Mencari “Zazu” Di Hutan Sumatra
Lingkungan & Krisis Iklim
December 12, 2025
Jon Afrizal/Sungai Lalan, Sumatera Selatan

Zazu, satu karakter di “The Lion King”. (credits: Disney)
B Hagen dalam laporan antropologi berjudul “Die Orang Kubu Auf Sumatera” yang ditulis pada awal abad ke-19 telah menyebutkan nama “Sungai Lalan”. Daerah yang kini masuk ke dalam administrasi Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Meskipun, yang dimaksudkan “Orang Kubu” di sini, sebenarnya adalah “Orang Suko Pindah” seperti yang tertera dalam “Undang-Undang Piagam Dan Kisah Negeri Jambi” yang ditulis oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Periai Sari. Atau, yang kini biasa disebut dengan sebutan: “Orang Batin Sembilan”, seperti dijelaskan dalam buku “Debalang Rimbo: Kosmologi Orang Batin Sembilan” yang ditulis oleh Jon Afrizal.
Tapi, kunjungan liputanku kali ini, ke Sungai Lalan, adalah untuk mencari “Zazu”. “Zazu” adalah satu karakter dalam series film kartun “The Lion King” produksi Disney.
Zazu, dalam “The Lion King”, adalah burung rangkong (enggang) paruh merah. Ia adalah mayordomo bagi Mufasa dan, selanjutnya, bagi Simba. Setelah kematian Mufasa, ketika Simba kembali ke Pride Lands, Zazu menjadi tawanan Scar, dan akhirnya dibebaskan oleh Timon dan Pumbaa.
Zazu adalah mata-mata dan pengintai, dan juga penasehat Simba terkait protokoler kerajaan.
Sebelumnya, Zazu ditunjuk oleh ayah dari Sarabi untuk melindunginya, setelah ia diusir karena serangan dari orang luar. Sarabi adalah ibu dari Simba, dan istri dari Mufasa.
Di “Hutan Harapan”, sebagai areal yang dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), terdapat sekitar enam atau mungkin tujuh jenis rangkong. Demikian setidaknya yang dicatat oleh peneliti dan pihak pengelola.
Yakni; Enggang Jambul (Aceros comatus), Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), Julang Emas (Aceros undulatus), Kangkareng Hitam (Anthracoceros malayanus), Julang Jambul Hitam (Aceros corrugatus), Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus), dan, Rangkong Gading (Rhinoplax vigil).
Terkait jumlah individu, belum dapat dipastikan secara total. Sebab, rangkong, adalah lebih mudah untuk didengar suara parau “ketak-krak”nya, ketimbang melihat wujud bentuknya.

Rangkong Gading. (credits: Hutan Harapan)
Rangkong kerap dijuluki “petani hutan”. Rangkong yang omnivora itu, memakan buah-buahan, terutama buah jenis ficus. Juga, serangga, kadal, tikus, telur burung, ular, dan katak. Bahkan terkadang memangsa kelelawar atau juga ketam (kepiting sungai).
Buah-buahan dan biji-bijian yang dipetik dengan paruhnya itu, kemudian, tersebar secara tidak sengaja ke seluruh penjuru hutan. Yakni di pohon-pohon berkayu keras tempat dimana ia biasa hinggap.
Sehingga, rangkong adalah berprofesi sebagai reboisator alami. Melalui pola makannya, ia memainkan peran alami dalam restorasi ekosistem hutan. Biji-biji dan buah-buah yang dibawanya kemudian jatuh ke tanah dan berubah bentuk menjadi benih, dan lalu menjadi pohon-pohon yang bertumbuh menjulang mengejar ultraviolet.
Dan, satu-satunya alasan vital untuk tetap menjaga keberadaan rangkong, tentu saja, agar mereka dapat tetap menyebarkan benih-benih pohon untuk kemudian menjadi hutan. Hutan, sebagai bank bagi udara bersih dan air bersih untuk kebutuhan pokok manusia.
Itu adalah teori sedehana. Namun, prakteknya tidak segampang itu, untuk membiarkan hutan mengelola dirinya sendiri. Tetap butuh tangan-tangan manusia, untuk menjaganya.
Pada tahun 2008, misalnya, “Hutan Harapan” telah berupaya untuk membuat imitasi sarang rangkong. Dengan menggunakan bahan dari kayu dan plastik. Demikian mengutip laporan Mongabay.
Terdata sebanyak 29 sarang imitasi, yang kemudian diletakkan secara menyebar di beberapa titik di kawasan “Hutan Harapan”. Meskipun, upaya ini tidak begitu berhasil, karena, rangkong menjadi curiga dengan sarang imitasi itu.
Tetapi, setidaknya, upaya telah dilakukan, dan hingga hari ini, sepertinya rangkong-rangkong itu mengerti bahwa mereka memang teramat sangat diperbolehkan untuk tinggal di kawasan eks logging yang telah menghijau kembali ini.
Aku berkali-kali mendengar suara berbunyi “ketak-krak” khas rangkong gading, terutama di sore hari, dan merekamnya di androidku. Meskipun, nasibku kali tidak mujur, untuk dapat melihat langsung wujud bentuknya.
Tapi, ini adalah nasib baik bagi individu-individu rangkong itu sendiri. Sebab, di masa awal kawasan ini diinisiasi untuk menjadi areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia, yakni di awal tahun 2000-an lalu, aku berkali-kali melihat pemandangan aneh bin takjub.

