Sidang Bahusni : Ribetnya Perizinan Perkebunan Sawit
Hak Asasi Manusia
September 16, 2023
Zachary Jonah
Bahusni didampingi dua pengacaranya, di PN Sengeti, Rabu (13/9). (photo credits : Zachary Jonah/amira.co.id)
BAHUSNI hanya dapat tersenyum getir. Sama getirnya dengan dakwaan yang dihadapinya saat ini: melanggar Undang-Undang Perkebunan.
Meskipun fakta di persidangan di PN Sengeti, Rabu (13/9), mempertontonkan kepada publik betapa semrawutnya perizinan perkebunan sawit, terutama di Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. Jelas saja, sidang ini memang terbuka untuk umum.
Sebanyak tiga orang saksi ahli dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) hari ini. Yakni; dua dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi dan satu dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Ketiganya lebih banyak tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh majelis hakim. Mereka tidak menguasai substansi yang ditanyakan oleh majelis hakim.
Namun, pada jawaban-jawaban lainnya, juga menunjukkan bahwa izin yang dimiliki oleh PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) di areal 322 hektare di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu itu tidak jelas.
Terungkap bahwa secara legal standing, PT FPIL memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada tahun 2016. Tetapi, kenyataannya, usia tanaman sawit perusahaan itu pada saat ini adalah 15 tahun.
Dan juga terungkap, bahwa PT FPIL bukan mengambil alih dari PT Purnama Tausar Putera (PTP), melainkan berdiri sendiri.
Kacaunya perizinan ini, kata pengacara Bahusni dari Indonesia Comittee for Human Rights and Social Justice (ICHS), Ahmad Azhari tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Menurut Putusan MK nomor 138/PUU/XIII/2015, perusahaan wajib memiliki IUP & hak guna usaha (HGU).
“Jika tidak ada sekaligus keduanya, dapat dikatakan illegal,” katanya seusai persidangan.
Lantas, kata pengacara Bahusni dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yoseph Nurhidayat, persidangan ini juga membuktikan bahwa lahan itu adalah masih wilayah kelola masyarakat Desa Sumber Jaya. Toh, senyatanya, masyarakat telah protes terhadap keberadaan kedua perusahaan sejak tahun 1998 lalu.
“Bagaimana mungkin, perusahaan dapat membawa Bahusni ke jalur hukum, jika objek yang dituduhkan adalah illegal,” kata Yoseph.
Ketidakjelasan perizinan ini, juga menjawab pertanyaan mengapa PT FPIL tidak pernah mau untuk duduk berunding dengan warga desa. Juga, mengapa perusahaan itu tidak hadir ketika diundang tim resolusi konflik lahan DPRD Provinsi Jambi.
“Gara-gara IUP ini saya jadi pesakitan,” kata Bahusni.
Sehingga, setelah itu, ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto meneruskan persoalan ini langsung ke Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, belum lama ini.
Juga, menjawab pertanyaan mengapa nomor-nomor HGU yang tertera di banyak spanduk dan plakat PT FPIL di sekitar Desa Sumber Jaya, tidak ada di aplikasi “Sentuh Tanahku” milik Kementerian ATR/BPN.
“Kami seperti sedang menonton pertunjukan sulap. Takjub, melihat perusahaan yang muncul secara tiba-tiba, dan memaksa kami menyingkir,” kata Yuk Supik, warga Desa Sumber Jaya.
Sepanjang darurat agraria terjadi di Desa Sumber Jaya, warga tetap beraktifitas seperti biasa. Meski begitu, mereka tetap mengikuti persidangan Bahusni.
Sebab, bagi mereka, mendakwa Bahusni adalah sama dengan mendakwa seluruh warga Desa Sumber Jaya.*