Ngadijah, Menjadi Korban Beruntun Akibat Trafficking
Hak Asasi Manusia
March 11, 2024
Zulfa Amira Zaed/Doha, Qatar
Parfum pemberian Nagdijah, korban TPPO asal Malang, Jawa Timur. (photo credits : Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)
“PARFUM ini adalah barang paling berharga yang saya beli di sana. Saya pikir, suatu saat pasti dapat saya gunakan.”
Ngadijah (48), memberikan parfum yang ia bawa, kepadaku, ketika kembali ke Indonesia. Ketika kami bertemu di ruang tunggu Bandara Internasional Hamad, Doha, Qatar, bulan Januari 2024 lalu, ia baru saja dipaksa pulang oleh majikannya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, setelah bekerja selama 16 bulan di sana.
Ia tertunduk lemas di bangku ruang tunggu bandara. Terlihat rona lebam di pipinya. Bekas tamparan majikannya. Tentu bukan tanpa sebab.
Ngadijah, bukanlah nama sebenarnya. Ia adalah single parent dari dua orang anak yang berasal dari sebuah desa di sekitar Kota Malang, Jawa Timur.
Perjalanannya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidaklah segampang yang orang lain pikirkan. Ia menjadi korban perdagangan orang oleh “oknum” yang terstruktur dan tersusun dengan rapi.
Sejak awal, ia sadar telah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun, ia tidak memiliki banyak pilihan.
Dengan menjadi TKI, ia bertekad untuk melunasi hutang keluarga, menikahkan anaknya, dan menafkahi keluarga. Sementara di desanya, tidak tersedia pekerjaan dengan upah yang layak.
“Saya mendapatkan upah sebesar AED 1.200 setiap bulan dengan bekerja di Abu Dhabi,” kata Ngadijah menjelaskan alasannya menjadi TKI.
Uang itu setara dengan IDR 5,2 juta. Uang itu digunakan untuk melunasi hutang keluarga, menikahkan anaknya, dan menafkahi keluarganya.
Pesta pernikahan di desanya, terbilang mahal, jika mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Meski sejatinya menikah sudah syah dengan akad nikah di KUA dengan biaya minim.
“Setiap bulan uang saya kirim ke kampung semua, saya hanya menyisakan IDR 1 juta untuk pegangan,” katanya.
Berbeda dengan Ngadijah, Arini (35), juga bukan nama sebenarnya, adalah juga korban trafficking yang ku temui di Doha, Qatar.
Ia sedikit lebih beruntung daripada Ngadijah, ia akan pulang ke Indonesia setelah mengumpulkan cukup uang untuk pulang setelah kabur dari majikannya terdahulu.
“Saya kabur dari majikan yang dulu, terus ganti majikan. Saya bukan bekerja sebagai pembantu rumah tangga tapi di sebuah toko ritel,” kata Arini.
Ia tinggal di sebuah kamar kost di Abu Dabhi. Beruntung, ia dapat membawa serta paspornya ketika itu. Untuk menambah penghasilan agar dapat pulang ke Indonesia, ia berjualan bakso dan mie ayam di sana.
Awal perjalanan menjadi TKI
Dua tahun lalu, Ngadijah ditawari oleh seseorang dari desa tetangga untuk menjadi TKI. Tentu dengan iming-iming yang menggiurkan. Uang yang berlimpah.
Kala itu Ngadijah dan belasan orang lainnya dijanjikan akan diuruskan segala kebutuhan dokumen seperti paspor dan visa. Sangat terstruktur, mereka mengurus paspor bukan di Malang, namun ke Kediri, kota yang berjarak 190 kilometer dari Malang.
Mungkin, ini adalah cara agar permohonan paspor dimudahkan. Mereka bahkan dijanjikan akan mendapatkan bonus senilai lebih dari IDR 10 juta sesampainya di negara tujuan.
Sebelum keberangkatan rombongan korban TPPO ini menjalani serangkaian tes kesehatan di sebuah rumah sakit di Kota Malang. Lagi-lagi, biayanya ditanggung oleh agen. Calon TKI yang dinyatakan sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit kronis akan diberangkatkan.
Sehari sebelum keberangkatan, Ngadijah dan korban lainnya menerima uang dari agen TKI illegal sebesar IDR 7,5 juta. Uang itu, katanya, adalah fee antara agen dengan calon TKI illegal.
Nominal itu tentu tidak sebanding dengan keuntungan agen. Menurut percakapan yang didengar Ngadijah di penampungan, setiap pekerja yang mampu terjual kepada majikan, agen akan menerima kurang lebih sebesar AED 25.000 atau setara dengan IDR 105 juta.
Tiba saat keberangkatan, rombongan Ngadijah diantar oleh dua orang oknum berpakaian mirip wisatawan yang membantu proses check in di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng. Setelah proses check in selesai, semua rombongan dikumpulkan dan diphoto satu-persatu dengan menggunakan kamera dari handphone android.
“Saat memasuki ruang tunggu untuk boarding, hanya tinggal rombongan pekerja saja. Kami diwanti-wanti untuk mendengarkan aba-aba ketika ada pengumuman harus menaiki pesawat,” kata Ngadijah sambil menyeka air matanya.
Sesampainya di Abu Dabhi, para korban TPPO ditampung di dalam sebuah rumah penampungan sementara. Harapan untuk segera mendapat penghasilan tak langsung terwujud. Mereka masih harus mengahadapi ketidaknyamanan selama berada di penampungan sementara.
Tekanan psikis di penampungan sementara
“Sesampainya di sana, semua dokumen penting diambil agen. Termasuk handphone,” katanya.
