Sengketa Sawit Dan Perjanjian Dagang Antar Negara

Ekonomi & Bisnis

September 27, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi EUDR (credits: bureauveritas)

“Penjahit tidak membuat sepatunya sendiri, tetapi membelinya dari pembuat sepatu. Pembuat sepatu tidak menjahit bajunya sendiri, tetapi membeli dari penjahit baju. Petani tidak membuat sepatu dan menjahit bajunya sendiri, tetapi membelinya dari pembuat sepatu dan penjahit baju.” Adam Smith

INDONESIA telah melaporkan keberatannya terhadap Uni Eropa ke World Trade Organisation (WTO) dengan nomor DS 593. Keberatan ini terkait dengan penjualan minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman kelapa sawit.

Dengan perkembangan terkini, berdasarkan regulasi European Deforestation Regulation (EUDR), sawit akan segera di-cut off dari pasaran Uni Eropa.

Meskipun, persoalan sengketa perdagangan sawit antara Indoensia dengan Uni Eropa telah berlangsung sejak tahun 2019 lalu. Dan, Indonesia tidak sendirian, tapi terdapat juga beberapa negara lainnya.

Mengutip laman WTO, pada tanggal 9 Desember 2019, Indonesia meminta berkonsultasi mengenai tindakan yang diberlakukan oleh Uni Eropa dan negara-negara anggotanya terkait minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman kelapa sawit dari Indonesia.

Indonesia mengklaim bahwa tindakan yang diberlakukan oleh Uni Eropa ini tidak konsisten beberapa pasal dalam Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement 1995.

Perjanjian ini mengikat untuk seluruh anggota WTO, yang bertujuan untuk untuk memastikan agar regulasi, standar, pengujian, dan prosedur sertifikasi teknis tidak menjadi hambatan yang tidak perlu bagi perdagangan. Perjanjian ini melarang penggunaan persyaratan teknis untuk membatasi perdagangan, tetapi memperbolehkan hambatan teknis yang memiliki tujuan yang sah, seperti perlindungan konsumen atau lingkungan.

Indonesia juga mengklaim bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan beberapa pasal dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. GATT adalah suatu perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan internasional.

Berdasarkan mukadimah GATT, tujuan perjanjian ini adalah untuk pengurangan substansial atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan preferensi, berdasarkan asas timbal balik dan saling menguntungkan.

Dan juga, Indoneisa mengklaim bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan beberapa pasal pada Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM). Perjanjian ini merincikan aturan yang terkandung di dalam beberapa pasal GATT.

Sawit. (credits: palsgaard)

Perjanjian ini mengatur tentang subsidi dan subsisi yang dilarang. Beberapa subsidi, adalah: subsidi lingkungan hidup dan subsidi pembangunan daerah tertinggal.

Lalu, Kosta Rika dan Guatemala mengajukan permohonan untuk bergabung dalam konsultasi, pada tanggal 19 Desember 2019. Diikuti Kolumbia, Malaysia, Argentina dan Thailand.

Selanjutnya, Uni Eropa memberi tahu DSB bahwa mereka telah menerima permohonan Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, Malaysia, dan Thailand untuk bergabung dalam konsultasi.

Indonesia meminta pembentukan forum panelis, pada tanggal 18 Maret 2020. Lalu dewan tertinggi WTO membentuk forum panelis pada tanggal 29 Juli 2020.

Secara ringkas, pada pertemuan forum panelis tanggal 24 Februari 2025, dewan tertinggi WTO mengadopsi laporan forum panelis, dengan definisi: periode waktu yang wajar.

Uni Eropa, pada tanggal 24 Maret 2025 menyatakan bahwa pihaknya akan melaksanakan rekomendasi dan putusan dewan tertinggi WTO. Yakni dengan cara yang konsisten dengan kewajiban mereka sebagia anggota WTO, dan bahwa mereka memerlukan jangka waktu yang wajar untuk melaksanakannya.

Selanjutnya, Uni Eropa dan Indonesia pada tanggal 7 Juli 2025 menginformasikan kepada dewan tertinggi WTO bahwa keduanya telah bersepakat.

Yakni, bahwa jangka waktu yang wajar bagi Uni Eropa untuk melaksanakan rekomendasi dan putusan dewan tertinggi WTO 12 bulan. Sehingga, jangka waktu yang wajar akan berakhir pada tanggal 24 Februari 2026 nanti.

Sehingga, masih ada waktu untuk berunding, lagi, bagi negara-negara produsen sawit, yang akan menjualnya ke pasar Uni Eropa.*

avatar

Redaksi