Sawit Sumatra, Sumber Bencana?
Lingkungan & Krisis Iklim
December 1, 2025
Jon Afrizal

Kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatra Barat, Jumat (28/11). (credits: Antara)
“Bencana hidrometeorologi yang terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam. Tangan manusia yang membuat bencana ini.” Dony Oskaria, Kepala BP BUMN.
TERJADINYA bencana banjir dan tanah longsor di tiga provinsi di Pulau Sumatra baru-baru ini, membuat Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN), Dony Oskaria, mendesak tiga Kepolisian Daerah (Polda) di wilayah Pulau Sumatra untuk mengusut tuntas aktifitas pembalakan liar. Yakni; Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Banjir bandang di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh ini terjadi akibat pembalakan hutan. Tangan manusia yang membuat bencana ini,” kata Dony Oskaria, mengutip Antara, Sabtu (29/11).
Bencana hidrometeorologi yang terjadi ini, katanya, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam. Terkuak peran signifikan pembalakan liar sebagai pemicu utama kerusakan lingkungan.
Dugaan kuat terkait pembalakan liar sebagai penyebab utama bencana ini, katanya, didukung oleh berbagai bukti visual. Sebab, banyak beredar di media sosial terkait foto dan video yang menunjukkan material potongan kayu gelondongan terbawa arus banjir.
“Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) di tiga daerah ini harus mengusut perusakan hutan liar,” katanya.
Sebab, katanya, sekitar 99 persen kegiatan illegal logging telah memicu kerusakan hutan dan memperparah aliran air. Kerusakan fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan air telah membuat wilayah tersebut rentan terhadap bencana.

Perangko IDR 5 sen tahun 1963. (credits: Tokopedia)
Kondisi ini diperparah dengan curah hujan ekstrem. Sehingga menyebabkan terjadinya bencana, yang menyebabkan korban jiwa, dan kerusakan-kerusakan lainnya.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu (29/11), korban meninggal dunia di Sumatra Utara berjumlah 166 orang, Aceh 47 orang, dan Sumatra Barat 90 orang.
“Dengan tambahan, di Aceh 1 orang hilang dan 8 luka-luka, di Sumatra Utara 143 orang hilang, dan, di Sumatra Barat 85 hilang dan 10 orang luka-luka,” kata Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto, mengutip Detik, Sabtu (29/11).
“Kami tidak menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Dwi Januanto, mengutip Kompas, Sabtu (29/11).
Ia menyatakan bahwa kayu gelondongan yang ikut terbawa arus banjir di Sumatera berasal dari berbagai sumber. Termasuk juga sisa pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga penebangan liar.
“Kami memastikan setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan,” katanya.

Kutipan pidato Presiden RI Prabowo Subianto, Desember 2024. (credits: Tanda Seru)
Kemenhut saat ini tengah menelusuri dugaan pelanggaran dan memproses bukti kejahatan kehutanan melalui mekanisme hukum yang berlaku. Sebab, kejahatan kehutanan mulai dipoles dengan berbagai motif, satu diantaranya adalah memanfaatkan skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT).
“Saat ini Kemenhut menetapkan moratorium layanan tata usaha kayu tumbuh alami di Areal Penggunaan Lain (APL) untuk PHAT dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPuHH). Selain juga untuk melakukam evaluasi menyeluruh dan mengawasi seluruh pemanfaatan kayu di area pemanfaatan hutan,” katanya.
Mengutip data Global Forest Watch, dari tahun 2002 hingga 2024, Aceh kehilangan 320.000 hektare hutan primer basah, menyumbang 38 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Aceh berkurang 9.0 persen dalam periode waktu ini.
Sedangkan Sumatra Utara kehilangan 390.000 hektare hutan primer basah, menyumbang 25 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Sumatera Utara berkurang 19 persen dalam periode waktu ini.
Sementara Sumatra Barat kehilangan 320.000 hektare hutan primer basah, menyumbang 44 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Sumatera Barat berkurang 14 persen dalam periode waktu ini.
Setelah pengrusakan kayu alam dan hutan, maka, adalah hal lumrah di Pulau Sumatra, dimana hutan yang gundul akan berubah fungsi menjadi: perkebunan sawit (Elaeis guineensis).
Mengutip laman Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare dengan total produksi minyak sawit sebanyak 50 juta ton per tahun. Perkebunan sawit di Indonesia tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, berikut 10 provinsi di Indonesia dengan perkebunan sawit terluas. Yakni; Riau (3,49 juta hektare), Kalimantan Tengah (2,03 juta hektare), Sumatera Utara (2,01 juta hektare), Kalimantan Barat (1,82 juta hektare), dan, Sumatera Selatan (1,40 juta hektare).
Lalu, Kalimantan Timur (1,32 juta hektare), Jambi (1,19 juta hektare), Kalimantan Selatan (497,2 ribu hektare), Aceh (487,5 ribu hektare), dan, Sumatera Barat (379,6 ribu hektare).
Sehingga, adalah benar, bahwa bencana hidrometeorologi yang terjadi ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam saja. Melainkan oleh tangan manusia.*
