Otonomi ala Adityawarman Dan Dara Jingga
Daulat
June 4, 2024
Jon Afrizal
Potongan dari bagian belakang sebuah patung dengan bahan perak, ditemukan sebelum tahun 1930. (credits: Universiteit Leiden)
“Sekitar sepuluh hari kedatangan rombongan yang bertugas ke Malayu, diperoleh dua orang putri, seorang bernama Dara Petak, ia diperisteri oleh Raden Wijaya, putri tua bernama Dara Jingga bersuamikan dewa (manti) anaknya menjadi raja di Malayu. Diberi nama Tuan Janaka, masih bersaudara dengan Sri Warmadewa; gelarnya Aji Mantolot. Peristiwa Pamalayu dan Patumapel bersamaan tahun saka: pendeta-sambilan-samadi, 1197.” – Pararaton
TUAN Janaka mendirikan kerajaan dan memimpin wilayah bagian tengah Sumatera antara tahun 1347 dan 1375 Masehi. Demikian sebagaimana ditafsirkan dari Prasasti Batusangkar.
Tuan Janaka adalah nama lain untuk Adityawarman. Dalam kasanah Hindu Budha, Adityawarman memiliki gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dalam kasanah bahasa Inggris, Adityawarman dikenal dengan sebutan Lord of the Golden Earth (penguasa bumi emas).
Pada masa itu, ia menyebut negerinya sebagai Malayapura Svarnabhumi. Selanjutnya, lebih dikenal dengan nama Pagarruyung pra Islam.
Sedangkan Pagarruyung era Islam dikenal dengan sebutan Pagaruyung Darul Qarar. Seperti tertera pada cap mohor dari Sulthan Tunggul Alam Bagagar ibnu Sulthan Khalifatullah. Cap mohor ini mengidentifikasikan sebuah kerajaan di tempat yang sama, pada masa Perang Paderi.
Pagar artinya adalah batas. Sedangkan ruyung adalah nibung (Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum), yakni sejenis tanaman palma yang banyak tumbuh di Asia.
Nama-nama negeri dalam catatan sejarah, terkadang dapat berbeda. Ini sangat terkait dengan bahasa yang digunakan dari tulisan yang ditemukan, dan juga penafsiran dari penemu dan ahli. Serta, perubahan kekuasaan dalam negeri itu sendiri.
Jika bicara prasasti dan patung, maka artinya diberlakukan pada masa Hindu-Budha. Sementara setelah Islam berkembang di Sumatera, tradisi ini tidak dikenal lagi.
Sejarah, tidak pernah saklek. Selalu butuh temuan baru, untuk membuktikan peradaban di masa lalu.
Adityawarman adalah penganut Tantrayana, yaitu suatu aliran Sinkretisme Hindu Siwa dan Budha. Secara genetik, Adityawarman berdarah Jawa dan Melayu.
Tambo Minangkabau menjelaskan batas-batas negeri itu. Negeri, jika diartikan dalam bahasa saat ini: negara atau kerajaan. Lalu, di era modern ini, terjadi nagari, tentu juga berasal dari kasanah masa lalu.
Mengacu pada Tambo, wilayah Pagarruyung adalah seperti pada tanda-tanda di alam. Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam merupakan sebuah daerah di Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo merupakan sebuah daerah di Kabupaten Bungo, Jambi. Terakhir, Aia Babaliak Mudiak merupakan kawasan di hilir Sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau saat ini.
Meskipun saling berhubungan, tetapi batas-batas ini adalah sejarah lampau. Dan, terkadang, cukup rumit jika ingin mengaitkannya dengan batas-batas provinsi seperti yang digunakan pada saat ini. Terlebih, jika hanya menggunakan ego sektoral saja.
Batas-batas ini, yang kemudian dicatat oleh Tome Pires, seorang apoteker, administrator kolonial, dan diplomat Portugis, dalam buku Suma Oriental. Buku ini ia tulis dalam perjalanan ke Melaka dan India antara tahun 1512 hingga 1515. Sayangnya, baru dapat diterbitkan pada tahun 1944.
Tanah Minangkabau, menurutnya, selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat tinggal raja, juga mencakup wilayah pesisir timur Arcat (antara Aru dan Rokan) hingga Jambi dan pesisir barat. Juga, kota pelabuhan Panchur Barus, Tiku, dan Pariaman.
Catatannya juga menyebutkan bahwa wilayah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau. Namun kemudian daerah perantauan seperti Siak (Gasib), Kampar Pekan Tua dan Indragiri kemudian dipisahkan dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.
