Ugal-Ugalan Di Jalanan Bangkok
Lifestyle
October 10, 2025
Jon Afrizal/Bangkok, Thailand

Tuk Tuk di jalanan Bangkok. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
SETIAP kota, pasti memiliki moda transportasi eksotik. Jeepney di Manila, Angkot di Jakarta, dan, here we go, “Tuk Tuk” di Bangkok, Thailand.
“Tuk Tuk” (auto rickshaw), sepertinya berasal dari bunyi kendaraan itu. Sebagai sebuah onomatope (kata peniru bunyi).
Ketika kendaraan ini berhenti melaju, dengan mesin tetap hidup, maka mesin kendaraan roda tiga ini akan mengeluarkan suara rendah yang berbunyi “Tuk Tuk”, “Tuk Tuk” dan “Tuk Tuk”.
Kendaraan ini mirip bajaj atau bemo di Jakarta. Meskipun, ukuran Tuk Tuk lebih luas, berisi satu baris kursi yang menghadap ke depan, dan kedua kaki penumpang dapat berselonjor ke arah depan.
Kendaraan ini tanpa penutup di bagian kiri, kanan dan belakang. Full angin, pokoknya.
Tawar menawar ongkos pun menggunakan bahasa yang lebih banyak bahasa isyarat, karena perbedaan bahasa sepertinya dapat ditanggulangi. Maka, dengan uang sekitar 100 baht hingga 300 baht, anda akan menikmati “Truely Bangkok”.
Mungkin saja jarak di google maps hanya 3 kilometer. Tapi realitanya, harga tergantung traffic jams, dan kelincahan drivernya.
Bangkok, sama seperti kota-kota besar lainnya, yang penduduknya terbiasa dengan budaya “Jalan Kaki”. Tetapi untuk menyeberang jalan tentu saja harus ke titik jembatan penyeberangan, dan tidak selalu mudah untuk dicapai.
Dan, jika pun driver Tuk Tuk ingin mendapat “uang lebih”, palingan hanya 20 baht atau 40 baht saja per trip. Oh ya, 1 baht setara dengan IDR 500.
Tuk Tuk yang hanya diisi oleh maksimal tiga penumpang dan satu pengendara, menyeruak di jalanan Bangkok yang padat. Ugal-Ugalan, demikian menurutku.
Tuk Tuk menyalip kiri – kanan selincah mungkin. Membuat jantung berdesir.

Suasana jalanan Bangkok, diphoto dari atas Tuk Tuk. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Tuk Tuk seolah sedang berusaha mengalahkan kendaraan apapun di jalanan kota Bangkok. Kota yang selalu ingin cepat, seperti ingin mengalahkan waktu.
Tuk Tuk, ku pikir, mirip dengan Bom Bom Car (Bumper Car). Atau, tepatnya, mungkin saja aku sedang berada di satu sesi rank match di game online Mobile Legend.
Adrenalin adalah Tuk Tuk itu sendiri. Sehingga, sangat tidak dianjurkan untuk pengidap penyakit jantung.
Cukup menarik, ketika melihat Tuk Tuk dengan santainya berlabuh tepat di depan lobi hotel tempat kami menginap di kawasan Pathum Wan, Bangkok. Sebuah distrik yang tidak terlepas dari sejarah monarki Thailand, dan kini dipenuhi oleh ekspatriat.
Resepsionis hotel pun terlihat ramah, dan menyambut kami yang sedang turun dari Tuk Tuk.
Tak lupa, juga berbincang dengan pengendara Tuk Tuk. Oh, Wonderful Thailand.
Aku sedang berpikir, bagaimana jika Angkot mengantar tamunya hingga tepat di depan lobi hotel di Jakarta, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Apakah akan mendapatkan perlakuan yang sama? Sebuah penghargaan terhadap kelokalan?

Satu sudut Bangkok. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Begitulah Thailand. Sama seperti slogan pariwisatanya, “Ketika Yang Baru dan Yang Lama Jadi Satu”.
Bangkok adalah “pusat” Asia, demikian kira-kira. Ketika gerak tubuh menunduk ala Asia bertemu dengan English terpatah-patah plus bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan pendatang.
Ketika ajaran Buddha menyatu dengan penduduknya, dan ketika demokrasi menggantikan monarki.
Dengan jejak kolonial barat, dan semangat ingin menjadi negara demokrasi modern, maka Thailand membuka kedua belah tangannya untuk setiap pengunjung, dari manapun. Lalu, merapatkan kedua belah tangan, seperti gerakan susunan 10 jari penghormatan ala Orang Melayu.
Namun, dengan tradisi Islam Nusantara, aku seperti tertatih-tatih melihat menu-menu makanan di sini. Jika saja, para pedagang tidak menuliskan dengan jujur kata “Pork”, maka makanan di pinggir jalan adalah nikmat semua.
“Sometimes, I think that only fruits are halal food, here,” kata seorang pria asal Timur Tengah berkata kepadaku, sambil tersenyum simpul.
Hijab adalah hal lumrah, banyak perempuan Muslim menggunakan hijab di sini.
Aku bertemu seorang perempuan berhijab yang menjaga dagangan buah-buahan. Mungkin saja ia berasal dari sekitar wilayah Selatan Thailand, yang penduduknya banyak yang Muslim.
Lagi dan lagi, ia menggunakan bahasa isyarat.

Satu grosir “Halal Food” di Bangkok. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Setelah kerumitannya menjelaskan dalam English, akhirnya, ia bertanya, “Bisa cakap Melayu ke?”.
Ia menunjukan titik di google maps di android-nya. Dari titik itu, ku ketahui tentang grosir-grosir dengan produk berstempel “Halal” dari The Central Islamic Council of Thailand.
Tetapi, what can I say, “botol plastik” dan kantong “kresek” ada dimana saja, di sini, di Bangkok. Sejak dari toko-toko kecil, gerai waralaba hingga ke mall. Apapun jenisnya, semua menyediakan kantong plastik.
Sungguh kontras, bagiku, mengingat begitu banyak seremonial Environment tingkat internasional diselenggarakan di sini.
Namun, satu hal lainnya, merokok di sini, adalah lumrah. Tapi, smoking area bukan sesuatu yang mudah untuk dicari.
Dan, bungkus rokok, dengan tulisan peringatan tentang bahaya merokok di hampir seluruh sisi, tidak akan pernah anda lihat terpampang di display grosir.
Mungkin saja, berhubungan dengan skema penggalakan terapi dan pengobatan modern terhadap orang dengan ketergantungan nikotin. Atau, sebut saja, ini mungkin adalah bagian dari “dunia kapital” di bidang kesehatan. Oops.
Namun, minuman beralkohol, bahkan dengan kadar alkohol 40 persen, terpajang dengan rapi di display grosir. Dan, sejauh ini, belum didapat perbandingan yang tepat, terkait berapa jumlah nyawa yang melayang gara-gara mabok (: trance) minuman keras, jika dibanding dengan merokok tembakau.
Begitulah, setiap kota adalah tradisi. Dan, sebagai pengunjung, sejauh mana kita menikmati dan memahaminya.*