Pasport berikut visa, KTP, dan handphone Ngadijah ditahan oleh agen. Tetapi, agen memberikan kesempatan bagi Ngadijah untuk menelepon keluarganya di Indonesia untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba di Abu Dhabi dengan selamat.
“Tidak ada aktifitas yang dapat kami lakukan di sana. Kami juga tidak diperbolehkan keluar rumah, hingga saat calon majikan datang untuk membeli kami,” kata Ngadijah.
Jual – beli. Demikian prasa yang kerap digunakan Ngadijah untuk menyebutkan proses mencari pekerjaan di luar negeri.
Selama di penampungan, Ngadijah dan yang lainnya tetap diberikan makan oleh agen mereka. Setiap pagi ia sarapan teh hangat dengan sepotong roti. Makan siang sekitar pukul 1 siang dan makan malam sekitar pukul 11 malam dengan menu yang sangat sederhana.
“Meski kami memegang uang fee dari agen di Indonesia, namun kami tidak dapat menggunakannya karena kami dilarang keluar rumah,” katanya.
Bahkan untuk sekedar membeli sabun mandi pun mereka menitipkannya kepada petugas agen. Setiap hari petugas agen akan bertanya siapa yang akan membeli sesuatu, dan petugas yang akan membelikannya, tentunya dengan uang mereka sendiri.
Sembari menunggu seperti di kungkungan penjara, Ngadijah selalu berharap, agar ketika ada calon majikan yang datang, ia terpilih untuk dibeli.
Penderitaan tak berujung
Satu hari, Ngadijah dibeli oleh seorang majikan. Ia, lalu,dibawa ke sebuah rumah mewah di tengah kota Abu Dhabi.
“Rumah itu besar dan mewah sekali. Saya senang sekali ketika pertama kali dibawa ke sana,” katanya sambil kedua bola matanya menerawang jauh.
Meski dokumen masih ditahan oleh majikannya, namun handphone yang disita, kini telah kembali ke tangannya.
Setiap pagi, Ngadijah harus menyiapkan kebutuhan sekolah dan mengantar anak majikannya ke sekolah. Ia pun harus mencuci dan menyetrika baju seluruh penghuni rumah yang berjumlah 11 orang, serta membersihkan seisi rumah.
Rumah itu dihuni oleh sepasang suami istri pengusaha yang memiliki 10 anak dan 1 orang menantu.
Majikan Ngadijah, memiliki seorang anak laki-laki berusia 20 tahun. Tubuhnya tinggi, proporsional dengan kulit putih dan jenggot tipis.
Tetapi, hampir setiap hari ia membentak Ngadijah untuk meminta bantuan yang kadang terkesan mengada-ada.
Dalam kesehariannya, Ngadijah harus selalu tampil sederhana. Tidak boleh bersolek dan menggunakan daster. Ini adalah perintah dari majikannya.
Kala itu, Ngadijah sedang mencuci baju di ruang belakang khusus untuk mencuci baju. Dengan keadaan setengah basah, Ngadijah merasakan ada yang menyergapnya dari belakang dengan tenaga yang sangat kuat.
“Tiba-tiba ada yang menyergap saya dari belakang, tubuh saya diseret ke sebuah ruangan kemudian dihempaskan ke tempat tidur. Dan dia memperkosa saya,” kata Ngadijah sambil menyeka air mata.
Peristiwa itu terjadi berulang kali. Hingga Ngadijah merasa sekujur tubuhnya sakit. Ia tak dapat bersuara apalagi melawan. Ia tetap menjalani kewajibannya sebagai pembantu rumah tangga. Ia tak punya pilihan, dan harus menafkahi dirinya sendiri dan membantu perekonomian anak-anaknya.
Antara na’as atau pertolongan, saat anak majikan Ngadijah melakukan perbuatannya, majikan Ngadijah memergokinya. Amarah majikan Ngadijah pecah.
Majikannya melayangkan pukulan bertubi-tubi kepada anaknya. Ngadijah tak luput dari serangan. Ia ditampar hingga terlempar ke lantai.
Seketika itu majikan Ngadijah memulangkannya ke Indonesia. Ia merasakan ini seperti pertolongan di saat darurat.
“Mereka memaksaku keluar dari rumah itu, semua barangku dimasukkan ke dalam kotak kardus besar. Tak beraturan. Bahkan saya ke bandara hanya dengan mengenakan daster, tanpa menyisir rambut, dan bersandal jepit,” katanya lagi.
Setelah menempuh 9 jam penerbangan dari Doha, Qatar, kami pun mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Kami sampai dengan selamat, namun entah dengan hati dan pikiran Ngadijah.
Kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil mengisi perut. Ngadijah belum tau apa yang harus ia lakukan sesampainya di Indonesia. Aku mengantarnya membeli kartu GSM agar ia dapat menghubungi keluarganya di Malang. Juga, menukarkan uang Dirham yang ia miliki di konter penukaran uang.
Aku menyarankannya untuk pulang ke Malang dengan menggunakan bus umum via Terminal Kampung Rambutan. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Ngadijah termasuk pemberani dengan mental baja. Ia hanya sedikit bingung setelah mengalami guncangan hebat di Abu Dhabi.
Sebelum aku mengantarkannya menuju bus Damri tujuan Terminal Kampung Rambutan, ia menarik tanganku. Tatapan matanya tajam.
“Dik, terima kasih telah mengantar saya sampai sini, hanya ini yang aku punya,” ucapnya dengan mata berkaca, sambil menaruh sebotol parfum di tanganku.
Kami – berpisah.*