Desa Sumber Jaya Telah Ada Sejak Lama
Daulat
September 22, 2023
Junus Nuh/Sengeti
Bahusni sedang menjalani persidangan di PN Sengeti, Rabu (20/9). (photo credit : ISF)
TERLIHAT beberapa orang anak usia Sekolah Dasar (SD) tengah bermain di pinggir jalan utama Jambi – Suak Kandis, di Desa Sumber Jaya. Sorot mata mereka, dengan kedua mata yang berwarna putih terlihat bersih jernih.
Mereka adalah anak-anak korban konflik agaria antara warga Desa Sumber Jaya dan PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dengan hidup mereka, hari ini dan hari esok. Mengapa mereka harus diajak ikut ketika orangtua mereka pergi ke Sengeti, setiap hari Rabu di setiap pekan.
Anak-anak adalah jendela dunia. Melihat anak-anak di Desa Sumber Jaya adalah sama dengan melihat dunia tempat mereka berada.
Rasa awas terhadap orang asing, adalah bagian dari psikologis kanak-kanak yang tercerabut dari tubuh mereka, karena konflik yang terjadi.
Aku telah berkunjung ke Kumpe Ulu sebanyak tiga kali. Dan setiap berkunjung, pertanyaan yang sama selalu muncul di kepala-ku, “Bagaimana masa depan mereka nanti?”
Sementara sidang dengan terdakwa Bahusni, warga Desa Sumber Jaya masih berlangsung setiap pekan. Pada Rabu (20/9), Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menghadirkan dua orang saksi.
Bahusni didakwa melanggar Undang-Undang Perkebunan. Ia diadili dengan tuduhan memasuki areal PT FPIL yang berada di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi.
Dua orang yang menjadi saksi pada sidang kali ini adalah warga Desa Sumber Jaya, yakni Abdul Muin dan Hermansyah. Keterangan keduanya memberi kesimpulan bahwa tapal batas Desa Sumber Jaya adalah jelas, dan PT FPIL hadir setelah terbentuknya Desa Sumber Jaya.
“Terdapat batas-batas alam yang hingga kini masih ada dan dapat dilihat, sebagai penanda wilayah Desa Sumber Jaya,” kata Abdul Muin seusai persidangan.
Lelaki berusia 50-an tahun itu biasa disapa Datuk Muin, dan dinyatakan masyarakat sebagai orang yang dituakan di desa itu. Meskipun secara fisik, tubuhnya masih terlihat kuat, sebagai gambaran dari pekerja keras.
Batas-batas alam ini yang ia jelaskan kepada majelis hakim di konferensi itu. Batas-batas yang ia dapatkan dari pendahuluan-pendahulu sebelumnya. Sebagai ingatan kolektif, yang kemudian menjadi dasar terbentuknya Desa Sumber Jaya.
Begitu juga dengan Hermansyah. Ia yang berprofesi sebagai Kepala Diniyah Nuruttholibin itu juga menjelaskan secara runut kejadian per kejadian di desa mereka, sejak dari perusahaan bernama PT Purnama Tausar Putera (PTP) hadir di desa mereka pada tahun 1998, hingga terjadinya konflik dengan PT FPIL.
Dalam konflik agraria, sebagai persitegangan antara perusahaan dan masyarakat, harus juga menyertakan sumber agraria; yakni air dan tanah. Dimana termaktub dalam sejarah tentang Sungai Kumpe (air) dan Moera Kompei (tanah).
Keberadaan Desa Sumber Jaya pun tidak dapat dihilangkan dari sejarah. Yakni sejak masa Kerajaan dan Kesultanan Jambi. Ini dapat dibuktikan melalui keramat (makam) berusia tua. Seperti makam Rang Kayo Pedataran dan Datuk Darah Putih.
Sehingga, dengan merunut sejarah, dapat dipahami wilayah kelola masyarakat di sana. Sebab Desa Sumber Jaya adalah tiga dusun yang digabungkan menjadi satu pada tahun 1990, sebelum masuknya kedua perusahaan itu. Ketiga dusun ini adalah Dusun Perbatasan, Pemetung dan Pedataran.
Ketiga dusun ini disatukan menjadi satu desa pada masa Daerah Tingkat (Dati) II Batanghari, dan masuk ke dalam Kecamatan Jambi Luar Kota (Jaluko).
“Penjelasan sejarah lokal ini cukup penting. Sebab dapat membuktikan siapa yang lebih dahulu berada di sana; apakah masyarakat atau perusahaan,” kata pengacara Bahusni dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yoseph Nurhidayat.
Sebab, katanya, konflik agraria selalu berurusan dengan klaim atas sumber agraria, dimana hak masyarakat atas sumber agraria sering terlupakan keberadaannya.
“Jika kita jeli membaca sejarah, maka hak dan adat masyarakat tidak akan terkesampingkan,” katanya.
Lamat-lamat, masih tergiang di kepalaku, suara anak-anak yang mengaji membaca ayat-ayat suci Al Qur’an di Diniyah Nuruttholibin di Desa Sumber Jaya, sore itu. Suara yang selalu menggaung di benak-ku, dan suara-suara itu yang selalu membuatku bertanya, “Bagaimana masa depan mereka nanti?”*