I Tsing, Dharmakirtisri, Dan Atisha
Budaya & Seni
July 15, 2025
Jon Afrizal/Muaro Jambi

Makara Candi Gumpung (credits: Public Domain)
PADA masa-masa awal kegiatan pemugaran kompleks percandian Muaro Jambi, di awal tahun 2000-an, aku pernah bertanya, atau lebih tepatnya meragukan, kepada para ahli yang memugar, terkait mengapa candi-candi ini dibuat sangat mirip dengan candi-candi di Pulau Jawa. Seperti, pola penggunaan stupa-stupa, misalnya.
Karena, adalah kewajaran, jika seorang jurnalis selalu meragukan fakta dan data apapun. Sebelum akhirnya sampai ke fakta dan data yang akurat sesuai dengan cara pandang beberapa bidang ilmu pengetahuan.
Para ahli itu pun menjawab, bahwa bentuk yang dihasilkan dari pemugaran ini hanyalah bentuk perkiraan saja. Perkiraan, dan tentunya masih terbuka kemungkinan bentuk lainnya.
Sebuah jawaban, yang hingga kini, telah memvalidasi mengapa pada setiap candi yang dipugar, letaknya tidak tepat berada di titik dimana menapo berada. Menapo dibiarkan untuk tetap ada, dan letak candi yang dipugar (: dibuatkan kembali) digeser sedikit letaknya dari menapo.
Memang, dikarenakan keterbatasan alam, maka candi-candi dibuat dengan menggunakan batu bata. Tentu saja, di wilayah ini, tidak ditemui adanya batu sungai.
Namun, hubungan Srivijaya dengan kerajaan lain yang sekeyakinan, telah membawa berbagai makara dan dwarapala dan berbagai jenis kerajian tangan bernilai tinggi ke sini. Makara dan dwarapala adalah dibuat dari batu kali, dengan tekstur ukiran yang sangat halus dan apik.
Beberapa ahli menyandingkan kompleks percandian ini mirip seperti situs Nalanda di Rajgir atau Rajagriha (: Kota Para Raja) di tenggara Pataliputra (Patna), India. Nalanda adalah juga sebuah universitas Budha, yang bertahan hampir 10 abad lamanya, yakni dari tahun 427 M hingga sekitar tahun 1400 M.
Nalanda pun, menggunakan batu bata. Sehingga, tidak ada perdebatan yang pantas untuk pertanyaan mengapa kompleks percandian Muaro Jambi adalah berbahan baku batu bata, dan bukan batu kali (sungai).
Sebab, semua itu sangat bergantung dengan geografi suatu wilayah. Dan batu kali, sepertinya, bukanlah suatu keharusan dalam arsitektur candi.
Toh, Candi Muara Takus pun berbahan baku batu bata.
Situs Candi Muara Takus berada di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Situs ini pun, juga kerap dihubungkan dengan keberadaan Srivijaya.

Oroxylum indicum yang tumbuh di kompeks percandian Muaro Jambi. (credist: inaturalist)
Hanya saja, sudah jelas, batu kali akan tahan lebih lama di alam tropis, jika dibandingkan batu bata.
Nama “Srivijaya” mencuat setelah peneliti Prancis, George Coedes mempublikasikan penemuannya di surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia, di era kolonial pada tahun 1920-an. Sebelum masa itu, Srivijaya tidak dimasukan dalam catatan sejarah nasional.
Coedes mengatakan, bahwa catatan Tiongkok terkait “Sanfots’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Bahasa Melayu Kuno merujuk pada kerajaan atau kedatuan yang sama: Srivijaya.
Kata “Datu” adalah merujuk pada pemimpin atau suatu kepemimpinan. Sehingga dapat berhubungan erat dengan kata “Kedaton”. Kata “Kedaton” berasal dari kata “ke-datu-an”. Kata “Kadaton” dalam bahasa Jawa Kuno artinya adalah: singgasana atau kerajaan.
Pun, di Filipina era lampau, kata “Datu” juga merujuk pada hal yang sama.
Ciri “kutuk” dan “sumpah”, adalah bagian dari peradaban Melayu, bahkan hingga hari ini. Ciri ini dapat ditemui pada “Prasasti Kota Kapur” abad ke-7 M, yang kerap dinyatakan sebagai peninggalan Srivijaya.
Beberapa larik, terjemahannya kira-kira, adalah;
“ … yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya.”
Lalu, Frederic Martin Schnitger yang bertugas sebagai conservator di Museum Palembang, sekitar tahun 1930, telah menyusuri sungai-sungai besar di Sumatera. Seperti Musi, Batanghari dan Rokan.
Penyusurannya kemudian menjadi buku berjudul “The Archaeology of Hindoo Sumatra”. Schnitger, dalam buku itu, juga banyak bercerita tentang kompleks percandian Muaro Jambi di tepi sungai Batanghari.
Terkait universitas Budhis, pernah datang serombongan biksu dari Tibet ke komples percandian ini, di sekitar tahun 2017 lalu. Dengan menggunakan Bahasa Inggris, mereka menyatakan takjub kenapa ada pohon Oroxylum indicum (kapung) dengan ketinggian 10 meter, di kompleks percandian ini.
Jenis pohon Oroxylum indicum memiliki bunga berwarna putih seperti kertas tipis. Ketika gugur, bunga itu memperagakan gerak berputar selayaknya baling-baling, hingga akhirnya jatuh ke tanah.
Menurut para biksu, bunga putih ini, jika di Tibet, adalah sebagai media bagi penganut Budha ketika beribadah, untuk terhubung dengan Pencipta. Dan, bunga putih ini akan selalu ada di rumah-rumah peribadatan di sana.
Umumnya, bunga-bunga putih ini dibuatkan seperti rangkaian kalung, dan diletakan di suatu dinding atau pintu tempat peribadatan. Atau, kadang juga dikalungkan ke leher seorang biksu.
Penjelasan ini, cukup rumit bagiku. Sebab, pohon Oroxylum indicum memang, mungkin, belum pernah aku temukan di wilayah lain di Provinsi Jambi, selain di situs Muaro Jambi.
Dan, bagi penduduk lokal, kapung digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit panas dalam.
Tersebut pula nama Atisha Dipankara Shrijnana (982–1054). Atisha berasal dari Vikrampura, Bengal, India. Dalam beberapa catatan lampau, Atisha dinyatakan sebagai tokoh utama dalam penyebaran Buddhisme Mahayana dan Vajrayana abad ke-11 di Asia.
Catatan Tibet menyatakan bahwa Atisha menghabiskan waktu selama 12 tahun di universitas kerajaan Srivijaya. Ia belajar dengan pendeta agung bernama: Dharmakirtisri.
Setelah tamat, ia pun kembali ke India, pada tahun 1025 M. Dan, ini adalah tahun dimana Rajendra Chola I menginvasi Srivijaya.
Memang, masih banyak penganut teori bahwa letak Srivijaya adalah di Kota Palembang. Namun, penelitian terus berkembang, lengkap dengan berbagai metode dan cara pandang.
Dan, kita pun harus mengikutinya.
Mungkin saja, suatu saat nanti, para peneliti benar-benar dapat dengan valid menentukan tentang tempat yang tepat terkait letak pusat Srivijaya.
Karena, sejujurnya, sejarah butuh pembuktikan dan validitas. *

