Berpacu Ketepatan Dalam Pesan Digital

Inovasi

September 23, 2023

Jon Afrizal

WAKTU semakin sempit. Setiap orang tidak leluasa lagi untuk meluangkan waktu yang terlalu banyak hanya untuk membaca koran. Seiring kehidupan yang menuntut begitu banyak kegiatan.

Pola hidup ini pun beriringan dengan perubahan terhadap penyajian sebuah berita. Banyak media yang telah mulai memaksakan diri dengan perilaku ini, sejak awal 2000-an lalu.

Penyajian berita berfokus pada lead, atau paragraf pertama. Jika seorang pembaca tertarik dengan lead berita, maka, ia akan melanjutkan membaca berita itu hingga tanda titik (.) di akhir berita.

Sehingga rumusan umum dalam pembuatan berita pun harus mengikutinya. Sebab, semua orang menggantungkan diri kepada sesuatu yang masuk akal, atau nalar.

Nalar, adalah sebuah pola pemikiran yang bertumpu kepada ilmu pengetahuan. Sehingga, 5W 1H plus Nalar.

Kalimat pembuka seperti, “Seperti yang kita ketahui …” Tentu saja sangat tidak bernalar. Sebab, untuk apa kita harus membaca sesuatu hal yang telah kita ketahui, secara berulang kali, seumpama anak sekolah yang sedang menghapal pelajaran.

Perlu trik-trik baru, tentu saja. Seperti memulai lead berita dengan langsung menuju persoalan utama. Termasuk sedikit uraian yang bernalar.

Selain straight news, masih didapat cara lain untuk menarik minat pembaca untuk membaca berita yang khusus. Yup, feature.

Feature adalah kekuatan seorang penulis untuk bercerita dengan sangat memikat. Sehingga pembaca akan larut, ikut masuk ke dalam kisah itu, dan merasakan apa yang terjadi.

Ada kemungkinan lain, untuk mengikat pembaca untuk membaca lebih lama. Feature yang dikemas dengan indepth reporting.

Mungkin saja, ada beberapa orang yang menyebutnya investigasi. Tetapi, di sini, kita gunakan istilah indepth reporting saja.

Di sini, jurnalis dituntut untuk mengungkap banyak sisi yang tidak terungkap di sebuah berita. Sisi yang mengikat pembaca untuk memahami persoalan secara tuntas.

Selain data dan fakta, harus juga diberikan analisa. Analisa adalah cara pembedah persoalan dengan menggunakan sebilah pisau genre ilmu pengetahuan tertentu.

Semisal, story tentang indigenous people. Analisa yang digunakan harus dengan menggunakan sosiologi, antropologi, atau ilmu lingkungan.

Berdasarkan analisa yang tajam, jurnalis membuka jalan bagi pembaca untuk memahami persoalan. Sehingga, di akhir story, pembaca akan mengambil kesimpulan.

Tata bahasa yang mengayun selayak sastra, tentu akan sangat menarik minat. Terlebih jika dimulai dengan kutipan dalam bahasa asli, yang tentunya harus ditanslate ke bahasa Indonesia, jika media itu adalah media berbahasa Indonesia.

Persoalannya, untuk mendapat sebuah story butuh waktu yang tidak singkat. Sehingga butuh perencanaan yang matang.

Narasumber pun harusnya lebih diri dua orang. Selain juga kunjungan ke lokasi, yang tidak jarang, dengan jarak tempuh yang jauh dan butuh waktu lama.

Data yang lengkap tentu mendukung, ditambah fakta di lapangan. Tetapi, ini jaman digital. Setiap jurnalis dituntut untuk memahaminya.

Sehingga, selain tulisan, poto-poto, peta dan video berdurasi pendek sangat mungkin untuk menambah nilai story, dan membuat pembaca larut makin dalam.

Hal utama dari sebuah berita atau story adalah “menyampaikan pesan”. Pesan yang ingin disampaikan itu, tentunya bukan sejenis “message in the bottle”, yang tidak diketahui siapa yang akan menerima, dan kapan waktunya.

Di dekade ‘90-an hingga 2000-an lalu, terdapat sebuah gerakan indigenous people di Mexico, mereka adalah “Zapatista”. Dalam menyampaikan pesan-pesannya, agar dunia mengetahui keberadaan dan perjuangan mereka, mereka menggunakan media internet.

Sewaktu itu, intenet di sini masih menjadi barang yang mahal dan tidak berada digenggaman smartphone. Gerakan mereka terkenal dengan sebutan “cyber war”.

Mereka memanfaatkan internet semaksimal mungkin. Mulai dari website hingga blog. Dan, pesan pun menjelajah hingga ke luar benua Amerika.

Persoalan ini yang seharusnya disadari jurnalis sedari awal, ketika hendak menulis sebuah story. Yakni, pesan apa yang ingin disampaikan.

Jika kita ingin menyajikan story tentang indigenous people, kita harus memilih, pesan utama apa yang akan kita sampaikan. Apakah itu tentang ketergantungan mereka terhadap biodiversity, misalnya.

Sedapat mungkin, jurnalis menggali sangat dalam antara hubungan sebuah kelompok indigenous people terhadap biodiversity. Mulai dari tumbuhan yang biasa mereka gunakan sebagai obat hingga makanan yang mereka makan.

Sehingga, pesan terselubung dari itu semua, adalah perlunya menjaga lingkungan yang baik, mungkin kelompok hutan tempat mereka hidup. Ketersambungan antar itu semua adalah menganalisa tentang budaya mereka dalam mencari dan membuat makanan hingga tumbuhan yang biasa mereka gunakan. Tetapi, karena land clearing, misalnya, tumbuhan itu satu per satu mulai musnah.

Kesimpulan dari story itu, adalah memaksa orang lain untuk ikut andil menyelamatkan kelompok hutan mereka, bisa saja pemerintah tingkat lokal hingga pemerintah pusat.

Sebab, jika tidak ada yang peduli, maka, semua orang telah melakukan pembiaran terhadap musnahnya satu kelompok indigenous people. Mengerikan? Itulah tugas jurnalis saat ini. *

avatar

Redaksi