui lelang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jambi pada 2002 lalu.
Namun, ketika ia hendak menjual rumahnya, pada tahun 2003, pihak BPN menyatakan bahwa sertifikat miliknya tidak dapat diproses.
“Menurut BPN, sebanyak 20 persen dari total bidang tanah milik saya dikategorikan masuk dalam zona merah Pertamina,” katanya, mengutip Pilar Daerah.
Field Manager PEP Jambi, Kurniawan Triyo Widodo, mengatakan bahwa seluruh kegiatan operasional Pertamina berjalan sesuai dengan aturan. Bahwa aset yang digunakan sepenuhnya adalah milik negara dan berada di bawah pengelolaan Kementerian Keuangan.
“Penggunaannya dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Sehingga, PEP Jambi memastikan akan tetap membuka ruang koordinasi dengan pemerintah daerah, kementerian/lembaga, serta pihak-pihak terkait lainnya untuk mencari solusi terbaik.
“Kami ingin memastikan keselamatan, kepastian hukum, keamanan, dan keberlangsungan aktifitas masyarakat tetap terjaga di sekitar wilayah kerja,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Jambi Kemas Faried Alfarelly mengatakan DPRD Kota Jambi akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) di awal tahun 2026, guna menyikapi polemik zona merah di kawasan PT Pertamina EP Jambi.
“Dari polemik yang disebut klaim zona merah di kawasan PT Pertamina EP Jambi itu, terdapat ribuan bidang tanah warga yang memiliki legalitas sertifikat hak milik tapi diduga berada dalam wilayah kerja Pertamina,” katanya, mengutip IMC News.
Faried mengatakan konflik kepemilikan yang melibatkan aset negara dan masyarakat itu telah berlangsung sejak tahun 1988 lalu. Namun, baru mencuat karena ada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari 2020 hingga 2023.
Temuan BPK, katanya, meminta PT Pertamina untuk menilai ulang aset yang dikelola. Termasuk kawasan yang kini diakui masyarakat sebagai lahan tempat mereka tinggal sejak lama.
“Penandaan aset negara di kawasan itu lemah dan masyarakat tidak pernah diberi informasi jelas bahwa lahan tersebut merupakan aset negara atau berada dalam penguasaan PT. Pertamina EP Jambi,” katanya.
Lantas, jika lembaga-lembaga negara tidak sinkron terkait data, maka rakyat adalah ibarat pepatah Melayu, “Ketika dua gajah berperang, pelanduk yang mati di tengah-tengah”.
Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan, bahwa, “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dan, hakikinya, sudah semestinya demikian.*