Rangkong Badak. (credits: Hutan Harapan)
Sewaktu itu, paruh atas dan bawah dari rangkong kerap dijadikan hiasan di rumah-rumah penduduk di kawasan ini. Ketika ku tanya, penduduk dengan enteng menjawab, “Dagingnya sudah digulai.”
Wow. Sepertinya, adalah benar, bahwa hutan punya hukumnya sendiri. Dan, yang kuat akan jadi pemangsa bagi yang lemah.
Namun, kini, pelan tapi pasti, PermenLHK No.20 Tahun 2018 tentang “Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi”, dan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”, dan PP No.7 Tahun 1999 tentang “Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa” mulai ditegakan.
Dalam status konservasi, menurut Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN), Great Rhinoceros Hornbill masuk kategori Vulnerable (rentan) dan Appendix II. Sementara, Rangkong Gading (Rhinoplax vigil) dalam kondisi Critically Endangered (sangat terancam punah).
Great Rhinoceros Hornbill banyak ditemui di wilayah Asia Tenggara. Seperti Selatan Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Mengutip laman Rangkong, Great Rhinoceros Hornbill memiliki tiga sub-spesies.
Pertama, Buceros rhinocerosrhinoceros(Malayan Great Rhinoceros Hornbill) berada di Sumatera, Semenanjung Malaysia, Selatan dari Songkhla, Bukit Maxwell di Perak, dan Gunung Tahan di Kelantan, dan, di Singapura hingga sekitar tahun 1950. Ciri-ciri umumnya adalah memiliki balung melengkung ke atas yang panjang.
Kedua, Buceros rhinocerosborneoensis hidup di Kalimantan, Serawak, Sabah dan Brunei. Ciri-ciri umumnya adalah memiliki balung yang lebih gagah dan bahkan lebih melengkung ke atas.
Ketiga, Buceros rhinocerossilvestris berada di Jawa Timur hingga ke Meru Betiri. Ciri-ciri umumnya, adalah memiliki balung yang berujung panjang dan pita hitam pada ekor yang lebih lebar.
Dan sangat disayangkan, degradasi hutan yang kerap diikuti dengan illegal trading ikut pula menyusutkan populasi rangkong. Mengutip laman IUCN, diperkirakan hanya terdapat 6.000 hingga 8.000 individu rangkong di Sumatra dan Kalimantan pada tahun 2021. Pun di seluruh dunia hanya tersisia 17.000 individu saja.
Berbagai macam mitos kerap menjadi alasan perburuan rangkong. Kehidupan rangkong terancam terutama yang terkait dengan mitologi sebagai “media” untuk berhubungan dengan para dewa.
Lantas, jika rangkong telah tidak ada lagi di hutan dan alam luas, pertanyaannya terkait mitologi, bagaimana manusia dapat berhubungan dengan para dewa?*