Sebelum Pagarruyung tersebutkan dan berdiri, kerajaan ini adalah bagian dari Malayapura. Yakni kerajaan yang disebutkan dalam prasasti Amoghapasa, yang diperintah oleh Adityawarman. Adityawarman mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Wilayah Malayapura ini juga termasuk Kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan lain yang ditaklukan Adityawarman.
Adityawarman, sebagaimana terukir pada Prasasti Kuburajo, adalah putra dari Adwayawbrahma dan Dara Jingga. Dara Jingga adalah putri Kerajaan Dharmasraya, seperti yang tertera di Pararaton.
Tersebutlah dua orang puteri Melayu, yang rencananya akan dinikahkan dengan raja di Pulau Jawa, setelah Ekspedisi Pamalayu. Keduanya adalah adik-beradik Dara Jingga dan Dara Petak. Keduanya adalah putri dari Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa. Raja dari Kerajaan Dharmasraya.
Dara Jingga (Puti Reno Marak), dalam bahasa Melayu tua, berarti Merpati Merah. Sayang, belum ditemukan catatan tentang arti sebenarnya dari nama ini.
Sedangkan Dara Petak (Indreswari), secara tradisi Melayu tua, memiliki arti: puteri yang cantik jelita.
Dara Jingga adalah yang tertua. Ia, akhirnya, menikah dengan Adwayabrahma (Rakryan Mahamantri). Dalam bahasa Melayu, Adwayabrahma disebut Tuwan Bujanggo Rajo, dan dalam bahasa Jawa ia disebut Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang atau Lembu Anabrang.
Mahisa Anabrang adalah nama seorang perwira Kerajaan Singhasari yang menjadi atau ikut memimpin Ekspedisi Pamalayu, yakni pada tahun 1275 Masehi hingga 1293 Masehi.
Mengutip Kidung Panji Wijayakrama, Mahisa Anabrang lah yang kemudian membawa Dara Jingga dan Dara Petak ke Pulau Jawa. Mahisa, adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta dengan arti: pemimpin yang agung.
Tetapi, Kidung Panji Wijayakrama tidak menjelaskan siapa pemimpin dari Ekspedisi Pamalayu. Sehingga, sulit untuk menetapkan bahwa Mahisa Anabrang adalah pemimpin eskpedisi besar itu. Namun, Mahisa, dalam bahasa Jawa, artinya adalah: kerbau atau lembu.
Dengan arti Kerbau yang Menyebrang (Kebo Anabrang), dan selanjutnya, dalam sejarah, juga tertera nama dengan kata yang hampir berdekatan dan mirip, yakni Minangkabau, yang memiliki kecenderungan berasal dari dua kata: Menang dan Kerbau.
Maka sejarah setiap negeri, meskipun dipisah oleh laut, adalah saling terkait.
Sementara itu, Dara Petak, akhirnya menjadi permaisuri dari Sri Kertarajasa Jayawardhana, raja pertama Kerajaan Majapahit, atau dikenal Raden Wijaya. Raja Kertarajasa Jayawardhana adalah pendiri kerajaan Majapahit.
Dara Petak, yang dalam kasanah Jawa disebut dengan nama Indreswari, adalah satu-satunya istri Kertarajasa Jayawardhana yang bukan orang Jawa. Ia bergelar Stri tinuheng pura. Artinya kira-kira: perempuan yang paling dihormati di istana. Sehingga, banyak yang menyimpulkan Dara Petak adalah permaisuri.
Dara Petak adalah ibu dari Jayanegara, raja kedua kerajaan Majapahit. Jayanegara, dalam analisa sejarah, kemudian, diadopsi sebagai cucu oleh permaisuri Tribhuwaneswari yang tidak memiliki anak. Tujuannya agar Jayanegara dipromosikan sebagai pewaris takhta, dan, memang, pada akhirnya, Jayanegara menjadi penerus takhta Raja Kertarajasa.
Adityawarman adalah sepupu Jayanegara. Ia juga adalah wreddamantri (Menteri Senior) Kerjaan Majapahit.
Diperkirakan setelah meninggalnya Mahisa Anabrang pada 1295 Masehi, Puti Reno Marak kembali ke Sumatera. Tujuannya adalah untuk menemani putranya, Adityawarman.
