Bagaimana Cara Anak-Anak Peburu-Peramu Belajar?

Hak Asasi Manusia

September 5, 2024

Peter Gray*

Anak laki-laki indigenous people Batin Sembilan di Sungai Meranti, Hutan Harapan. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Selama ratusan ribu tahun hingga kemudian pertanian ditemukan sekitar 10.000 tahun yang lalu, kita semua adalah hunter-gatherer (peburu-peramu). Naluri manusiawi kita, termasuk semua cara naluriah yang dengannya kita belajar, muncul dalam konteks cara hidup yang demikian. Lalu, Bagaimana anak-anak pemburu-peramu belajar apa yang perlu mereka ketahui untuk menjadi orang dewasa yang efektif dalam budaya mereka?

PADA paruh terakhir abad ke-20, para antropolog menemukan dan mengamati banyak kelompok orang di bagian terpencil Afrika, Asia, Australia, Nugini, Amerika Selatan, dan di tempat lain yang tetap mempertahankan kehidupan berburu dan meramu, yang hampir tidak terpengaruh dengan cara hidup modern.

Meskipun masing-masing kelompok yang dipelajari memiliki bahasa sendiri dan tradisi budaya yang berbeda, berbagai kelompok memiliki banyak kesamaan serupa dalam hal-hal mendasar yang memungkinkan kita untuk berbicara tentang “cara hidup peburu-peramu” secara umum.

Di mana pun mereka ditemukan, pemburu-peramu tinggal di kelompok-kelompok nomaden kecil, yang terdiri dari sekitar 25 hingga 50 orang per kelompok, yang membuat keputusan secara demokratis, memiliki sistem etika yang berpusat pada nilai-nilai egalitarian dan saling berbagi, dan memiliki tradisi budaya yang kaya yang mencakup musik, seni, permainan, tarian, dan berdongeng.

Untuk melengkapi apa yang dapat kami temukan dalam literatur antropologis, beberapa tahun yang lalu Jonathan Ogas dan saya sendiri, menghubungi sejumlah antropolog yang hidup di antara para peburu-peramu dan meminta mereka untuk menjawab kuesioner tertulis tentang pengamatan mereka terhadap kehidupan kanak-kanak.

Sembilan ilmuwan dengan ramah menjawab kuesioner kami. Di antara mereka yang menjawabnya telah mempelajari enam budaya peburu-peramu yang berbeda-beda; tiga di Afrika, satu di Malaysia, satu di Filipina, dan satu di Papua.

Apa yang saya pelajari dari bacaan saya dan kuesioner kami sangat mengejutkan karena konsistensinya perihal budaya. Di sini saya akan merangkum empat kesimpulan, yang menurut saya paling relevan dengan masalah self-education (swa-pendidikan).

Karena saya ingin anda menggambarkan praktik-praktik ini sebagaimana yang terjadi sekarang, saya akan menggunakan kata yang menggunakan waktu sekarang (present tense) dalam menggambarkannya, meskipun praktik-praktik dan budaya-budaya itu sendiri sebagian besar telah dihancurkan dalam beberapa tahun terakhir akibat gangguan dari dunia “yang lebih maju” yang ada di sekitar mereka.

Adalah suatu kesalahan jika kita mengira bahwa pendidikan bukan hal penting bagi para pemburu-peramu karena kita mengira bahwa mereka tidak perlu belajar banyak. Bahkan, mereka sebenarnya perlu belajar banyak sekali.

Untuk menjadi pemburu yang efektif, anak laki-laki harus mempelajari kebiasaan dari dua atau tiga ratus spesies yang berbeda dari mamalia dan burung yang diburu oleh kelompok; ia harus tahu cara melacak seperti bermain dengan menggunakan petunjuk sekecil apa pun; harus dapat membuat alat perburuan dengan sempurna, seperti busur, sumpit, dan anak panah, juga jerat atau jaring; dan harus sangat mahir dalam menggunakan alat-alat itu.

Untuk menjadi pengumpul yang efektif, anak perempuan harus belajar tentang akar, umbi, kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran hijau yang tak terhitung jumlahnya di daerah mereka yang dapat dimakan dan bergizi, kapan dan di mana menemukannya, bagaimana cara mereka menggali akar dan umbi-umbian, cara mengekstraksi bagian yang dapat dimakan secara efisien pada biji-bijian, kacang-kacangan, dan serat tanaman tertentu, dan dalam beberapa kasus cara mengolahnya agar dapat dimakan atau meningkatkan nilai gizinya.

Kemampuan ini termasuk keterampilan fisik, diasah oleh praktik selama bertahun-tahun, serta kapasitas untuk mengingat, menggunakan, menambah, dan memodifikasi banyak pengetahuan verbal yang dibagikan secara kultural tentang bahan makanan.

Selain itu, anak-anak pemburu-pengumpul harus belajar bagaimana menavigasi wilayah untuk mencari makan mereka yang besar, membangun gubuk, membuat api, memasak, menangkis predator, memprediksi perubahan cuaca, mengobati luka dan penyakit, membantu kelahiran, merawat bayi, menjaga harmoni dalam kelompok mereka, bernegosiasi dengan kelompok-kelompok tetangga, bercerita, membuat musik, dan terlibat dalam berbagai tarian dan ritual budaya mereka.

Karena ada sedikit spesialisasi di luar laki-laki sebagai peburu dan perempuan sebagai pengumpul, setiap orang harus mempelajari keseluruhan pengetahuan dan keterampilan budaya yang ada dalam kelompoknya.

Meskipun anak-anak peburu-peramu harus belajar banyak, peburu-peramu tidak memiliki apa pun seperti halnya sekolah. Orang dewasa tidak membuat kurikulum, atau berusaha memotivasi anak-anak untuk belajar, atau memberikan pelajaran, atau memantau kemajuan anak-anak.

Ketika ditanya bagaimana anak-anak mempelajari apa yang perlu mereka ketahui, orang dewasa pemburu-peramu selalu menjawab dengan kata-kata yang pada dasarnya berarti: “Mereka mengajar diri mereka sendiri melalui pengamatan, permainan, dan eksplorasi mereka.”

Kadang-kadang bisa saja orang dewasa menawarkan nasihat atau menunjukkan cara melakukan sesuatu yang lebih baik, seperti cara membentuk panah, tetapi bantuan tersebut hanya diberikan ketika anak itu menginginkannya. Orang dewasa tidak memulai, mengarahkan, atau mengganggu kegiatan anak-anak.

Orang dewasa tidak menunjukkan tanda khawatir tentang pendidikan anak-anak mereka; ribuan tahun pengalaman telah membuktikan kepada mereka bahwa anak-anak adalah seorang yang ahli dalam mendidik diri mereka sendiri.

Menanggapi pertanyaan kami tentang berapa banyak waktu yang dimiliki anak-anak untuk bermain, para antropolog yang kami survei dengan suara bulat menunjukkan bahwa anak-anak pemburu-pengumpul yang mereka amati sebagian besar bebas bermain sepanjang waktu jika bukannya bermain seharian, setiap hari. Beberapa respons yang khas dari pengamatan tersebut adalah sebagai berikut.

Bahwa menurut Karen Endicott, anak-anak suku Batek bebas bermain hampir sepanjang waktu; tidak ada yang mengharapkan anak-anak melakukan pekerjaan serius sampai mereka berusia akhir belasan tahun.

Sedangkan menurut Alan Barnard, baik perempuan maupun laki-laki di antara suku Nharo hampir setiap hari bebas bermain.

Lalu, menurut Robert Bailey, anak laki-laki Suku Efe bebas bermain hampir sepanjang waktu sampai usia 15 hingga 17 tahun; untuk anak perempuan hampir sepanjang hari, di antara beberapa tugas dan beberapa pengasuhan anak, dihabiskan untuk bermain

Selanjutnya, menurut Nancy Howell, anak-anak Suku !Kung bermain dari fajar hingga senja.

Kebebasan yang dinikmati anak-anak peburu-peramu untuk mengejar minat mereka sendiri sebagian berasal dari pemahaman orang dewasa bahwa cara mengajar semacam itu adalah jalan paling pasti menuju pendidikan.

Pemahaman itu juga datang dari semangat umum egalitarianisme dan otonomi pribadi yang meliputi budaya pemburu-peramu dan berlaku sebanyak mungkin untuk anak-anak hingga orang dewasa.

Orang dewasa peburu-peramu memandang anak-anak mereka sebagai individu yang utuh, dengan hak-hak yang sebanding dengan orang dewasa. Asumsi mereka adalah bahwa anak-anak akan, atas kemauan mereka sendiri, mulai berkontribusi pada ekonomi kelompok ketika mereka siap secara perkembangan untuk melakukannya.