Adityawarman ditunjuk oleh Raja Majapahit sebagai penguasa Sumatera. Tentunya di bawah perlindungan mandala Majapahit. Dengan tujuan, agar Adityawarman menaklukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai uparaja (raja bawahan) dari kerajaan Majapahit.
Adityawarman, pernah berserikat dengan Mahapatih Gajah Mada untuk menaklukkan Bali dan Palembang. Sehingga pembelajaran ini membuat Adityawarman memahami bahwa tidak ada laut yang dapat lepas dari pengamatan kerajaan Majapahit.
Namun tidak ada satupun prasasti yang ditinggalkan Adityawarman yang menyebutkan apapun yang berkaitan dengan Bhumi Jawa. Artinya, Adityawrman tidak melaksanakan perintah ini. Malahan, kemudian, Berita Tiongkok mencuatkan catatan bahwa Adityawarman telah mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak enam kali dalam kurun waktu 1371 Masehi hingga 1377 Masehi.
Sebagai wreddamantri, Adityawarman kemudian menggunakan kewewenangnya untuk menaklukkan wilayah di pantai timur Sumatera. Maka, bagian tengah pulau Sumatera yang adalah pegunungan dan dataran tinggi dan jauh dari laut, adalah pertahanan tersendiri baginya, untuk mendapatkan otonomi.
Sehingga terjadilah Pagarruyung pada tahun 1347, ketika ia mengangkat diri menjadi raja. Seperti yang tertera di bagian belakang Patung Amoghapasa.
Menurut Tambo Minangkabau, secara urutan kekuasaan, Dara Jingga memegang kedudukan penting di Pagarruyung. Dara Jingga diidentifikasikan sebagai Bundo Kanduang pertama. Ia adalah ibu pemimpin masyarakat Minangkabau.
Ini, tentu saja, berbeda dengan pola di kerajaan-kerajaan Jawa yang memiliki kecenderungan garis keturunan dari laki-laki. Sebagai cara bagi Adityawarman untuk menjadi otonom, dan melepaskan diri dari bayang-bayang kerajaan Majapahit.
Secara harfiah, Bundo Kanduang berarti ibu sejati atau ibu kandung. Namun, secara makna, Bundo Kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau.
Ia digambarkan sebagai sosok perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari sejak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat Minangkabau.
Sejarah, saling bertautan. Terlepas dari manis dan getir, itulah sejarah.
Minanga adalah pusat dari kekuasaan Suvarnadvipa, dan telah ada pada tahun 645 Masehi. Minanga pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, yang tertera di buku T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u.
Secara ekonomi, Adityawarman mengendalikan perdagangan emas di Sumatera. Kanakamedini adalah sebutan lain dari negeri emas dalam Parasasti Baturajo.
Emas, adalah sumber daya alam yang utama di pulau Sumatera. Dimana, dalam catatan sejarah, disebutkan, “emas mengalir bagaikan anak sungai.”
Jika dirunut, maka catatan sejarah tentang emas di Sumatera ini akan sampai kepada Raja Sulaiman (Nabi Sulaiman).
Mengutip Arif Rahman dalam Kerajaan Minangkabau Sebagai Asal-usul Kesultanan Jambi, Adityawarman memiliki dua istri. Yakni Puti Reno Jalito dan Puti Jamilan. Namun tidak dapat dipastikan siapa dari keduanya yang menjadi permaisuri.
Pertanian juga menjadi pagar yang utama dari sebuah negeri. Maka, berdasarkan Prasasti Suruaso, dijelaskan bahwa Adityawarman menyelesaikan pembangunan saluran irigasi persawahan. Dengan prasa, “kebun Nandana Sri Surawasa yang kaya padi selamanya”.
Sebelumnya, saluran irigasi ini dibangun oleh pamannya, Akarendrawarman. Akarendrawarman adalah raja sebelumnya.
Berdasarkan urutan ini, sehingga dapat dipastikan bahwa sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (keponakan) telah terjadi pada masa itu.
Meskipun, adat Minangkabau baru diterapkan oleh Kerajaan Pagaruyung setelah beradaptasi dengan lingkungan masyarakat khususnya di wilayah Luhak Nan Tigo pada awal pemerintahannya.
Setelah Adityarman mangkat pada tahun 1375, sejarah tidak lagi mencatat nama Pagarruyung. Berkemungkinan kerajaan ini terpecah dan tercerai berai, dan/atau berkamuflase menjadi kerajaan-kerajaan lain.
Setelah masa itu, terbentuklah Kerajaan Jambi.*