Tidak perlu membuat anak-anak atau orang lain melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Sungguh luar biasa untuk berpikir bahwa naluri kita untuk belajar dan berkontribusi pada komunitas, berkembang di dunia di mana naluri kita dipercaya.

Anak-anak peburu-pengumpul tidak pernah terisolasi dari kegiatan orang dewasa. Mereka mengamati secara langsung semua yang terjadi di perkemahan-persiapan untuk pindah, membangun gubuk, membuat dan memperbaiki alat dan artefak lainnya, persiapan dan memasak makanan, perawatan bayi, tindakan pencegahan terhadap predator dan penyakit, bergosip dan diskusi, berargumen dan politik, tarian dan perayaan.

Mereka terkadang menemani orang dewasa dalam perjalanan mengumpulkan makanan, dan pada usia 10 atau lebih, anak laki-laki kadang-kadang menemani pria dalam perjalanan berburu.

Anak-anak tidak hanya mengamati semua kegiatan ini, tetapi mereka juga memasukkan apa yang mereka amati ke dalam permainan mereka, dan melalui permainan itu mereka menjadi terampil dalam kegiatan tersebut. Seiring bertambahnya usia, permainan mereka berubah secara bertahap menjadi hal yang nyata.

Tidak ada pembagian yang tajam antara partisipasi main-main dan partisipasi yang nyata dalam kegiatan yang dihargai kelompok.

Sebagai contoh, anak laki-laki yang suatu hari dengan senang hati berburu kupu-kupu dengan busur dan anak panah kecil mereka, pada hari berikutnya, bermain-main dengan berburu mamalia kecil dan membawanya pulang untuk makan, dan pada hari berikutnya bergabung dengan pria dalam perjalanan berburu yang sebenarnya, dan itu masih dilakukan dengan semangat bermain.

Sebagai contoh lain, anak laki-laki dan perempuan umumnya membangun gubuk-gubuk bermain, meniru gubuk asli yang dibangun orang tua mereka.

Dalam tanggapannya terhadap kuesioner kami, Nancy Howell menunjukkan bahwa anak-anak suku !Kung biasanya bermain pondok-pondokan yang dibangun meniru seluruh kehidupan desa beberapa ratus meter dari desa yang asli.

Desa bermain itu kemudian menjadi taman bermain di mana mereka memerankan banyak jenis adegan yang mereka amati di antara orang dewasa.

Para responden survei kami juga merujuk pada banyak contoh lain dari kegiatan orang dewasa yang dihargai yang ditiru secara teratur oleh anak-anak dalam permainan.

Mulai dari menggali akar, memancing, mengasapi lubang landak, memasak, merawat bayi, memanjat pohon, membuat tangga pohon anggur, menggunakan pisau dan alat-alat lain, membawa beban berat, membangun rakit, membuat api, mempertahankan diri dari serangan predator, meniru cara mengidentifikasi hewan dan mempelajari kebiasaan mereka, membuat musik, menari, mendongeng, dan berdebat, semuanya disebutkan oleh satu atau lebih responden kuesioner kami.

Karena semua permainan ini terjadi dalam campuran usia campuran, anak-anak yang lebih kecil terus-menerus belajar dari anak-anak yang lebih tua.

Tidak ada yang harus memberi tahu atau mendorong anak-anak untuk melakukan semua ini. Mereka melakukannya secara alami karena, seperti anak-anak di manapun itu, tidak ada yang lebih mereka inginkan daripada untuk tumbuh dewasa dan menjadi seperti orang dewasa yang berhasil yang mereka lihat di sekitar mereka.

Keinginan untuk tumbuh dewasa adalah motif kuat yang menyatu dengan dorongan untuk bermain dan mengeksplorasi dan memastikan bahwa anak-anak, jika diberi kesempatan, akan terus-menerus mempraktikkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk berkembang menjadi orang dewasa yang efektif. *

*Peter Gray, Profesor Riset Psikologi di Boston College, spesialis dalam psikologi perkembangan dan evolusioner. Tulisan dengan judul asli “The Wisdom of Gather-Hunterer” ini diterjemahkan pertama kali oleh Bima Satria Putra, dan diedit oleh Amira.

avatar

Redaksi